Keesokan harinya, Senja bangun pagi-pagi sekali. Wanita itu langsung terjun ke dapur untuk membuat sarapan pertama untuk suaminya. Dia sedang sibuk mengolah makanan sederhana, yaitu nasi goreng dan telur mata sapi.
"Aw, ternyata rumah ini kedatangan penghuni baru." Suara seseorang yang sangat dikenali oleh Senja menyapa pendengaran.
Paham siapa seseorang yang kini berada di belakangnya, Senja memilih untuk tetap fokus pada masakan yang belum matang. Bukan maksud hati untuk bersikap angkuh, tetapi untuk melihat orang yang saat ini berdiri di belakangnya, rasanya dia belum siap.
"Cih! Sombong sekali. Ternyata lepas dariku, kamu justru menjerat kakakku," ucap seseorang itu.
Sakit hati, tentu saja. Senja sangat ingin membalas kata-kata jahat dari pria itu. Namun, mengingat bahwa statusnya yang saat ini adalah istri Agung, Senja tetap memilih untuk diam.
"Dasar wanita ul4r!" Tidak mendapat respon dari mantan istrinya, Abi justru melontarkan kata-kata yang semakin keterlaluan.
"Siapa yang kamu maksud wanita ul4r, Abi?"
Kedua orang yang ada di dapur itu menoleh, dan mendapati Agung berdiri dengan melipat kedua tangannya di dad4. Tatapannya tertuju pada sang adik yang berani mengganggu istrinya.
Abiyan terlihat gugup saat melihat Agung. Berbeda dengan Senja yang justru tersenyum saat melihat kehadiran sang suami. Merasa ada yang akan membelanya, Senja kembali melanjutkan kegiatannya memasak.
"M-mas Agung, tumben bangun siang. Biasanya jam segini udah di kantor," ucap Abi gugup.
"Apa urusannya denganmu?" tanya Agung, sambil melangkahkan kakinya mendekat.
"Enggak ada, sih. Aku kira kakak sudah berangkat."
"Kamu datang karena mengira saya ada di kantor. Jadi, kamu datang memang untuk mengusik ketenangan istri saya?"
Bola mata Abi memutar ke segala arah. Mencari jawaban atas pertanyaan sang kakak yang benar-benar menohok.
"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Agung lagi, masih dengan tatapan menyelidik.
"Ak-u, cuma mau bilang selamat. Semalam kan aku tidak datang di acara resepsi pernikahan Mas," jawab Abi berdalih.
Agung semakin menatap Abiyan tajam. Mengamati gerak-gerik sang adik yang begitu mencurigakan.
"Kamu tidak datang, alasannya apa?"
"Ak-u, a-da pekerjaan."
"Sejak kapan kamu bekerja?"
"A-aku, ada interview, Mas."
"Oh, baguslah jika memang kamu akan bekerja. Jadi, tidak terus-terusan jadi benalu dalam hidup Mama."
"Apa maksud Mas Agung?" Abiyan tersinggung dengan ucapan Agung barusan.
"Tidak mungkin kamu tidak tahu maksud saya. Kalau kamu tidak ada kegiatan, lebih baik kamu cuci mobil saya."
"Mas, itu bukan tugasku. Aku ini adikmu, Mas!"
Agung mengerutkan keningnya, memindahkan kedua tangan yang awalnya berada di area d4da, kini memasukkan tangannya pada saku celana. "Bukankah kamu pernah bilang kalau saya tidak perlu menganggap kamu sebagai adik?"
Abiyan menatap tidak percaya pada sang kakak. "Mas Agung benar-benar akan membuangku?"
"Kamu tidak perlu bertanya jika kamu sudah punya jawabannya." Agung berkata tanpa beban.
Mendapati respon sang kakak yang seperti ogah-ogahan menganggapnya sebagai adik, Abiyan mendengus. Merasa keberadaannya tidak dianggap oleh sang kakak, Abi memutuskan untuk pergi dari sana.
Agung sama sekali tidak menghiraukan adiknya yang kini pergi dengan membawa kekesalan. Dia memilih untuk menghampiri istrinya.
"Kamu masak apa?"
"Nasi goreng sama telur mata sapi, Kak."
"Dari baunya sepertinya enak. Saya mau makan langsung, ya."
"Iya, Kak. Aku siapkan dulu," jawab Senja singkat.
Sambil menunggu sang istri menyiapkan makanan, Agung mendudukkan dirinya di kursi kayu di ruang makan. Tidak butuh waktu lama, Senja datang dengan sepiring nasi goreng dan segelas air putih. Dia menghidangkan makanan itu di meja tepat di hadapan sang suami.
"Terima kasih," ucap Agung dan Senja mengangguk.
"Sama-sama, Kak. Kakak mau aku buatkan kopi?"
"Enggak, deh. Mau langsung makan saja. Punya kamu mana?" tanya Agung ketika melihat hanya ada satu piring nasi goreng dan telur mata sapi di depannya.
"Aku cuma buat satu, Kak. Spesial buat kakak," jawab Senja, lalu membalikkan tubuhnya. Namun, Agung dengan cepat mencekal lengan istrinya.
"Jangan pergi, temani saya makan!"
Senja menatap ragu. Namun, tetap mengikuti interupsi sang suami. Dia mendaratkan bo-kongnya di kursi, berdampingan dengan suaminya.
Tangan kekar Agung terulur, mengambil sendok dan garpu. Setelah itu menyendok nasi goreng, yang kemudian diarahkan ke mulut istrinya.
Sebelah mata Senja menyipit ketika sang suami mengulurkan sendok berisi nasi goreng ke arahnya. "Kakak mau apa?"
"Ak–" Agung mengisyaratkan Senja untuk membuka mulutnya.
"Kakak aja yang makan." Senja menolak dengan lembut.
"Saya hanya akan makan jika kamu sudah makan. Kalau kamu menolak, saya juga tidak akan makan masakan kamu."
"Ingat umur, Kak. Jangan terlalu bucin, nanti dia besar kepala." Abi kembali datang mengusik pasangan baru itu.
"Kamu keberatan kalau saya memperlakukan istri saya dengan baik? Atau jangan-jangan kamu cemburu. Kamu belum bisa move on dari istri saya, Abi?"
"Mas bilang apa tadi? Aku tidak bisa move on dari Senja?"
Agung hanya mengedikkan bahunya. Acuh dengan pertanyaan sang adik yang tersinggung oleh ucapannya.
"Mas lupa kalau aku yang memilih untuk mengakhiri pernikahan kami?" tanya Abi lagi.
"Saya tidak amnesia, Abi."
"Lalu kenapa Mas bilang aku gak bisa move on?"
"Karena kamu masih mengusik istri saya. Jika kamu merasa sudah bisa melupakan Senja, harusnya kamu tidak membahas masa lalu kalian."
Senja memegang tangan suaminya, kepalanya pun menggeleng. Agung tahu maksud istrinya itu, tetapi dia tentu tidak terima jika Abi terus mengolok-olok sang istri.
"Mas benar-benar berubah sekarang. Mas lebih mementingkan Senja dari pada aku, adik kandung Mas Agung sendiri," ucap Abi tanpa rasa malu.
"Kamu sudah dewasa, Abi. Apapun yang kamu lakukan, sudah bukan tanggung jawab saya lagi. Sedangkan Senja, dia sekarang adalah istriku. Aku memiliki tanggung jawab dunia akhirat atas dirinya."
Kalah, Abi tidak mampu lagi menjawab kata-kata sang kakak. Memilih untuk membalik tubuhnya dan melangkahkan kakinya meninggalkan tempat tersebut.
Di sisi lain Senja hanya bisa menatap nanar punggung seseorang yang pernah singgah di hatinya itu. Pria yang dulu pernah berbagi kasih bersamanya, bukan hanya tega mencampakkan dia, tetapi Abi juga terlihat tidak senang jika dirinya bahagia.
Agung menatap istrinya, kemudian mengelus lembut punggung tangan sang istri dan menggenggamnya. "Tidak perlu dipikirkan, Abi memang biasa bersikap seperti itu," ucap Agung.
***
2 bulan pernikahan, ombak mulai menyapa bahtera rumah tangga Agung dan Senja. Hari ini, dia kedatangan seorang wanita yang bertamu ke rumah saat Agung sedang bekerja.
"Langsung saja, ya. Aku enggak mau terlalu buang-buang waktu di sini." Perempuan itu duduk dengan gayanya yang angkuh.
Senja sebenarnya sangat tidak suka dengan perilaku tamunya ini. Namun, dia masih memiliki adab hingga tidak mengusir perempuan tidak tahu diri ini dari rumahnya.
"Memangnya ada perlu apa sampai kamu repot-repot datang ke sini?" tanya Senja, nadanya sedikit menekan agar tamunya itu sadar diri.
Perempuan itu menatap remeh Senja. Mengamati dari kepala hingga kaki wanita yang sedang memangku seorang bayi itu.
"Aku heran, apa hebatnya kamu hingga membuat Agung menunda pernikahan kami?"
Kata-kata pendek tetapi sangat menusuk itu membuat Senja terkejut bukan main. Netra teduh itu bahkan kini terlihat membulat sempurna.
"Apa maksud kamu?"
"Jangan munafik, Senja. Tidak mungkin kamu tidak paham dengan maksudku barusan. Kamu hanya berpura-pura bodoh, 'kan?"
Senja menggeleng. Dia benar-benar tidak tahu maksud dari perempuan di hadapannya.
"Aku dan Agung seharusnya menikah bulan ini. Tapi, gara-gara kamu, pernikahan ini nyaris batal. Puas kamu merebut calon suamiku?"
Mendengar pengakuan mengejutkan itu, kepala Senja menggeleng cepat. Tangannya menekan da-danya yang terasa sesak. Tenggorokannya pun tercekat, dan bibirnya kelu untuk menanggapi pengakuan perempuan itu.
Perempuan bernama Hilda itu menyeringai saat melihat respon Senja. "Pergilah, Senja! Jangan rusak hubungan kami yang sudah terjalin selama delapan tahun. Kamu hanya orang asing yang tiba-tiba datang dan menghancurkan impian kami."