“Saya terima nikah dan kawinnya Senja Kirani Ananta binti Herman Ferdianto dengan mas kawin yang tersebut, tunai.” Suara berat Agung memenuhi ruang tamu rumah Senja.
“Bagaimana para saksi, sah?” tanya seorang penghulu.
“Sah!” seruan itu menggema di ruangan berukuran 6x5 di rumah tersebut.
“Alhamdulillah.”
Lantunan doa-doa baik dilangitkan. Semua orang yang hadir di sana turut bahagia dengan pernikahan mendadak itu.
Akad nikah memang digelar secara sederhana di rumah Senja. Ternyata Agung tidak datang sendirian dengan tangan kosong, melainkan sudah mempersiapkan semuanya. Dari petugas KUA, penghulu, MUA, catering untuk menjamu para tamu, bahkan undangan yang sekarang menjadi saksi pernikahan. Lelaki itu juga membawa dua orang teman untuk dijadikan sebagai saksi dari pihak pengantin pria.
Senja sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menolak, sebab Agung bergerak terlalu cepat dan berperan sebagai penguasa. Dia tidak ingin orang tuanya malu karena ternyata para tetangga sudah diundang secara pribadi oleh lelaki itu dan dirinya malah egois dengan menolak pernikahan tersebut.
Usai melakukan ijab qobul, Agung menyematkan cincin pernikahan di jari manis Senja, wanita yang saat ini sudah sah menjadi istrinya.
“Selamat, ya, Nduk,” ucap Fatma haru.
Para tamu undangan juga memberikan ucapan selamat kepada sepasang pengantin. Beberapa orang yang pernah menggunjing Senja pun turut meminta maaf.
Berbeda dengan Herman yang masih diam tanpa suara. Perasaan Herman masih campur aduk usai menikahkan anak semata wayang untuk kedua kalinya.
Senja berusaha tersenyum saat acara berlangsung. Meski hatinya belum benar-benar menerima pernikahan itu, tetapi Senja tidak ingin menampilkannya pada orang lain.
Para tamu berpamitan setelah menikmati hidangan. Mereka pulang dengan membawa souvenir pernikahan. Ya, pernikahan itu sepertinya memang sudah dipersiapkan dengan baik oleh Agung.
Kini rumah sudah sepi. Hanya tersisa si pemilik rumah, pengantin pria dan dua temannya.
“Bro, kita pulang dulu, ya.” Kedua teman Agung pamit setelah beberapa saat berbincang dengan lelaki itu.
“Oke. Hati-hati di jalan!”
Setelah kepergian teman-teman Agung, Herman yang sejak tadi menghilang tiba-tiba saja menemui menantu barunya itu. Mereka duduk lesehan di karpet. Tatapan Herman tidak lepas dari sang menantu.
“Saya harap kamu bisa mengemban kewajiban kamu sebagai suami. Jangan seperti adikmu yang sudah membuang anak saya seenaknya saja,” ucap Herman setelah beberapa saat diam.
Agung tersenyum simpul. “Saya berjanji akan menjaga Senja dan Cinta dengan sebaik-baiknya, Pak.”
“Ya, saya pegang kata-katamu ini, Agung. Saya tidak akan tinggal diam jika kamu juga menyakiti anak saya,” ancam Herman, lalu bangkit dan pergi meninggalkan menantunya.
Lelaki itu menyandarkan punggungnya di dinding. Menghela napas lega dan memejamkan matanya.
“Kak!”
Agung membuka matanya, lalu menoleh ke arah sumber suara. Di sana Senja sudah berdiri menatapnya. Agung tersenyum lembut saat menyambut kedatangan sang istri.
“Kalau mau istirahat di kamar saja, Kak,” ucap Senja datar.
“Iya, nanti saya ke kamar.”
Senja mengangguk, kemudian pergi ke dapur. Tidak lama wanita itu kembali menghampiri suaminya dengan membawa secangkir kopi yang diletakkan di depan sang suami.
“Terima kasih,” ucap Agung, Senja hanya mengangguk.
“Kenapa kakak melakukan ini?” tanya Senja setelah duduk di samping Agung.
Sejenak Agung menatap wajah cantik istrinya, senyum tipis terbit di bibir lelaki itu, membuat dia terlihat semakin tampan. “Saya tidak ingin Cinta tumbuh tanpa seorang ayah,” jawab Agung singkat. Namun, kata-kata itu sedikit menyentil hati Senja.
“Lo berharap Kak Agung bakal jawab apa? Karena dia cinta sama Lo gitu?” Senja hanya bisa membatin.
“Ya udah, aku masuk dulu, ya, Kak.”
*
Setelah beberapa hari tinggal di rumah orang tua Senja, Agung memboyong keluarga itu ke Jakarta. Mereka menggelar resepsi di sana. Seperti saat akad nikah kemarin, Agung juga ternyata telah menyiapkan pesta resepsi yang begitu mewah.
Di pesta itu, mereka mengundang seluruh kolega bisnis Agung dan beberapa teman-teman Senja. Namun, ada yang kurang dengan acara itu, sebab tidak tampak Abiyan maupun Risma selaku keluarga Agung di acara tersebut.
Rangkaian acara resepsi itu usai sudah. Semua tamu dan undangan telah pulang. Begitu juga dengan Agung dan Senja yang juga pulang ke rumah. Mereka tidak menginap di hotel tempat di mana digelarnya acara.
Keduanya kini sedang berada di kamar. Suasana canggung tercipta. Meski keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri beberapa hari yang lalu, ternyata masih perlu beradaptasi dengan keadaan ini. Senja baru saja selesai membersihkan diri. Sementara Agung, laki-laki itu terlihat tenang tanpa beban. Berbeda dengan Senja yang terlihat tegang.
"Kamu pasti lelah, tidur saja dulu. Saya mau mandi," ucap Agung, Senja hanya mengangguk.
Wanita itu pun naik ke ranjang, merebahkan diri di sana dan masuk ke dalam selimut hangat. Namun, tatapannya masih tertuju pada pintu kamar mandi. Terdengar suara gemericik air dari sana.
"Aku tidur atau tunggu Kak Agung saja, ya?"
Bimbang, Senja kembali bangun. Namun, mengingat perintah Agung tadi membuatnya kembali pada posisi semula.
"Nanti Kak Agung malah marah kalau aku tidak ikuti perintahnya."
Saat Senja masih bimbang untuk tetap menunggu sang suami atau tidur lebih dulu, suara tangisan Cinta membuat wanita itu reflek bangun dan segera menghampiri putrinya yang tidur di box bayi.
“Anak Mama haus, ya?” Senja segera merengkuh tubuh mungil anaknya, kemudian dia bawa duduk di ranjang. Posisinya membelakangi kamar mandi.
Tangisan Cinta mereda setelah bayi itu mendapatkan ASI dari sumbernya langsung. Senja menyusui putrinya itu hingga kenyang. Beberapa saat kemudian Cinta kembali terlelap, tetapi dia belum mau melepaskan put*ing ibunya.
Agung yang sudah selesai membersihkan diri pun keluar dari kamar mandi. Dia menggeleng saat melihat sang istri duduk memunggunginya. Dengan langkah pelan lelaki itu mendekati sang istri.
“Kamu belum tidur?” tanya Agung, tetapi saat sadar bahwa sang istri sedang menyusui Cinta, agung segera memalingkan wajahnya.
Meski sekilas, nyatanya Agung sempat melihat sesuatu yang begitu sensitif. Ada desiran aneh saat melihat sang istri dalam keadaan seperti itu. Dia lelaki dewasa yang normal. Wajar jika terpancing saat melihat pemandangan indah itu.
“K-kak, ma-af.” Senja tergagap.
Wanita itupun menyudahi kegiatannya karena kebetulan Cinta juga sudah selesai menyusu. Meski merasa sangat malu karena Agung melihatnya dalam posisi seperti itu, tetapi Senja berusaha untuk tetap tenang. Dia mengembalikan Cinta ke box bayi.
Senja tersentak kaget saat ada tangan yang melingkar di pinggangnya. Disusul dagu Agung yang tiba-tiba menempel di bahunya. Kedua mata itu juga terpejam saat merasakan ada kecupan di leher.
Senja tahu rasa apa yang muncul dalam dirinya. Dia seorang wanita dewasa yang juga sudah pernah menikah. Ini bukan pertama kali untuknya. Dia bimbang akan menerima atau menolak, tetapi dia pun sadar bahwa memang ini termasuk kewajibannya sebagai seorang istri.
“Maaf, Senja. Tapi … saya tidak bisa lagi menahannya.”