Bab 18. Siasat Licik.

1130 Kata
Risma mulai mengubah sikapnya yang dulu menampakan ketidaksukaan, sekarang bersikap baik pada Senja, menantunya. Tidak hanya itu, dia juga lebih perhatian pada Cinta ,cucunya. Namun semua itu hanya sebuah kepura-puraan, dia tidak benar-benar tulus melakukan itu. Berhasil mempengaruhi Risma, Hilda pamit pulang. Setelah perempuan itu pergi, Risma menemui Senja dan Agung. Tanpa angin, tanpa hujan dia tiba-tiba menyetujui rencana perayaan ulang tahun Cinta yang awalnya sempat ditentang olehnya. “Agung, mama punya ide buat rayain ulang tahun Cinta, deh!” ucapnya tiba-tiba. “Ide apa, Mah?” tanya Senja antusias, dia merasa lega karena sang mertua kini mau ikut serta dalam urusan Cinta. “Lebih baik ulang tahun Cinta dirayakan sederhana saja. Cukup kumpul-kumpul keluarga inti, lah! tidak perlu mengundang orang-orang luar,” katanya membeberkan saran darinya. “Memangnya kenapa, Mah?” tanya Senja. “Ya, menurut mama, Cinta itu jangan diperlihatkan ke publik dulu. Agung itu kan pebisnis sukses, siapa tahu ada seseorang yang akan menyerang Agung lewat Cinta,” jawabnya lugas. Alasan itu ternyata diterima oleh Agung dan Senja. Mereka setuju untuk merayakan ulang tahun Cinta secara sederhana saja. Seminggu kemudian, ulang tahun cinta digelar di rumah. Acara tersebut dihadiri oleh kedua orang tua Senja yang datang dari kampung. Ada juga Hilda yang turut serta. Namun, ada seseorang yang datang tanpa diundang oleh sang tuan rumah. Agung dan Senja menatap lama seseorang itu. Begitu juga dengan kedua orang tua Senja. Tidak percaya jika orang itu akan datang ke acara ini. Pria dengan pakaian sederhana membawa kado di tangannya. Herman mengepalkan tangan, kakinya pun hendak melangkah maju. Rasanya pasti ingin sekali menghajar pria yang pernah menyakiti anaknya itu. Namun, sang istri yang peka segera mencegah suaminya. Meski hanya dengan gelengan kepala, ternyata hal itu dapat membuat Herman berusaha menguasai diri. Jika bukan karena istrinya, dia pasti akan membuat perhitungan pada pria pengecut itu. “Mas kaget, ya? Maaf karena aku lancang datang ke sini,” ucap pria itu. “Mama yang undang Abi, Agung,” ucap Risma menyela. Agung yang semula menatap garang, kini melembutkan tatapannya. “It’s okey. Hari ini adalah hari spesial untuk Cinta, jadi tolong jangan buat Keributan, ya!” Mendengar perkataan Agung, Fatma mengelus pelan lengan suaminya. Seperti isyarat bahwa dia tidak ingin sang suami mengecewakan menantu baru mereka itu. Acara pun berjalan, dari nyanyian lagu selamat ulang tahun, potong kue, hingga foto-foto bersama. Cinta, batita itu terlihat sangat bahagia meski awalnya sedikit ketakutan karena ini pertama kalinya dia berada di suasana semeriah ini. Maklum saja, selama ini keluarga itu kurang harmonis. Acara dilanjutkan dengan makan bersama. Mereka tampak bahagia, layaknya keluarga normal. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana isi hati masing-masing orang di sana. Abi sempat memperhatikan bagaimana kedekatan Agung, Senja, dan Cinta yang terlihat bahagia sekali. Mereka layaknya keluarga normal yang penuh kasih. Hal itu membuat rasa iri hadir di sanubari Abi. “Seharusnya aku yang bahagia di sana,” batin Abiyan, matanya sudah berkaca-kaca. Jika Abiyan merasa iri dengan kebahagiaan Agung dan Senja, tidak beda jauh dengan Hilda yang semakin kebakaran jenggot melihat kemesraan keluarga kecil itu. “Sial, jika bukan demi Agung, aku mana Sudi menghabiskan waktu merayakan ulang tahun anak dari wanita yang merebut Agung dariku,” batin Hilda, dia sangat muak berada di sana. Namun, dia tetap memaksa diri untuk berpura-pura baik. “Hilda, pulang nanti bisa antarkan Abi dulu, ‘kan?” Risma mengejutkan Hilda yang masih sibuk dengan kekesalan hatinya. “E-eh, iya, Tante. Bisa, kok,” jawab Hilda gugup, dia berusaha menyembunyikan kegugupan itu dengan merapikan rambutnya. “Apa, sih, Mah! Abi bisa pulang sendiri,” tolak Abiyan. “Sudahlah, kamu pulang sama Hilda saja. Dari pada harus keluar ongkos buat bayar ojek,” bujuk Risma. Pada akhirnya Abiyan tidak bisa menolak rayuan sang ibu. Dia terpaksa pulang bersama dengan Hilda. Saat ini, keduanya sedang berpamitan dengan orang-orang di rumah itu. “Mas, boleh aku gendong Cinta dulu?” Pertanyaan itu keluar juga dari mulut Abiyan, sejak datang dan melihat Cinta, dia memang sudah mulai terkesima dengan senyuman bocah itu. Agung yang pada saat itu sedang menggendong Cinta pun sempat menatap Senja lebih dulu, ketika wanita itu mengangguk, dia kemudian memberikan Cinta pada Abi. Namun, bocah cantik yang sebelumnya masih terlihat ceria di tangan Agung, kini justru langsung menangis. Tangisan itu membuat Abiyan panik dan kembali menyerahkan Cinta pada Agung. Bagaikan sulap, batita itu kembali diam di gendongan Agung. “Cinta tahu, mana yang tulus menyayanginya dan mana orang yang tidak tulus,” ucap Herman yang sejak tadi berusaha menahan diri. Semua mata tertuju pada ayah Senja. Risma, selalu ibu kandung Abiyan pun tidak terima atas perkataan itu. “Pak Herman kalau tidak bisa jaga ucapan, lebih baik pulang kampung sekarang, deh!” “Apa hak Anda mengusir saya dari sini?” “Saya ibu dari pemilik rumah ini,” jawab Risma dengan nada tinggi. Herman tertawa. “Rumah ini milik Agung, bukan milik Anda. Yang bisa mengusir saya hanyalah Agung,” ucap Herman enteng. Risma menatap Agung, hendak meminta putranya itu untuk mengusir Herman dari sana. Namun, belum ada satu katapun yang keluar, Agung sudah lebih dulu membuat orang-orang di sana diam tanpa suara. “Saya tidak suka ada keributan di rumah ini. Siapapun yang berani mengganggu ketenangan Cinta, silahkan angkat kaki. Tanpa terkecuali!” * “Lo nggak apa-apa, Bi?” tanya Hilda, dia sempat menatap Abi sebelum kembali fokus pada jalanan. Sebab, dia yang menyetir mobil. “Gue … Emang gue kenapa?” tanya balik Abi. Hilda berdecih. “Gak usah munafik, deh! Gue tahu elo gak suka sama kemesraan Abang Lo sama mantan istri Lo itu, ‘kan?” Abiyan memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan raut wajahnya yang muram setelah Hilda kembali membahas tentang Agung dan Senja. “Lo enggak usah sok tahu, deh!” Senyum remeh menghiasi wajah full make up Hilda. “Masih aja pura-pura. Gue tahu banget gimana perasaan Lo sekarang. Lo pasti iri, ‘kan? Lihat kebahagiaan mereka.” Sekuat tenaga Abiyan berusaha mengubah ekspresi wajahnya agar tidak terlihat muram. Dia bahkan menatap Hilda yang juga sedang menatapnya. “Kenapa gue harus iri? Gue juga bahagia dengan kehidupan gue sendiri. Gue masih bebas,” katanya berkilah. “Iya, elo emang masih bebas. Tapi hidup Lo susah, dan elo kesepian. Teman-teman Lo pada ngilang kan gara-gara Lo sekarang kere.” Abiyan tidak bisa membantah ucapan Hilda barusan, karena hal itu memang nyata terjadi sekarang. Jangankan wanita yang dulu sering bergelayut manja di lengannya, teman-teman satu tongkrongannya pun seketika hilang tak tersisa setelah hidupnya susah seperti ini. “Gue bisa bantu Lo ngedapetin semua yang harusnya milik Lo, Bi. Asal Lo juga mau bantu gue,” ucap Hilda tiba-tiba menawarkan kerja sama. “Bantu Lo, dengan cara apa?” tanya Abi, dia menatap Hilda yang sedang menyeringai. “Dekati Senja. Buat Agung dan Senja salah paham dan akhirnya mereka berpisah!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN