Bab 12. Kegalauan Agung

1533 Kata
Senja menghela napas, berusaha sekuat tenaga untuk tidak terpancing emosi. Dia tidak ingin sampai bersikap kurang ajar pada wanita yang sudah dia anggap seperti orang tua sendiri. "Saya tidak melakukan apa-apa, Mah. Tapi, kalau Mama berpikir retaknya hubungan Kak Agung dan Abi adalah salah saya, saya dengan segenap hati meminta maaf kepada Mama," ucap Senja sopan. Risma membalas ucapan Senja dengan tatapan remeh. "Masih saja tidak sadar diri. Kamu berucap seperti itu agar saya merasa bersalah, 'kan?" "Saya tidak pernah sekalipun berpikir seperti itu, Mah. Tapi jika Mama beranggapan seperti itu, ya itu hak Mama. Maaf, Senja pamit ke kamar dulu. Cinta sudah menunggu," jawab Senja, lalu mengakhiri perdebatan mereka. Senja kembali ke kamar, menyusul Agung yang sudah lebih dulu ada di sana. Ketika Senja membuka pintu, Agung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Pria itu memaksa bibirnya untuk mengulas senyum, meski hatinya sedang benar-benar kesal bukan main. "Cinta sudah tidur, Kak?" tanya Senja, dia menatap sang anak yang ternyata tidur di kasur empuk miliknya. "Iya, baru saja tidur. Mungkin capek main sama Mbak Ria," jawab Agung singkat. Senja mengangguk paham, segera menghampiri suaminya yang kini duduk di sofa. Mereka duduk berdampingan. Tatapan Senja masih tertuju pada suaminya, dia paham suasana hati suaminya sedang buruk. "Kakak pasti kesal gara-gara ucapan Mama, ya?" "Saya hanya kecewa, Senja. Kapan Mama akan sadar bahwa sikapnya yang terlalu memanjakan Abi itulah yang membuat Abi semakin bertingkah," jawab Agung seadanya. "Terus, Kak Agung mau menyerah?" "Saya bingung, Senja. Saya melakukan ini demi kebaikan bersama, tapi selalu salah di mata Mama," keluh pria itu dengan nada penuh kekecewaan. Melihat bagaimana lesunya sang suami, Senja menyandarkan kepalanya di bahu suaminya itu. "Kakak sudah melakukan yang terbaik, Aku dukung 100%. Tentang sikap Mama, wajar Mama bersikap seperti itu, Kak. Selama ini Mama menganggap ini semua terjadi karena Abi bernasib malang karena tidak mendapatkan kasih sayang dari Papa," ucap Senja memberi pengertian. "Lalu bagaimana dengan saya? Apakah saya sudah siap ketika Papa tiada? Saya juga masih remaja saat Papa berpulang," ucap Agung dengan suara tertahan. Senja sedikit mengangkat wajahnya untuk menatap sang suami, sebuah kecupan hangat dia berikan di pipi suaminya. "Kakak kan pria yang kuat. Makanya Kakak bisa bangkit dan mengurus keluarga dengan baik," balas Senja. Agung tidak membalas ucapan Senja. Pria itu masih berusaha berpikir jernih. Tanpa emosi maupun amarah di pikiran serta hatinya. "Aku enggak yakin kalau orang lain yang ada di posisi Kakak. Mereka belum tentu kuat. Kakak harus ingat, Tuhan tidak mungkin menguji hamba-Nya melebihi kemampuan seorang hamba itu sendiri, Kak. Kalau Allah kasih Kakak ujian seperti ini, itu tandanya Allah percaya kalau Kak Agung mampu melewati ini semua." Senja memberikan wejangan pada suaminya, dia tidak ingin sang suami terus larut dalam kegalauan. Agung mulai bisa mengulas senyum setelah mendengar nasihat istrinya. "Sepertinya yang saya nikahi ini bukan manusia," ucap Agung tiba-tiba. "Kalau aku bukan manusia, terus apa? Demit?" tanya Senja, sambil memicingkan sebelah matanya. Agung tertawa lepas setelah mendengar perkataan istrinya itu. Ini pertama kalinya Senja melihat sang suami bisa tertawa seringan itu. Biasanya Agung lebih cenderung dingin dan datar. "Kakak, ih!" Bibir Senja manyun ketika ditertawakan oleh suaminya sendiri, meski sebenarnya di hati wanita itu sangat bersyukur bisa membuat suaminya tertawa selepas itu. "Iya-iya, maaf," ucap Agung, dia segera menghentikan tawanya karena melihat sang istri merajuk. Senja membalik tubuhnya, membelakangi sang suami. Bibirnya masih saja cemberut, tetapi sedikit berkedut karena Senja menahan diri untuk tidak tertawa. Dia sengaja ingin mengerjai suaminya. Agung memegang lengan sang istri, menariknya pelan hingga kini keduanya saling menempel. Pria itu memeluk istrinya dari belakang, menyandarkan dagu pada bahu istrinya. Beberapa kali juga mencium ceruk leher sang istri. "Jangan marah, yah!" Untuk pertama kalinya Agung merayu Senja tanpa canggung. Perlakuan Agung itu justru memancing perasaan aneh dalam diri Senja. Perasaan ingin melakukan hal yang lebih dari ini. "Kak, jangan bangunkan singa yang sedang tidur kalau tidak mau diterkam," ucap Senja memperingatkan. "Saya tidak takut," sahut Agung menantang. Suara aneh lolos dari bibir Senja saat Agung mengecup bagian sensitif di tubuhnya. Dia menggeliat karena kini Agung mulai meraba bagian lain yang semakin membuatnya berkeringat dingin. * Agung bangun dengan Suasana hati jauh lebih baik. Semalam suntuk dia melakukan kegiatan yang membuat hormon estrogen, testosteron, dan progesteron keluar, membuat adrenalin semakin meningkat. Entah sejak kapan, Agung mulai menyukai kegiatan tersebut. Meski beberapa kali harus Senja dulu yang memulainya. "Kakak udah bangun?" Senja baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah setelah keramas. Agung mengubah posisinya menjadi duduk bersandar. Beberapa kali meregangkan otot-otot tubuhnya. Netranya belum lepas dari sosok sang istri yang masih mengunakan handuk kimono. "Ini udah hampir subuh, 'kan?" tanya Agung, padahal dia pun tahu karena sudah melihat jam di dinding kamar. "Iya, Kak. Makanya bangun!" "Kalau mau bangunin seharusnya pakai baju dulu, biar cuma saya aja yang bangun." "Memang kalau aku pakai handuk gini, yang bangun siapa aja?" tanya Senja polos. "Siapa lagi, adik kecil yang selalu buat kamu kualahan, lah," jawab Agung, seketika Senja paham arah bicara suaminya. "Kakak, ih! Udah pagi. Pikiran masih kotor aja," protes Senja dengan nada manja. Kembali terdengar suara tawa renyah Agung. Senja menikmati tawa sang suami dengan kegembiraan. Dia tidak menyangka akan bisa mencairkan pria sedingin Agung. Senja mengulurkan tangannya yang dengan cepat di sambut oleh Agung. Setelah itu, Senja menarik kuat-kuat sang suaminya agar lekas turun dari ranjang. "Ayo bangun!" "Iya, iya, saya bangun." Agung menuruti perintah istrinya. Pria itu berjalan setelah sang istri mendorongnya ke arah kamar mandi. Rutinitas Senja setelah pertempuran panas adalah meragukan Agung untuk cepat-cepat membersihkan diri. Setelah memastikan sang suami masuk ke kamar mandi, Senja segera memakai pakaiannya. Dia bahkan mempersiapkan alat sholat untuk mereka menjalani ibadah wajib itu sebelum memulai hari dengan aktivitas lain. *** Mereka keluar dari kamar setelah bersiap. Agung sudah rapi dengan pakaian kantor, sedangkan Senja hanya menggunakan dress selutut dengan wajah yang dipoles make up sederhana. Meski begitu, dia masih terlihat cantik. Setiap orang pasti mengharapkan memulai harinya dengan baik, begitu juga dengan Agung dan Senja. Namun, apa yang terjadi terkadang tidak sesuai dengan keinginan. Agung dan Senja dikejutkan dengan adanya seorang perempuan yang sempat membuat Senja kabur dari rumah. Entah bagaimana caranya perempuan itu bisa ada di rumah itu sepagi ini. Sepasang suami istri itu saling tatap, kemudian bersama-sama menatap perempuan yang duduk di ruang makan. Parahnya, perempuan itu duduk di kursi yang biasa di tempati oleh Senja. "Good morning, Agung," sapa perempuan itu dengan raut wajah gembira. Agung tidak menjawab, pun tidak mengubah ekspresi wajahnya yang dingin. Dia hanya menautkan tangannya dengan tangan sang istri. Berusaha memberikan pertanda bahwa dia ada di pihak sang istri. Senja lebih dulu berjalan, menarik pelan tangan suaminya mendekati meja makan. Namun, Agung justru menarik pelan Senja untuk tidak berjalan menuju tempat biasa mereka duduk. Agung lebih rela berpindah tempat dari pada harus duduk berdekatan dengan perempuan itu. Perempuan yang sejak delapan tahun silam selalu merecoki hidupnya. Sampai di sisi lain kursi di meja makan itu, Agung menarik kursi, kemudian mempersilahkan sang istri untuk duduk di sana. Setelah itu, dia ikut duduk tepat di sebelah istrinya. Perlakuan hangat Agung kepada Senja rupanya membuat si perempuan merasa iri hati, terbakar cemburu karena ternyata Agung bisa bersikap semanis itu pada Senja. Padahal, yang dia tahu, Agung menikahi Senja hanya karena ingin bertanggung jawab atas kesalahan Abiyan saja. "Agung –" "Hilda," tegur Risma, sambil menggelengkan kepalanya saat perempuan itu hendak mengucapkan sesuatu. Dia adalah Hilda, perempuan yang pernah mengaku sebagai calon istri Agung pada Senja. Karena perbuatannya itu, Senja bahkan sampai meninggalkan rumah. "Sayang, kamu mau makan apa?" tanya Agung, ini pertama kalinya pria itu memanggil sang istri dengan sebutan sayang. Sebelum menjawab, Senja menatap sang mertua dan perempuan yang duduk berseberangan dengannya. Paham dengan maksud sang suami yang sengaja ingin membuat Hilda kebakaran jenggot, Senja pun menjawab, " aku makan apa aja yang kamu berikan, Sayang. Asalkan suapi aku, yah!" "Tentu saja," jawab Agung, pria itu mengambil sepiring nasi, ayam goreng, dan capcay kuah kesukaannya. Sengaja ingin membuat tamu tidak di undang itu risih, Agung benar-benar menyuapi Senja. Bersikap mesra di luar kamar ini baru pertama kali dilakukan oleh keduanya. Senja menikmati suapan sang suami. Meski ini baru pertama kali mereka lakukan, tetapi Senja tahu maksud suaminya yang ingin membuktikan pada perempuan di depannya ini bahwa mereka menikah karena kemauan mereka berdua bukan karena keterpaksaan seperti yang di pikirkan oleh Hilda. Jika Senja dan Agung sengaja memamerkan kemesraan, tentu saja Hilda benar-benar dibuat muak oleh pemandangan itu. "Agung! Aku datang ke sini untuk membicarakan tentang bisnis kita. Bukan untuk melihat tingkah menjijikan kalian," ucap Hilda kesal. Mendengar ucapan Hilda barusan, Agung menatap sengit pada perempuan yang sudah merusak suasana hatinya pagi ini. Meski tidak melakukan apa-apa, nyatanya dengan kehadirannya di rumah itu sudah berhasil membuat Agung kesal bukan main. "Anda seharusnya memiliki adab untuk tidak mengganggu orang di kediamannya. Urusan bisnis itu urusan kantor, bukan urusan pribadi. Jadi, Anda sama sekali tidak berhak mencampuri kesenangan saya dan istri saya." Tatapan Agung semakin menyeramkan. "Tadi Anda bilang apa? Tingkah saya menjijikan? Saya tidak pernah mengundang Anda untuk datang ke sini. Jadi, tolong segera angkat kaki dari rumah saya!" "Agung, yang mengundang Hilda untuk datang ke sini adalah Mama. Kamu tidak berhak mengusir tamu Mama," protes Risma. "Ini rumah saya, Mah. Saya berhak mengusir siapapun dari sini, tanpa terkecuali."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN