Bab 5. Kedatangan Hilda

1002 Kata
Sekuat tenaga Senja menahan air mata yang sebentar lagi menerobos keluar. Dia tidak ingin terlihat lemah, apa lagi di depan perempuan yang sialnya adalah tambatan hati suaminya. "Saya tidak bisa percaya begitu saja dengan pengakuan sepihak ini. Kamu juga tidak memiliki bukti apapun jika diantara kalian memiliki hubungan. Saya juga akan pergi, jika Kak Agung sendiri yang menyuruh saya untuk pergi. Sekarang, silakan pergi dari rumah ini. Saya rasa urusan kita sudah selesai." Senja bangkit, lalu pergi meninggalkan Hilda yang masih sibuk memaki dengan kata-kata kasar. Senja kembali ke kamarnya, mencoba menyibukkan diri dengan aktivitas bersama Cinta. Namun, kata-kata perempuan tadi masih saja mengganggu pikirannya. Apapun yang dilakukan Senja, justru membuatnya merasa kesal. Entah kenapa, rasanya seperti ingin mengamuk saja. Pengkhianatan, itu hal yang sangat menyakitkan. Meski belum ada bukti apapun bahwa Agung benar-benar memiliki wanita lain. Meski pernikahan mereka terjadi secara tiba-tiba, tetapi Senja tentu saja sudah merasakan kenyamanan saat bersama suaminya. Entah dia sudah jatuh cinta pada pria itu atau belum, yang jelas Senja tidak rela jika harus berbagi hati. "Jika kamu memiliki wanita lain, kenapa kamu menikahi aku, Kak? Tidak sadarkah bahwa yang kakak lakukan ini menyakitkan?Aku kira kamu menikahi aku karena benar-benar ingin menjadi nahkoda untukku selamanya. Tapi ternyata aku salah, kamu pasti hanya terpaksa menjalani pernikahan ini." Jengkel, tanpa sadar Senja melempar vas bunga ke arah cermin hias hingga pecah. Pada saat yang sama, Pintu kamar terbuka. Agung yang masih berdiri di ambang pintu, buru-buru masuk setelah melihat keadaan kamar yang sedikit berantakan. Langkah lebarnya membawa Agung menemui Senja yang terduduk di samping ranjang dengan wajah yang disembunyikan diantara dua lutut. Pria itu berjongkok tepat di hadapan sang istri. "Kamu kenapa, Senja?" "Tolong tinggalin aku, Kak!" Agung terkejut bukan main. Dia berusaha memegang bahu sang istri. Akan tetapi, Senja justru menghindar. "Hei, ada apa, Senja?" tanya Agung khawatir. Senja mendongak, menatap sang suami yang juga sedang menatapnya. Melihat wajah pria itu, Senja kembali merasakan sesak di da-da. Sakit, meski tidak berdarah. Menurut Senja, pengkhianatan adalah kesalahan yang tidak termaafkan. Jikapun di antara mereka belum ada perasaan cinta atau sayang, seharusnya mereka berusaha untuk saling jatuh cinta satu sama lain. Bukan malah memiliki tambatan hati di luar sana. "Tinggalkan aku, Kak. Aku sedang ingin sendiri," ucap Senja, nada bicaranya terdengar pilu. "Saya tidak akan pergi jika kamu tidak mau memberi tahu saya tentang masalahmu. Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?" "Aku enggak apa-apa." Senja bergegas bangkit, kemudian berjalan meninggalkan sang suami dengan kebingungannya. "Ada yang tidak beres. Saya harus cari tahu penyebab dari keanehan ini." Agung memutuskan untuk membersihkan dirinya lebih dulu sebelum mencari tahu tentang keanehan istrinya yang tiba-tiba saja mengamuk tidak jelas. Agung mengambil ponselnya di atas nakas samping ranjang. Beberapa saat mengotak-atik ponsel tersebut, Agung mengerutkan dahinya saat layar ponsel menampilkan Senja sedang duduk bersama dengan seorang perempuan yang sangat dikenali oleh Agung. Meski hanya melihat dari layar saja, aura permusuhan kedua perempuan itu dapat dirasakan oleh Agung. "Hilda, mau apa dia ke sini? Pasti sikap Senja tadi ada hubungannya dengan kedatangan Hilda ke rumah ini." Selesai memeriksa cctv lewat ponselnya, Agung beralih pada aplikasi lain yang digunakan untuk saling berkirim pesan. 'Kau di mana?' Tidak berselang lama, pesan balasan masuk ke ponselnya. Begitu mengetahui keberadaan orang tersebut, Agung bergegas pergi dari rumah. Agung memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Dia sudah tidak sabar ingin mencari tahu penyebab utama dari perubahan sikap istrinya. 30 menit kemudian Agung telah sampai di sebuah taman. Dia buru-buru turun dan mencari di mana orang yang akan ditemuinya berada. Tempat itu cukup ramai, mengingat malam ini adalah malam Minggu. Banyak muda-mudi yang menghabiskan waktu di tempat itu. Agung mengedarkan pandangannya untuk mencari seseorang yang akan ditemuinya. Meski dari jauh, netranya dapat menangkap seorang perempuan yang tengah duduk di tengah taman menghadap ke arah air mancur. "Itu dia." Agung berjalan dengan langkah lebar menuju tengah-tengah taman. "Mas Agung." Senyum secerah matahari pagi yang menyinari bumi, terbit di wajah penuh make-up perempuan itu. Perempuan itu bahkan bangkit dari kursi, hendak memeluk Agung saat keduanya sudah bertatap muka. Namun, Agung dengan cepat menghindar. "Saya tidak suka membuang waktu. Untuk apa kamu datang ke rumah dan menemui istri saya?" tanya Agung langsung pada inti. Decak kesal terdengar dari perempuan itu setelah mendapat pertanyaan dari Agung. "Kenapa harus bahas istri kamu, sih, Mas?" "Karena apa yang terjadi pada istri saya, itu adalah tanggungjawab saya." Agung melipat kedua tangannya di da-da. Perempuan itu menjejak tanah sebagai tanda bahwa dia kesal. Bukan ini yang dia inginkan. Dia kira Agung datang untuk menikmati malam Minggu bersamanya. "Kamu menikahi dia hanya karena terpaksa, 'kan, Mas? Sudahlah. Jangan terlalu membebani diri dengan kesalahan adikmu." Sementara itu, tidak jauh dari sana, seorang wanita yang baru saja sampai, tidak sengaja mendengar perkataan terakhir dari wanita yang sedang bersama seorang pria. Kepalanya menggeleng, tak percaya setelah mendengar kata-kata yang menu-suk itu, menghujam tepat di hatinya. Air mata tidak bisa lagi dia tahan, mendengar ucapan itu membuat hatinya hancur berkeping-keping. "Ya, aku yang terlalu percaya diri dengan menerima pernikahan ini, Kak. Seharusnya aku sadar, bahwa kamu menikahiku hanya karena ingin bertanggung jawab atas perilaku buruk Abi padaku." *** "Silakan, Bu Senja. Ini kunci kamar nomor 107." Resepsionis memberikan kunci kamar kepada Senja. Senja memutuskan kabur dari rumah karena tidak mau lagi menjadi orang ketiga dalam hubungan sang suami dan wanita yang mengaku sebagai calon istri suaminya. Dia merasa kalah, bahkan sebelum berjuang. Setelah cek in di hotel tersebut, Senja membawa Cinta berjalan menuju kamar yang sudah dipesan. Namun, dari kejauhan netranya menangkap seseorang yang tidak asing untuknya. Tidak ingin bertemu atau berpapasan dengan orang tersebut, Senja buru-buru membalik tubuhnya hendak pergi dari sana. Sayangnya, seseorang itu tiba-tiba memanggil nama Senja. Senja membuang napas panjang, untuk sejenak juga memejamkan matanya. Dia berusaha untuk menguasai diri agar tidak terpancing emosi. Senja tahu, orang itu akan membuat masalah. "Senja, ngapain kamu di sini?" tanya orang itu, sambil mencekal lengan Senja, tetapi Senja dengan cepat menyentak kasar tangan yang lancang memegangnya . "Cih, gayanya jual mahal." Orang itu berpindah tempat hingga berhadapan dengan Senja. "Kamu kabur atau diusir Mas Agung?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN