"Maaf, Mah. Tapi Senja enggak bisa seenaknya mengatur Kak Agung. Kalau Mama ingin hukuman Abi dihentikan, Mama bisa bicarakan langsung pada Kak Agung," jawab Senja tanpa mengurangi rasa sopan.
"Kalau saya bisa, saya tidak akan meminta tolong pada kamu, Senja. Agung tidak mau mengubah keputusannya," ucap Risma kesal.
"Kalau Mama saja tidak bisa, lalu Mama berharap apa pada saya?"
Risma masih diam. Memikirkan ucapan Senja barusan. Dia pun ragu jika Senja akan dapat mengubah keputusan Agung.
"Lagi pula, sampai kapan Mama akan menutup mata atas semua ulah yang dibuat oleh Abi, Mah? Dia itu sudah dewasa, memang sudah sewajarnya dia belajar untuk bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri."
Senja yang sudah selesai menyiapkan makanan untuk suaminya memilih untuk pergi dari sana. Dia tidak ingin nantinya terpancing emosi dan berakhir membuat keributan. Senja merasa kasihan pada Agung, sebab ibu dan adiknya benar-benar tidak mengerti akan maksud baiknya.
"Senja mau antar makanan ini buat Kak Agung dulu, Mah. Permisi," ucap Senja berpamitan.
Meski dengan berat hati, Risma membiarkan Senja pergi. Dia pun tidak bisa memaksa Senja saat ini. Apa lagi Agung semakin terang-terangan menunjukkan keberpihakan kepada Senja.
"Aku harus cari cara agar Agung mau sedikit meringankan beban Abiyan," ucap Risma penuh tekat.
*
Malam harinya, Risma sedang menunggu seseorang di sebuah kafe elit di Jakarta. Dia sudah membuat janji temu dengan seseorang yang sampai saat ini belum tampak batang hidungnya.
"Lama banget, sih!" gerutu Risma, pasalnya dia telah menunggu selama 30 menit.
Tidak berselang lama, seseorang yang ditunggu oleh Risma kini baru terlihat memasuki kafe. Risma langsung berdiri saat melihat orang itu berjalan ke arahnya.
"Tante," sapa seseorang itu.
"Hilda, kamu lama banget, sih!" Risma tetap memprotes, baginya Hilda telah membuatnya membuang-buang waktu hanya untuk menunggunya.
"Maaf, Tante. Tadi ada meeting penting," ucap Hilda, tanpa menghiraukan Risma yang masih berdiri, Hilda lebih dulu mendaratkan bo*ngnya di kursi.
Risma ikut mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Hilda. Ekspresinya terlihat tidak suka dengan ucapan Hilda barusan.
"Kamu pikir masalah ini tidak penting?" tanyanya kesal.
"Penting, Tante. Tapi aku enggak bisa tinggalin gitu aja meeting tadi," jawab Hilda menjelaskan.
"Ya sudah, tapi lain kali jangan diulangi, Hilda. Tante bosan banget nunggu di sini sendirian," titah Risma, dan Hilda hanya mengangguk.
"Iya-iya, Tante. Masalah gampang," jawab Hilda santai.
Hilda menatap meja di depannya itu masih kosong. Padahal, dari raut wajah wanita yang sekarang duduk berseberangan dengannya itu sudah sangat kusut. Hilda yakin bahwa Risma di sini sudah cukup lama.
"Tante belum pesan apapun?" tanya Hilda, dan Risma menggeleng. "Kenapa enggak pesan, Tante?"
"Kartu kredit Tante disita sama Agung sejak Abiyan menjalani masa hukuman," jawab Risma lesu.
Mendengar jawaban Risma, Hilda mengerutkan dahinya. "Yang menjalani hukuman Abiyan, kenapa Tante juga kena imbasnya?"
Mendapat pertanyaan itu, Risma memutar bola matanya malas. "Karena Agung tidak mau sampai Tante mengeluarkan uang untuk membantu Abi," jawab Risma jujur, tetapi Hilda justru menutup mulutnya.
Dari ekspresi itu tergambar jelas ketidak percayaan Hilda atas kabar yang di dengarnya. Dia tidak menyangka bahwa Agung kini tega bersikap pelit pada keluarga yang dulu selalu di sayang sepenuh jiwa.
"Ya udah, kita pesan makanan atau minuman dulu aja, Tan. Nanti lanjut ngobrol," ucap Hilda dan disetujui oleh Risma.
Seorang pelayan datang setelah Hilda mengangkat tangannya. Mereka memesan minuman serta beberapa camilan sebagai teman ngobrol. Pelayanan itu pun pergi setelah mencatat pesanan pelanggannya.
"Agung sepelit itu sekarang, Tante?"
"Ya, begitulah. Makanya sekarang Tante harus benar-benar irit. Seperti sekarang ini, Tante mau keluar hanya diberi uang 500 ribu saja. Mana cukup kalau buat ongkos taksi dan jajan?"
"Astaga. Hilda benar-benar tidak menyangka, Tante. Apa ini semua karena ulah istrinya itu, ya, Tan?"
"Tante yakin ini memang ulah Senja. Dia pasti dendam pada Abi," sahut Risma dengan nada kesal.
"Enggak bisa dibiarkan, Tante. Kalau seperti ini terus, yang ada perempuan itu akan menguasai harta Agung," ucap Hilda sengaja mengompori.
"Itulah yang Tante takutkan, Hilda. Makanya Tante ngajak kamu ketemu, ya, siapa tahu kamu mau menolong Tante," kata Risma dengan nada merayu.
Hilda mengangkat sebelah bibirnya, "Apa yang bisa Hilda lakukan, Tante. Agung saja benar-benar tidak mau bertemu Hilda jika bukan tentang pekerjaan," ucap Hilda lesu, dia menundukkan kepalanya. Namun, sedikit mengintip reaksi ibu dari pria yang dicintainya.
Risma langsung menggapai tangan Hilda yang bertaut di atas meja. "Kamu tenang saja, Tante akan pikiran caranya biar kamu dan Agung bisa kembali dekat seperti dulu."
Kini Hilda mengangkat wajahnya, menatap wanita paruh baya yang berada di depannya dengan mata berbinar. "Tante serius?"
"Iya, Tante serius, Hilda. Yang penting kamu bersedia dulu," ucapnya yakin.
"Hilda bersedia, Tante. Tapi, gimana caranya?"
Selama beberapa detik Risma terdiam. Memikirkan cara yang akan digunakan untuk membuat Agung tidak lagi menjaga jarak pada Hilda.
"Kamu pura-pura sakit aja," celetuk Risma saat menemukan cara tersebut.
Cara itu tidak langsung disetujui oleh Hilda. Dia tahu bagaimana karakter Agung. Laki-laki itu tidak mudah untuk dibodohi.
"Cara itu tidak akan berhasil, Tante. Menurut Hilda, untuk sekarang kelemahan Agung justru terletak pada Senja," ucap Hilda menyampaikan pendapatnya.
Risma kembali berpikir, ucapan Hilda memang ada benarnya. Agung bukan tipe orang yang mudah percaya. Sekarang cara satu-satunya untuk adalah menyerang Senja.
"Jadi, kamu mau bayar orang buat celak*in Senja?" tanya Risma dengan raut wajah serius.
"Enggak, Tante. Aku mau main cantik saja," ucap Hilda dengan ekspresi licik.
"Maksudnya?"
"Hilda akan mendekati Senja. Pura-pura menjadi teman untuknya," jawabnya sambil menyeringai.
"Kamu yakin cara ini akan berhasil?"
"Kita coba saja dulu, Tante. Kalau gagal, Hilda masih punya banyak cara untuk merebut Agung tanpa harus menunjukan jati diri."
"Hm, ya sudah. Tante percayakan semuanya pada kamu, Hilda," pungkas Risma pasrah.
Sementara itu, di rumahnya Senja dan Agung sedang menikmati makan malam berdua. Agung masih bersikap biasa-biasa saja. Sedangkan Senja terlihat gelisah.
Agung melirik sang istri yang sejak tadi hanya memainkan sendok dan garpu tanpa berniat menyantap hidangan. "Kamu kenapa?" tanya Agung, pria itu bahkan menghentikan kegiatannya, menaruh kembali sendok serta garpu di piring.
"Mama belum pulang, Kak," jawab Senja, sorot matanya terlihat sangat khawatir.
"Paling main sama grup sosialitanya. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan!"
Senja menggeleng. "Aku hanya takut, Kak."
"Takut kenapa?" Agung sampai menggapai tangan Senja, menggenggam tangan yang ternyata berkeringat itu.
"Sebelum pergi, Mama sempat berdebat denganku, Kak," jawab Senja jujur.