Bab 11. Demi Kebaikan

1456 Kata
"Maaf, Bi. Saya sudah gagal menjadi seorang kakak. Papa ... Dia pasti kecewa pada saya," ucap Agung, nada bicaranya terdengar sendu. Suasana menegangkan berubah menjadi kesedihan. Sepasang kakak beradik itu larut dalam pikirannya masing-masing. "Kamu boleh pergi sekarang, saya tidak menghukum kamu atas kejadian tadi. Tapi, saya minta kamu jangan mengulang kesalahan yang sama, Abi." Agung memutar kursi kerjanya, membelakangi sang adik. Dia tidak ingin terlihat lemah, bahkan oleh adiknya sendiri. Sore harinya, setelah selesai bekerja Abiyan pulang ke kontrakan yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama dua Minggu terakhir. Terpaksa dia harus hidup susah seperti ini gara-gara sang kakak. Hingga saat ini, Abi masih belum sadar bahwa Agung melakukan semua ini demi kebaikannya. Dia masih saja menganggap sang kakak memperlakukan dirinya seperti ini karena hasutan Senja. "Punya kakak bucin sama istri ya begini. Gue enggak nyangka Senja bakal balas dendam," ucap Abi saat sampai di rumahnya. Dia menatap tempat tinggalnya yang berantakan itu. Beberapa pakaian berserakan karena Abi menaruhnya sembarang setelah mengganti pakaiannya. "Ck! Mana sekretaris Mas Agung cuma sediain beberapa helai pakaian doang lagi. Mau laundry juga duit jatah dari Mas agung cuma tinggal setengah aja. Gue harus irit mulai sekarang," ucapnya frustasi. Hampir dua Minggu tinggal di sana dengan pakaian kotor yang dibiarkan begitu saja, kini ketidaknyamanan mulai dirasakan oleh Abi. Dia memunguti pakaian bekasnya, lalu membawanya menuju kamar mandi. Memasukkannya ke dalam bak, tetapi dia lupa jika dirinya belum membeli deterjen untuk mencuci bajunya itu. "Arg! Ternyata sesusah ini hidup mandiri. Harus sampai kapan gue kaya gini, sih?" * Di sisi lain, Agung baru saja sampai di rumah. Pria itu terlihat lesu. Senja yang menyambut kepulangan sang suami, merasakan ada yang aneh dengan suaminya itu. Padahal, ketika berangkat tadi, Agung dalam keadaan mood yang bagus. Senja membawa tas kerja suaminya ke kamar. Dia semakin merasa ada yang tidak beres dengan sikap sang suami. Pria itu memang pendiam, tetapi tidak biasanya diam sampai tidak menyapa dirinya sama sekali. Agung duduk di sofa, diikuti oleh Senja yang duduk di sampingnya. Senja masih mengamati ekspresi suaminya itu. "Kakak, apa ada masalah?" tanya wanita itu. Agung hanya menggeleng sebagai jawaban. Namun, Senja tidak begitu saja percaya. "Kakak masih mau bohong sama istri sendiri?" Pria itu menoleh, menatap sang istri yang sedang melipat bibirnya, merajuk. "Kamu terlalu peka untuk saya bohongi," ucap Agung, bibirnya mulai bisa tersenyum. Senja melipat kedua tangannya di da-da. Membuang muka ke arah lain, tetapi masih melirik sang suami. "Sudah tahu begitu masih mau berbohong," ujar Senja kesal. Tangan kiri Agung terangkat, kemudian memegang kepala sang istri. Tidak sampai di sana, Agung bahkan mengacak-acak rambut istrinya yang sedang merajuk. "Ah, Kakak!" seru Senja ketika rambutnya berantakan. Agung menarik pelan kepala Senja, kemudian disandarkan di da-da bidangnya. Pria itu mengelus-elus puncak kepala sang istri. "Nanti saya ceritakan, tapi sekarang biarkan seperti ini dulu," ucap Agung, dia merasakan kenyamanan saat Senja bersandar di da-danya. Senja mengangguk setuju. Dia semakin menenggelamkan wajahnya di da-da bidang sang suami. Menghirup dalam-dalam aroma maskulin yang juga membuatnya merasa tenang. Cukup lama mereka menikmati kenyamanan itu, hingga Agung mengeluarkan suara, "saya sudah gagal menjadi kakak yang baik, Senja," ucap Agung tiba-tiba. Wanita yang semula sedang asik menikmati kehangatan dari tubuh suaminya itu seketika menegakkan badannya. Menatap sang suami yang kini memalingkan wajahnya. "Kenapa kakak bilang seperti itu? Pasti Abi lagi, yah?" tebak Senja. "Kapan sih dia akan berubah? Nggak ada kapoknya bikin ulah." Senja yang kesal pun ber berkata demikian. "Semua ini memang salah saya, Senja. Abi seperti itu karena kurang kasih sayang dari saya. Saya gagal untuk menjalankan amanat dari almarhum Papa." "Kak Abi itu udah dewasa, harusnya dia udah bisa berpikir. Tidak bisa dia selalu seperti ini, kayak anak kecil aja." Senja memprotes ucapan Agung barusan. "Tapi semua ini memang salah saya. Tidak bisa menjadi contoh yang baik untuk dia," balas Agung tetap menyalahkan diri. Senja menggelengkan kepalanya dengan ekspresi kesal. Melihat suaminya menyalahkan diri seperti ini membuat senja semakin tidak suka pada Abi, mantan suami yang sekarang menjadi adik iparnya. "Apa yang kakak lakukan pada Abi itu udah benar, Kak. Itu keputusan terbaik, kalau Abi dan Mama tidak bisa terima itu, ya biarkan saja. Mereka butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan. Jangan menyalahkan diri sendiri seperti ini. Selama ini Kakak sudah melakukan apapun yang terbaik untuk mereka," ucap Senja mengutarakan pendapatnya. Agung masih belum bersuara, pria itu mengusap wajahnya kasar. Bingung harus apa sekarang? Menurutnya keputusan ini memang yang terbaik, tetapi ucapan Abi tadi juga tidak salah. Dia yang selama ini tidak bisa mengoptimalkan status dan kewajibannya sebagai seorang kakak. "Kakak jangan bimbang, lakukan apa yang menurut Kakak baik. Kakak tentu lebih tahu bagaimana karakter Abi dan Mama. Sementara aku hanya orang asing yang tiba-tiba masuk ke keluarga ini dengan cara yang cukup rumit. Meski begitu, aku juga tahu bagaimana sifat Abi. 5 tahun mengenal Abi, aku cukup paham bagaimana sifat karakter dan perilaku Abi selama ini." "Ya kamu benar, karena kamu dan Cinta adalah korbannya," ucap Agung, kedua matanya terpejam saat mengatakan kalimat itu. *** Abiyan baru saja kembali dari minimarket untuk membeli beberapa kebutuhannya termasuk makanan instan dan deterjen. Dia menghela napas berat, tubuhnya terasa lelah karena langsung belanja setelah pulang bekerja. "Hah! Capek banget ternyata," keluh Abi, dia menyandarkan punggungnya di dinding. Kontrakan itu tidak ada sofa empuk maupun kursi kayu. Hanya ada karpet sebagai alas di ruang tamu. Hidup Abiyan saat ini benar-benar jauh berbeda dari kehidupannya yang dulu serba ada. 15 menit dia mengistirahatkan tubuh lelahnya di ruang tamu. Ingat dengan tugasnya yang harus mencuci pakaian, terpaksa Abi bangun dan langsung berjalan menuju kamar mandi. Ditatapnya pakaian yang sudah direndam di bak. "Gimana caranya nyuci coba?" tanyanya bingung. Untuk sesaat Abiyan terdiam, memikirkan apa yang harus dilakukan saat ini. Hingga akhirnya dia ingat untuk mencari tahu tutorial untuk mencuci pakaian. "Gue kan bisa cari tutorialnya di sosmed," ucapnya lega. Dia segera mengambil ponselnya, kemudian membuka aplikasi yang akan memberikannya contoh untuk mencuci pakaian dengan cara manual. Mengetik pencarian 'cara mencuci pakaian dengan tangan'. "Nah, ini dia. Keknya gampang, deh," selorohnya menganggap enteng pekerjaan tersebut. Abiyan pun memulai kegiatannya untuk mencuci baju miliknya. Dari menaruh deterjen, hingga menyikatnya dengan tangan. Baru saja tiga helai baju yang dia sikat, tangannya sudah merasa pegal. "Astaga, tangan gue ...." Abiyan menggerutu karena apa yang sedang dikerjakan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. "Gue rekam aja nih, kirim ke Mama. Mama pasti enggak akan tega lihat gue kaya gini," ujar Abi, pikirannya liciknya mulai bekerja. Bukan hanya mengirimkan vidio dirinya sedang mencuci baju dengan tangan kepada sang ibu, Abi juga membuat itu sebagai status di sosial medianya. 'Seumur-umur baru kali ini gue nyuci baju' caption itulah yang ditulis oleh Abiyan. Di sisi lain, keluarga Agung sedang menikmati makan malam bersama-sama. Risma masih saja mendiamkan menantunya. Senja yang merasa sikap sang mertua semakin menjauh kini mulai menerima. Meski jauh di lubuk hatinya, dia ingin kembali dekat dengan wanita yang sudah melahirkan suaminya itu. Denting ponsel milik Risma mengalihkan fokus ketiga orang yang sedang menyantap hidangan makan malam. Risma segera mengambil ponselnya itu saat melihat ada notifikasi pesan masuk dari nomor Abiyan. Ekspresi wajah Risma langsung berubah. Matanya melotot tak percaya, mulutnya pun sedikit terbuka saking terkejutnya. "Astaga, Abi. Kasihan kamu, Nak," lirih Risma dengan nada sedih. Agung melirik sang ibu, tetapi dia tidak menanyakan apapun. Tangannya masih sibuk menyuapkan sendok demi sendok makanan ke mulutnya. "Agung," panggil sang ibu lirih. "Hm," jawab Agung dingin. "Kamu lihat ini!" Risma menyerahkan ponselnya kepada agung, layar ponsel itu masih memutar rekaman Abi yang sedang mencuci baju. "Kenapa, Mah? Tidak ada yang aneh dari vidio ini," ucap Agung santai. Risma kembali mengambil ponsel miliknya. "Kamu bilang enggak aneh? Adik kamu nyuci baju pakai tangan, Agung. Hal yang tidak pernah dia lakukan selama ini," ucap Risma berapi-api. Mendengar itu, Agung sampai menghentikan kegiatannya. Menaruh sendok dan garpu dengan sedikit keras, bahkan sampai terdengar suara benturan antara sendok, garpu, dan piring. "Terus kenapa, Mah? Bukankah itu hal yang bagus? Biar Abi tidak terus-menerus hidup seenaknya," balas Agung. "Kasihan dia, Agung. Setidaknya kamu siapkan mesin cuci untuknya, lah!" protes sang ibu. "Mah, kalau hidupnya tetap enak seperti itu. Kapan Abi akan sadar bahwa hidup itu keras? Pria lemah seperti dia apa bisa menjalani hidup jika aku atau Mama sudah tiada lebih dulu? Coba Mama pikiran dan renungkan. Apakah ada yang salah dengan apa yang saat ini aku lakukan?" Agung bangkit, selera makannya hilang sudah. Mendengar sang ibu tetap saja membela Abi benar-benar membuat agung muak. Pria itu pergi, meninggalkan Risma dan Senja di meja makan. Setelah Agung pergi, Risma menatap sengit menantunya. Aura permusuhan begitu kental terlihat dari sorot mata sang mertua. "Puas kamu, Senja?" ucapnya dengan nada tinggi. "Senja salah apa lagi, Mah?" tanya Senja, dia berusaha menekan egonya agar tidak lepas kendali. "Kamu yang membuat dua anak saya tidak akur," balas Risma, tatapannya terlihat mengerikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN