57. Pelajaran Hidup

1527 Kata
Seandainya saja memang semudah itu membuat orang mengerti. Kirana tidak mengerti ketika bangun setelah operasi, ibunya langsung bertanya banyak hal tentang Anggi. Kenapa Anggi tidak datang, kenapa Anggi tidak bisa dihubungi dan masih banyak lagi. Kirana diam semata-mata juga menjaga perasaan semua orang. Namun kenyataannya, apa yang Kirana anggap benar, justru ternyata itu salah. Dirinya yang semula memang berniat untuk tidak memberitahu masalahnya dengan Anggi akhirnya terbongkar dengan sendirinya ketika Silvi terang-terangan memberi tahu. Kalau dari sisi Silvi sendiri, jelas Silvi lebih suka dengan Kirana. Bahkan kalau seandainya kakak tertuanya berjodoh dengan Kirana—dia malah akan senang sekali. Akhirnya, impiannya memiliki seorang kakak perempuan bisa terwujud juga. Ya, seandainya saja suatu hari nanti akan datang hari seperti yang Silvi inginkan. Namun, apapun yang akan terjadi nanti, Silvi menyerahkannya kepada Allah karena Dia-lah Yang Maha Mengetahui mana yang terbaik dan mana yang tidak. Jika suatu hari benar terjadi seperti yang Silvi impikan, itu artinya Kirana memang yang terbaik untuk kakak tertuanya yang tidak lain adalah Pak Damar. Sementara jika hal yang diinginkan Silvi tidak kesampaian, maka ada lelaki lain yang jauh lebih baik dari kakaknya yang lebih pantas bersanding dengan Kirana. Jadi apapun itu, Silvi menyerahkannya kepada Allah. Dia hanya bisa berdoa yang terbaik dan berupaya ikhlas menerima semua ketetapan yang Allah berikan atas hidupnya. Karena kadang kala, orang kaya bukan berarti semua yang diinginkan dapat dicukupi sepenuhnya. Justru, di keluarga yang biasa disebit keluarga miskin apa yang biasanya dicari oleh anak-anak orang kaya temukan di sana. Kalian tahu apa? Kebersamaan. Iya kebersamaan. Waktu yang bisa orang kurang mampu luangkan sementara orang kaya yang sibuk malah tidak bisa meluangkan waktunya sama sekali karena terus mengejar materi yang jelas-jelas tidak dibawa mati. Apalah artinya harta kalau keluarga yang dijamin mendapat harta itu tidak bahagia. Bukan itu sesungguhnya harta yang sesungguhnya, tapi waktu. Waktu berkumpul bersama dengan keluarga—berkumpul dengan semua orang yang disayang sebelum waktu itu tidak dimiliki lagi karena semakin bergantinya hari, umur semua orang berkurang, bukan bertambah. Orang yang hidup akan menemui mati. Sudah menjadi hukum alam dan hari itu pasti akan datang. Entah kapan, tidak ada yang bisa memastikan. Namun, itu adalah hal yang pasti, semuanya bersifat rahasia. Hanya Allah yang paling mengetahui, apa yang terlihat dan apa yang tidak terlihat. “Ibuk sudah pernah bilang kalau ada masalah ceritakan pada Ibuk, Na. Ibuk tidak suka kamu main rahasia-rahasiaan seperti ini denga Ibuk. Untuk apa?” tanya Bu Ghina. Bukan ingin menghakimi, Bu Ghina juga harus tahu karena Bu Ghina merasa kalau permasalahan Kirana sekarang serius sekali. Karena seumur-umur, baru sekarang Anggi sampai mendiami Kirana. Dan kalau Kirana tidak keterlaluan, Anggi pasti tidak akan marah padanya. Karena itu Bu Ghina terus mempertanyakan Kirana sejak sepuluh menit yang lalu. Walaupun baru selesai operasi, tak menjadi alasan Bu Ghina membuang-buang waktu yang semua orang punya. “Anggi salah paham, Buk. Aku ndak ada apa-apa sama Pak Damar.” Kata Kirana takut-takut. Meskipun Kirana dan Pak Damar kenyataannya tidak memiliki hubungan khusus kecuali hanya sabagai guru dan pelajar, tapi Kirana tetap saja tertekan dengan hanya melihat cara ibunya berbicara. Beliau terlihat kecewa sekali dengan Kirana. Padahal, jauh dalam dari lubuk hatinya yang paling dalam, Kirana memang tidak ada niat untuk berpikir jauh hingga ke sana. Oh ayolah, Kirana sadar diri sekali. Bagaimana bisa dia mengharapkan Pak Damar yang cerdas dan dikagumi banyak orang sedangkan dia hanyalah orang tidak punya. Mau bermimpi pun, Kirana sudah mundur perlahan, tidak mau memberikan harapan palsu pada dirinya sendiri meskipun hanya sekadar mengkayal sekalipun. Karena dia tahu, ujungnya pasti sakit hati. Memangnya ada rasa cinta yang tidak menyakitkan? Rasa-rasanya, seluruh cinta terhadap hamba-Nya sakit semua kecuali cinta kepada Dia—Sang Pemilik Alam Semesta ini. Cinta kepada-Nya pasti terbalas, sementara dengan ciptaan-Nya, mustahil tidak ada rasa sakit. Pasti ada walaupun hanya kecil. “Ibuk tadi sampai dihubungi sama mamanya Anggi. Anggi sampai sakit. Dia masuk rumah sakit sekarang. Masalah kalian apa to, Na? Kenapa harus gara-gara lelaki? Pak Damar dosen kamu.“ Kirana yang semula tidak berani melihat ke arah ibunya akhirnya melihat juga ke arah beliau. Dia terkejut, matanya bahkan sampai tidak berkedip. Bukan karena mendengar nama Pak Damar disebut-sebut, tapi karena mengetahui Anggi juga sakit dan sampai dirawat di rumah sakit. “Anggi sakit apa, Buk? Kapan masuk rumah sakitnya?” “Ibuk juga ndak tahu. Mamanya cuma memberi info sekilas, supaya kamu bisa jenguk Anggi. Katanya, dia tidak ada yang menamani.” Bu Ghina menjelaskan. Tanpa pikir panjang, Kirana langsung menatap Silvi, seakan bertanya-tanya lewat tatapan matanya. Namun, Kirana tidak tenang kalau tidak bertanya langsung. “Kamu tahu, Vi?” Dengan wajah agak meringis, pada akhirnya Silvi mengangguk juga. “Aku dikasih tahu sama Mama, Mbak. Mas Damar pergi karena diminta untuk menjaga Mbak Anggi dulu sementara orang tuanya masih perjalanan ke Depok.” “Ya Allah, sakit apa? Anggi ndak pernah sakit serius. Kenapa sekalinya sakit sampai masuk rumah sakit?” gumam Kirana khawatir sendiri. Dan kekhawatirannya pun berasal dipertanyakan pada dirinya sendiri. “Tadi aku sempat tanya sama Mama karena nggak percaya. Tapi, Mama bilang Mbak Anggi mimisan dari semalam. Mimisan—berhenti, mimisan—berhenti gitu terus. Jadi karena badannya udah lemes juga, dibawa ke rumah sakit pagi tadi sama temen satu kostnya. Tapi untuk keadaannya yang sekarang, aku nggak tahu perkembangannya kayak gimana.” Kirana mengusap wajahnya dengan tangan kiri yang memang tidak kenapa-napa. Kepalanya mendadak pening mendapatkan berita dadakan seperti ini. Kenapa Anggi sakit di saat Kirana tidak memungkinkan menungguinya. Kalau keadaan Kirana seperti ini, Kirana juga khawatir kalau keberadaannya bukannya membantu, tapi justru menambah beban—menambah masalah. “Ibuk mau nungguin Anggi, Buk? Aku ndak papa di sendiri.” Sebenarnya, Bu Ghina sudah melihat keadaan Anggi tadi. Namun, karena melihat dari kaca pintu terlihat Anggi senang sekali berbincang dengan Pak Damar, Bu Ghina langsung balik badan dan kembali ke ruangan Kirana lagi. Beliau merasa akan sangat mengganggu seandainya tetap memaksa masuk dengan sebutan tamu tidak diundang. Jadi daripada kedatangannya tidak diharapakan, Bu Ghina kembali bersama Kirana saja yang jelas-jelas membutuhkan. Bu Ghina bukannya berpikiran negative. Hanya saja, sebagai seorang ibu yang memiliki anak perempuan satu-satunya, Bu Ghina tidak ingin kalau Kirana sampai terlibat masalah dengan sahabatnya sendiri. Apalagi ini masalah laki-laki. Dan tadi, melihat bagaimana cara pandang Anggi kepada Pak Damar yang berbunga-bunga, sudah keputusan paling benar kalau Bu Ghuna tidak masuk. Dan beliau semakin yakin tatkala beberapa waktu lalu—bahkan sampai sekarang Anggi tidak bisa dihubungi, atau memang sengaja menghindar dari Bu Ghina. Padahal, dalam kasus ini pun, Bu Ghina tidak membela Kirana sama sekali meskipun Kirana adalah putrinya. “Ibu ada tabungan. Itu dipakai dulu untuk membayar rumah sakit. Untuk masalah biaya kamu bulan depan, nanti Ibuk cari lagi, ya?” Kirana tidak mampu berkata-kata. Kepalanya kembali riuh dengan nominal jutaan yang bahkan seandainya ini semester baru dan sudah jadwalnya dia mendapat bantuan beasiswa—uangnya cair, uang itupun pasti kurang untuk membayar biaya rumah sakit. Belum lagi kalau ada control yang pasti harus dijalani karena Bu Ghina pasti selalu mengingatkan Kirana untuk cek kesehatan jari dan tangannya yang patah itu. “Aku juga punya tabungan, Buk.” Kata Kirana tidak mau kalah. Dia tidak mau terlihat sedih di hadapan ibunya, apalagi ada Silvi yang masih di dalam ruangan itu pasti ikut mendengarkan. Kirana khawatir kalau Silvi akan terbawa suasana dan mengasihani keluarganya. Kirana tidak mau kalau semua itu sampai terjadi dan membuat mereka berhutang dengan keluarga Silvi. Kalau sampai ada hutang lagi dengan Silvi, Pak Damar adalah keluarganya. Kirana tidak memiliki keterikatan dengan keluar mereka—apalagi tentang uang. Yang walaupun Kirana tahu mereka adalah orang-orang baik yang tidak mempermasalahkan imbalan, tapi Kirana khawatir kalau Anggi akan berpikir yang tidak-tidak lagi. Oh Allah, sampai kapan Anggi akan salah paham? Kirana juga sudah menahan perasaannya. Rasa malunya lebih besar ketimbang perasaannya sendiri. Karena kalau Kirana sampai tidak memiliki malu, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Sementara Silvi yang sudah ingin protes tidak bisa mengatakan apa-apa. Sekarang dia paham. Ternyata, tidak semua orang kurang mampu itu kepemilikan seperti yang sering kali Silvi temui selama ini. Biasanya, orang kurang mampu berlomba-lomba menunjukkan kekurangan atau kesempitannya dalam memiliki uang ataupun bekerja. Namun bagi Bu Ghina dan Kirana, mereka malah tidak ingin terlihat susah. Bukan karena malu, bukan. Tapi karena tidak ingin menyusahkan orang lain. Karena mereka tidak ingin sampai berhutang yang sampai dikubur tanah pun hutang itu akan tetap ada kecuali dilunasi atau diiklhaskan. Dan Bu Ghina tidak ingin membawa hutang-hutangnya saat menghadap Allah nanti. Dan sekarang, Silvi kembali mendapatkan pelajaran yang begitu berharga dari Kirana dan juga Bu Ghina yang belum pernah dia dapatkan pada mata pelajaran apapun selama dia menempuh pendidikan sedari kecil hingga sekarang. Yakni pelajaran kehidupan. Silvi yang tidak ingin menyakiti harga diri mereka hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Kirana dan juga Bu Ghina. Semoga kedua perempuan hebat ini selalu dalam lindungan Allah. Dan Silvi akan berupaya untuk mencontoh kesederhanaan mereka meskipun dia beralah dari keluarga yang sangat kecukupan. Kalau tidak begini, Silvi tidak akan belajar dan tidak akan pernah tahu masalah orang yang begitu kompleks. Dengan begini, kalau nantinya dia sudah menjadi advokat, dia bisa lebih bijak lagi karena menilai suatu hal tidak dari satu sudut pandang saja, namun dari semua sudut pandang yang ada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN