Kepulangan Risma ke rumah sama sekali tidak direspon oleh Agung. Pria itu tidak bertanya apapun kepada sang ibu. Alih-alih merasa cemas atau khawatir, Agung justru sedikit kesal dengan tingkah ibunya. Menurut Agung, kabur dari rumah adalah salah satu bentuk sifat kekanak-kanakan.
"Kakak, kok, biasa aja, sih! Mama udah pulang, loh!" Senja melayangkan protes atas sikap dingin sang suami.
"Terus saya haru apa? Mama tidak pulang karena kemauannya sendiri. Bukan karena diculik atau pikun," jawab Agung, pria itu tetap fokus pada pekerjaannya.
"Ya tapi kan tetap saja. Mama berhari-hari tidak pulang," balas Senja sambil melirik suaminya. Namun, pria itu sama sekali tidak tertarik dengan obrolannya saat ini.
Tidak ada lagi obrolan, Senja yang merasa dihiraukan oleh suami, kini memilih bangkit dari sofa. Ketika kaki jenjang itu baru saja melangkah, tiba-tiba saja Agung mengucapkan sesuatu yang membuat Senja kembali membalikkan tubuhnya.
"Maksud kakak apa?" tanya Senja heran.
Agung beralih dari laptop ke arah sang istri. "Hati-hati sama orang yang baru kamu kenal. Jangan terlalu baik dan mudah percaya!"
Senja diam berpikir, mencerna kata-kata bermuatan peringatan tersebut. Berhasil mengurai kalimat itu, Senja pun kembali bersuara, "maksud kakak, Hilda?" tanyanya kemudian.
Bukannya menjawab, Agung justru kembali fokus pada laptopnya. Senja yang merasa penasaran, kini kembali mendaratkan bo-kongnya di samping sang suami.
"Maksud kakak, Hilda, kan?" tanyanya, menuntut.
Sesaat Agung menoleh ke arah sang istri, kemudian kembali lagi pada pekerjaannya. "Siapapun itu, Senja. Kamu juga harus waspada," jawab Agung, tidak membenarkan ataupun menyalahkan pertanyaan istrinya.
*
Hari terus bergulir. Cinta pun kian tumbuh menjadi batita yang lucu. Di usianya yang hampir menginjak satu tahun, dia sudah bisa berjalan, meski tertatih dan kerap kali terjatuh. Namun, Senja dan Agung selalu membantunya untuk bangkit dan kembali melangkahkan kakinya.
Meski demikian, hubungan Senja dan Risma, belum juga membaik. Mertuanya itu masih saja bersikap acuh dan selalu menolak usaha Senja untuk memperbaiki hubungan mereka.
Seperti saat ini, ketika Agung dan Senja sedang membahas rencana mereka untuk merayakan ulang tahun Cinta yang akan digelar minggu depan, Risma sama sekali tidak tertarik untuk merayakan hari bahagia cucunya itu.
"Mama mau kemana?" tanya Agung saat melihat ibunya bangkit dari sofa.
"Mau siap-siap. Bentar lagi Hilda mau jemput," jawabnya acuh.
Terdengar helaan napas panjang sebelum Agung berucap, "Hilda aja terus, Mah. Mama sadar enggak, sih? Cinta itu cucu mama sendiri." Hilang sudah kesabaran Agung selama ini.
"Cinta itu masih bayi. Kalian aja yang lebay! Pakai acara rayain ulang tahun segala," balas Risma sinis.
Di tengah perdebatan itu, datanglah Hilda. Perempuan itu tiba-tiba ikut masuk ke dalam pembicaraan.
“Kalian mau rayain ulang tahun Cinta?” tanyanya antusias.
Kedatangan Hilda membuat Agung membuang pandangan, sedangkan Senja buru-buru bangkit dan menyambut teman barunya itu.
Keduanya berpelukan layaknya teman dekat. Meski Agung sudah memperingatkan, tetapi Senja tetap bersikap baik pada Hilda. Menurutnya tidak ada yang salah, setiap orang memiliki kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik.
“Kalian mau bikin pesta ulang tahun buat Cinta, yah? Aku boleh ikut andil dalam pestanya, enggak?” tanya Hilda, setelah mereka berpelukan.
“Jangan, deh! Nyusahin diri aja,” sahut Risma. “Kita kan mau ke mall,” lanjutnya.
Sadar bahwa sejak tadi dia mengacuhkan Risma, kini Hilda beralih pada wanita paruh baya itu, dia bahkan melingkarkan tangannya di lengan mertua Senja. Sepertinya dia memang sengaja menunjukkan keberpihakan Risma terhadapnya pada istri sah Agung.
“Tante jangan marah, ya. Kita kan masih bisa ngemall besok,” ucapnya merayu, dia juga menyandarkan kepalanya pada bahu Risma.
“Enggak bisa. Ada tas branded yang pengen Tante beli,” jawab Risma menolak, wanita itu tanpa sadar membuka rahasia yang ditutup-tutupi dari sang putra.
“Memang mama punya uang?” tanya Agung menyela.
Risma gelagapan saat menyadari bahwa rahasianya kini dibongkar oleh dirinya sendiri. Dia mengguncang pelan lengannya yang sejak tadi digelayuti oleh Hilda, meminta pembelaan dari wanita yang saat ini bermanja-manja padanya.
Peka atas kode yang diberikan oleh Risma, Hilda mengedipkan sebelah matanya. “Agung, maaf, ya. Tas itu aku yang mau kasih ke Tante. Sebagai hadiah. Soalnya minggu lalu aku lupa beli oleh-oleh saat ke Singapore,” katanya.
Bukannya mendapat ucapan terima kasih dari Agung, Hilda justru dibuat menelan Saliva karena peringatan dari pria yang sejak dulu memenuhi ruang hatinya.
“Jika kamu masih seperti ini, saya tidak segan untuk melarang kamu datang ke rumah saya!”
“Agung!” tegur Risma tidak terima.
“Kenapa, Mah? Kalau mama keberatan, mama boleh ikut hidup susah bersama Abi,” ancam Agung, pria itu berlalu pergi dari ruang tamu karena tidak ingin semakin kesal.
Setelah kepergian Agung dari sana, Risma menatap sengit menantunya. Dari sorot matanya jelas ada kebencian di sana.
“Ini semua gara-gara kamu!” bentak Risma, kemudian pergi meninggalkan Senja dan Hilda.
Jelas Senja merasa sedih atas sikap sang mertua. Namun, dia enggan untuk kembali membalas perlakuan mertuanya dengan kata-kata yang kurang sopan. Senja tidak ingin sang mertuanya itu kabur lagi dari rumah.
“Senja, yang sabar, ya! Biar aku yang bicara sama Tante,” ucap Hilda, Senja hanya mengangguk setuju.
Hilda mengikuti Risma yang sudah sampai di kamar lebih dulu. Hilda memang sudah tahu seluk beluk rumah ini, hingga dia lebih leluasa ketika berada di rumah pribadi Agung.
Ketika sudah berada di kamar, Hilda sama sekali tidak memberikan kata-kata yang bisa menenangkan risma. Dia justru memberikan hasutan hingga wanita paruh baya itu semakin membenci menantunya sendiri.
“Tante lihat sendiri, ‘kan? Agung semakin berani sekarang. Dia bahkan mengusir tante, loh!”
Bagaikan menyiram bensin di api yang membara, hal itu tentu saja membuat amarah dalam diri Risma semakin berkobar. Wanita paruh baya itu bahkan memaki Senja dengan kata-kata yang kurang pantas. Meski Senja tidak mendengarnya tetapi hal itu tentu sangat tidak mencerminkan mertua yang baik.
“Menurut aku tante, kita harus gerak cepat. Tapi tetap harus main cantik. Jangan sampai ego kita merusak segalanya, merusak rencana kita untuk memisahkan Agung dan Senja. Kalau kita salah langkah sedikit saja, Senja pasti akan menang dan menguasai Agung, Tante,”
Raut kekesalan Risma kini berganti dengan seringai. Dia mulai paham dengan cara kerja Hilda. Kini mereka bertekad untuk menjadi serigala berbulu domba atau duri dalam daging demi menghancurkan rival mereka.
“Oke, kalau gitu mulai sekarang tante akan pura-pura baik sama Senja. Wanita itu harus diberi pelajaran, agar dia tahu siapa yang berkuasa di sini.”
“Bagus rencanaku untuk menghasut Tante Risma berjalan dengan lancar. Semua pasti akan mudah kudapatkan dengan bantuan wanita tua ini,” batin Hilda tertawa puas.