Hari ini tepat satu bulan Abiyan bekerja sebagai office boy di kantor kakaknya sendiri. Dia baru saja menerima gaji pertamanya setelah bekerja keras di perusahaan tersebut. Banyak kesulitan yang harus dihadapi tanpa pembelaan dari siapapun, termasuk Agung, kakak kandungnya sendiri.
Abiyan sedang memegang amplop di tangannya. Amplop itu merupakan gaji pertama, yang belum dia ketahui berapa jumlahnya. Ekspresi wajahnya terlihat sumringah, membayangkan sebentar lagi dia tidak perlu mengirit uang karena sekarang ada tambahan uang dari hasil kerja kerasnya. Meski dari luar amplop tersebut terlihat sangat tipis.
Perlahan-lahan, Abiyan membuka amplop itu. Dia melongo saat melihat uang yang sudah dia keluarkan dari amplop. Berkali-kali tangan Abiyan menghitung jumlah uang tersebut. Jumlahnya tetap sama yakni 3,5 juta.
"G*la! Ini duit upah kerja gue selama sebulan? Cuma segini?" tanyanya pada diri sendiri.
"Ya lu berharap dapat gaji berapa? Ingat, Weh. Kita ini cuma OB!" Tiba-tiba ada suara yang menyahut dari belakang, Abiyan sampai menoleh karena terkejut.
"Emang bener gaji OB segini?" tanya Abiyan, masih tidak percaya.
"Ck! Lo punya hape, 'kan? Tinggal search aja informasi tentang gaji OB pakai hape Lo!"
Tanpa menyahut, Abiyan segera mengeluarkan ponselnya, kemudian melakukan pencarian lewat ponsel pintarnya itu. Dia sempat terdiam beberapa saat setelah melihat dengan mata kepala sendiri berapa nominal yang diterima oleh para office boy/girl di kantor.
Abiyan langsung bangkit dari duduknya, membawa beberapa lembar uang gajinya itu. Dengan langkah tergesa, Abiyan berjalan menuju ruang Presdir.
Dia tidak mengetuk pintu, pun mengucapkan salam. Nyelonong masuk begitu saja. Dua orang yang ada di ruang itu sampai menggelengkan kepalanya.
"Ada apa?" tanya Agung, Presdir perusahaan tersebut.
"Mas Agung yang benar saja, Mas," ucap Abiyan protes.
"Memang saya melakukan apa?" tanya Agung lagi dengan nada datar.
Abiyan mengangkat tangannya yang memegang uang gajinya. "Ini gaji gue selama sebulan?" tanya Abiyan tak terima.
"Ya," jawab Agung singkat.
"Mas, Lo jangan gila, deh! Duit segini mana cukup buat gue bertahan hidup?"
"Kamu bisa tanyakan pada Office boy yang lain, apakah uang itu cukup untuk mereka bertahan hidup?" Agung sengaja membalikkan Pertanyaan.
"Mereka sama gue beda, Mas," ucap Abiyan tidak terima.
"Apa bedanya? Kalian memiliki profesi yang sama, 'kan?"
"Jelas bedalah. Gue sejak kecil hidup kecukupan. Sekarang, gue harus berjuang sendiri," sahut Abi.
Agung menyeringai puas. "Kamu hidup berkecukupan karena fasilitas dari saya, 'kan? Sekarang kamu paham bagaimana rasanya berjuang?"
Tidak bisa menjawab, Abi mengacak rambutnya, kemudian pergi dari ruangan sang kakak. Percuma juga berbicara dengan kakaknya sekarang, sebab menurut Abi, kakaknya itu sudah termakan hasutan Senja.
"Kamu awasi terus Abi, ya. Saya tidak ingin dia kembali membuat masalah," pinta Agung pada sekretarisnya.
*
Apa yang terjadi hari ini, Abiyan ceritakan semuanya pada sang ibu. Risma semakin terbakar amarah setelah mendengar cerita sang anak yang semakin menyedihkan. Wanita paruh baya itu menemui Agung setelah anak pertamanya itu pulang bekerja.
Agung bahkan belum sempat masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian ataupun menaruh tas kerjanya. Risma sudah lebih dulu menghadang langkah sang putra.
"Ada apa, Mah?" tanya Agung, dia sempat menghela napas berat.
"Kamu semakin hari semakin tega pada adikmu sendiri, Agung," ucap Risma dengan ekspresi marah.
"Abi sudah mengadu?"
"Wajar adikmu itu mengadu, Agung. Kamu memperlakukannya dengan sangat buruk! Mama yakin, papamu pun kecewa dengan apa yang kamu lakukan saat ini," ucap Risma yang tiba-tiba membawa nama almarhum suaminya.
Agung merasakan sesak setelah mendengar ucapan sang ibu yang membawa nama ayahnya. Pria itu sedikit melonggarkan dasinya. "Saya justru takut papa kecewa karena saya tidak bisa mendidik Abi menjadi pria sejati, Mah," jawab Agung, yang semakin membuat Risma kesal.
"Apa menurutmu Abi bukan laki-laki sejati?" Risma semakin tidak terima, dia bertolak pinggang, matanya pun melotot tajam.
"Mah, plis. Jangan ikut campur dengan caraku mendidik Abi. Meski terlambat, saya tetap harus memberikan Abi arahan yang tepat," ucap Agung memohon.
Dari kejauhan, Senja yang melihat sang suami pun berjalan mendekat. Dengan menggendong Cinta, Senja menyambut kepulangan sang suami.
Sementara itu, Risma menatap tidak suka dengan kehadiran Senja. Wanita paruh baya itu memilih pergi dari pada bertatap muka dengan sang menantu.
"Kak, kenapa malah berdiri di sini? Apa ada masalah?" tanya Senja ketika berada di hadapan sang suami.
"Tidak ada masalah. Semua baik-baik saja," jawab Agung berbohong. Dia tentu tidak ingin istrinya semakin pusing dengan drama keluarganya yang semakin rumit.
"Em, baguslah. Tapi, kakak sama mama ngobrolin apa?" tanya Senja, tangannya mengambil alih tas kerja sang suami.
Agung sempat menatap sang ibu yang semakin jauh darinya. "Bukan apa-apa, tidak perlu dipikirkan," ucapnya santai, penuh wibawa.
Senja menatap curiga, tetapi tidak ingin memaksa suaminya untuk bicara. Dia tahu, jika Agung ingin cerita, pria itu akan cerita dengan sendirinya tanpa harus dipaksa.
"Ya udah, ayo masuk, Kak!"
Keduanya pun berjalan beriringan menuju kamar. Agung langsung membersihkan dirinya. Senja dengan setia menunggu, dia bahkan menyiapkan pakaian santai sang suami.
Begitu selesai membersihkan diri, Agung segera memakai pakaiannya. Seolah permasalahan dan rasa lelahnya hilang seketika saat melihat Cinta yang sudah mulai mengoceh, bayi itu juga sudah mulai merangkak.
"Sayangnya papa, udah makan belum?" tanya Agung kepada Cinta, dan hanya dijawab dengan ocehan tidak jelas bayi itu. Namun, Agung justru tergelak.
Melihat interaksi antara sang suami dan anaknya, Senja pun tersenyum bangga. Meski Cinta bukan anak kandungnya, tetapi Agung menyayangi bayi itu dengan sepenuh hati. Bukan hanya seperti seorang paman pada keponakannya saja.
"Kakak sudah makan?" tanya Senja.
"Belum, saya sedang tidak selera," jawab Agung singkat.
"Harus makan, dong, Kak. Aku siapin makan, ya?"
Agung menatap sang istri yang menawarkan makanan padanya. Melihat raut wajah Senja yang penuh harap, akhirnya membuat Agung tidak tega untuk menolak. Dia pun mengangguk.
Senja bergegas ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk suaminya. Mendengar Agung sedang tidak selera makan, Senja berinisiatif untuk membuatkan sesuatu untuk suaminya. Bubur jagung yang menjadi pilihannya. Dengan telaten, dia mengolah jagung itu hingga menjadi makanan siap santap.
Hampir setengah jam lamanya Senja berada di dapur. Mengolah makanan dengan penuh cinta yang akan dihidangkan untuk suaminya. Begitu bubur jagung sudah matang, Senja mulai menaruhnya di mangkuk. Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang ikut masuk dan memancarkan tatapan permusuhan padanya.
"Mama lapar? Mau Senja masakin apa, Mah?" Senja masih bersikap manis meski sudah merasa tidak nyaman dengan tatapan sang mertua.
"Bilang sama Agung, hentikan hukumannya pada Abiyan. Saya tidak terima anak saya hidup susah, sedangkan kamu bisa hidup enak di sini."