"Agung, apa mama juga harus tinggal di kontrakan bareng sama Abi?" tanya Risma dengan suara lemah.
"Enggak, Ma. Mama akan tinggal di sini bersama saya, Senja, dan Cinta."
"Mama temani Abi saja, yah," bujuk sang ibu.
Agung menggeleng, tidak setuju dengan permintaan sang ibu. "Kalau Mama mau temani Abi, saya yakin Mama tidak akan tega melihatnya hidup susah," ucap Agung.
"Agung, kamu jangan terlalu keras sama Abi. Dia itu adik kamu satu-satunya," ucap Risma yang belum mau menyerah.
"Karena Abi adik satu-satunya yang saya miliki, saya harus bisa membuat dia berubah, Mah. Mau jadi apa dia kalau terus-terusan dimanja seperti ini?" Agung menatap Abi yang sudah terlihat frustasi. "Sudahlah! Mau tidak mau, lakukan saja apa yang sudah saya suruh. Itu semua demi kebaikan Abi juga," lanjut Agung.
"Benarkah? Kamu melakukan ini demi kebaikan Abi? Bukan karena hasutan Senja?"
"Mah, plis jangan bawa-bawa istri Agung dalam permasalahan ini. Dia tidak tahu apa-apa," jawab Agung tetap membela Senja.
Tanpa disadari, ternyata Senja mendengarkan semua pembicaraan itu. Wanita itu menitikkan air mata saat melihat bagaimana sang suami membelanya di depan keluarga.
"Terima kasih, Kak. Bagaimana aku tidak jatuh cinta secepat ini pada kamu jika semua perlakuan kamu selalu membuatku merasa spesial. Meski sampai saat ini kamu belum pernah mengutarakan perasaan kamu padaku," ucap Senja antara sedih dan haru.
Meski keberatan dengan keputusan sepihak sang kakak, Abi berusaha untuk tetap tegar. Kini dia mulai merasa tertantang untuk membuktikan pada kakaknya bahwa dia benar-benar bisa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri.
Abi meninggalkan rumah Agung tanpa membawa kendaraan apapun. Dia harus rela melepaskan semuanya demi harga diri. Ini adalah pertama kalinya Abi terpaksa naik ojek untuk bertemu dengan sekretaris Agung.
Setelah Abi pergi dari rumah, Risma dengan wajah sedihnya hendak menuju kamarnya yang ada di rumah itu. Namun, sebelum kakinya melangkah, Agung kembali memberikan kejutan tak terduga.
"Mah, sebelum masuk kamar, berikan kartu ATM Mama pada saya. Dengan berat hati saya harus mengambil alih ATM Mama," ucap Agung tiba-tiba, Risma tentu terkejut bukan main.
"Tapi kenapa, Agung?"
"Saya tidak ingin Mama membantu Abi dengan uang yang sudah saya berikan untuk Mama. Bukan saya tidak ikhlas memberikan untuk Mama, tapi saya hanya ingin Abi bisa belajar mandiri," jawab Agung memberi penjelasan.
"Tapi kalau Mama butuh gimana?" tanya Risma masih berusaha agar kartu ATMnya tidak diambil oleh Agung.
"Mama tidak perlu khawatir. Semua kebutuhan Mama sudah tersedia," jawab Agung lugas.
Risma pun terpaksa memberikan kartu miliknya itu kepada Agung. Mau tidak mau, suka tidak suka. Semua keputusan memang mutlak milik Agung sebagai pemimpin dalam keluarga itu.
Agung kembali ke kamar setelah menyelesaikan urusan keluarganya. Di kamarnya, Senja sudah menunggu sang suami yang sejak awal melarangnya untuk ikut turun menemui Abi dan Risma.
Melihat sang istri duduk di sofa, Agung menghampiri istrinya itu. Ikut duduk berdampingan dengan wanita yang beberapa bulan lalu dinikahinya.
Raut wajah Agung terlihat berbeda. Senja menyadari itu. Apa lagi dia tahu bahwa sang suami berkonflik dengan keluarganya sendiri.
"Kak, sebenarnya ada apa, sih?" tanya Senja penasaran.
Agung menyandarkan punggungnya di sofa, memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya menatap sang istri. "Pagi tadi Abi masuk penjara," ucap Agung jujur.
"Masuk penjara? Memang dia melakukan apa?" tanya Senja, menatap lekat sang suami.
"Dia hampir menghabisi temannya sendiri."
"Astagfirullah! Serius, Kak? Kok, bisa, sih?"
"Saya tidak tahu kenapa bisa begitu. Makanya saya terpaksa memberi pelajaran untuknya agar mau bertaubat," jawab Agung lesu.
Senja mengangguk paham, dia mengelus lembut lengan sang suami. Berusaha memberikan dukungan lewat sentuhan hangatnya.
"Sabar, ya, Kak. Semua pasti akan lebih baik nantinya."
Jika awalnya keputusan Agung dikira akan berdampak baik, ternyata menimbulkan konflik baru. Risma yang sejak awal tidak merestui pernikahan Agung dan Senja kini mulai menganggap semua perubahan sikap Agung memang karena ulah Senja.
Sejak saat itu, hubungan antara menantu dan mertua itu semakin tidak harmonis. Risma selalu menghindar saat Senja berusaha mendekat. Perlakuan sang mertua yang terkesan menjauh akhirnya membuat Senja enggan mendekat.
Meski mereka tinggal di satu atap yang sama, tetapi mereka seperti orang asing yang tidak saling mengenal. Mereka hanya akan berkumpul ketika di meja makan. Itupun karena tidak ingin Agung menyadari perselisihan mereka.
Di kamarnya, Senja sedang duduk di depan meja rias. Menatap wajahnya sendiri yang masih polos tanpa riasan apapun. Dia memerhatikan dirinya yang dirasa tidak berbuat apa-apa, tetapi kenapa mertuanya semakin menunjukkan ketidaksukaan pada dirinya? Pertanyaan besar yang belum Senja temukan jawabannya.
"Apa yang salah denganku? Kenapa Mama semakin menjauh dan terkesan enggan untuk bertemu denganku, ya?"
Senja menggeleng saat pikiran buruk hadir. Dia segera menghempas jauh-jauh kecurigaannya. "Mungkin Mama cuma masih butuh waktu untuk menerima semua keadaan ini. Sebenarnya kasihan juga Mama harus ikut terkena imbas atas kesalahan yang dibuat oleh Abi," ucap Senja berasumsi.
*
Di sisi lain, tepatnya di kantor AW Group. Seorang pria sedang membuat beberapa cangkir kopi di pantry. Mulutnya terus mengumpat karena merasa direndahkan oleh karyawan-karyawan di kantor tersebut.
"Sial, gue kira kerja di kantor kakak sendiri akan enak. Nyatanya gue malah di taruh dibagian OB."
Office boy itu memang Abi, adik kandung satu-satunya Agung. Awalnya Abi mengira akan di berikan jabatan manager di perusahaan itu. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Abi hanya dijadikan sebagai office boy yang kerap kali di perlakukan seperti kacung oleh karyawan lainnya. Meski semua karyawan di sana tahu hubungannya dengan Agung, nyatanya tidak membuat para karyawan segan terhadapnya.
"Lo bikin kopi lama banget, sih! Udah ditungguin juga. Dasar lelet!"
Abiyan mendelik tajam. "Bangke, Lo, yah! Makin semena-mena aja Lo sama gue."
"Bahasa Lo, Bor! Ini di kantor, bukan di tempat tongkrongan Lo!"
"Diem Lo! Dasar karyawan kurang ajar." Abi melemparkan sendok yang tadi digunakan untuk mengaduk kopi.
"Dih, emang Lo bukan karyawan juga? punya jabatan apa elo di sini? cuma jadi babu, ’kan?"
Terjadilah keributan antara Abiyan dan karyawan tadi. Akibatnya sekarang Abi berada di ruangan Presdir perusahaan tersebut. Kini Abi berdiri, di depannya seorang pria duduk dengan aura kepemimpinan yang kuat.
"Kamu belum kapok juga, Bi?" tanya Pria itu, tatapannya terus tertuju pada Abi, seperti seekor singa yang sedang mengintai mangsa.
"Karyawan itu yang mulai duluan. Gue –"
"Stop! Tidak perlu melakukan pembelaan. Saya tidak bertanya siapa yang lebih dulu memulai. Kenyataannya kamu yang membuat karyawan itu babak belur," sahut Agung sebelum adiknya itu selesai bicara.
"Masih mending enggak gue buat masuk rumah sakit itu orang," jawab Abiyan ketus.
"Ternyata hukuman dari saya tidak membuat kamu jera, Abi. Harus dengan cara apa saya mendidik kamu?"
Abiyan tertawa setelah mendengar pertanyaan itu dari kakaknya. "Kamu sudah sangat terlambat untuk mendidik aku, Mas!"
Agung terdiam. Ucapan adiknya itu mungkin memang benar. Seharusnya dia melakukan itu saat sang adik masih remaja, masih memerlukan bimbingan bagaimana cara menjalani kehidupan yang baik.
"Kemana aja Mas Agung selama ini? Saat aku masih butuh sosok kakak yang seharusnya menjadi contoh untukku?"
Abiyan menatap Agung dengan tatapan yang sulit di artikan. Namun, ada gurat kekecewaan yang mendalam kepada sang kakak.
"Mas seharusnya membimbingku, mengingatkan aku, memberikan contoh untukku, Mas. Bukan malah memberiku hukuman jika aku sudah melakukan kesalahan!"