Bab 9. Tuduhan Abi

1002 Kata
Senja tidak menjawab, hanya diam mendengarkan suara seseorang yang sampai saat ini masih menimbulkan luka. Tidak mendapat jawaban, orang itu semakin mengeraskan suaranya. "Mas, suaraku kurang keras, kah?" tanyanya lagi. "Kak Agung lagi tidur," jawab Senja pada akhirnya. "Senja, ini kamu?" "Iya," jawab Senja singkat. "Kamu ngapain main hape Masku?" "Masmu itu, sekarang adalah Suamiku." Senja sengaja menekan kata suami. "Cih! Sombong!" "Aku cuma mengingatkan, siapa tahu kamu lupa." "Bukan lupa, cuma kurasa tidak penting," jawab Abiyan. "Baguslah. Ada perlu apa sampai menghubungi suamiku berulang kali?" tanya Senja dengan nada datar. "Bukan urusanmu!" "Apartemenmu tidak bisa dibuka?" tanya Senja lagi. "Iya, aku tahu ini pasti ulah kamu," tuduh Abi. "Aku? Jangan asal fitnah!" "Enggak usah ngelak, aku tahu kamu masih dendam. Itu sebabnya kamu menggunakan Mas Agung untuk balas dendam," tuduh Abiyan lagi. Senja tertawa remeh. "Aku tidak sepicik itu! Hati-hati kalau ngomong," ucap Senja memberi peringatan. "Jangan keterlaluan, Senja. Kamu berniat menghancurkan keluargaku, iya!" Senja menggeleng, tidak percaya bahwa Abiyan akan memfitnahnya seperti ini. Pria itu seakan menganggap dia adalah orang jahat dan pendendam. "Jikapun saya memiliki niat untuk membalas dendam, kamu pikir Kak Agung akan semudah itu untuk dimanfaatkan?" Panggilan berakhir, tampaknya Abiyan mematikan sambungan telepon secara sepihak. Senja hanya mengelus d**a saat mengetahui bahwa sifat Abi kini semakin menjadi-jadi. *** Satu jam setelah kejadian itu, rumah Agung kedatangan Abiyan yang tiba-tiba membuat keributan. Agung yang baru saja bangun sampai dibuat geram. Pria itu menemui sang adik yang sedang sejak tadi berteriak seolah sedang berada di tengah hutan. Risma terlihat sudah beberapa kali menasehati putra kesayangannya itu, tetapi Abi sama sekali tidak menggubris nasehat sang ibu. "Abi, jangan buat kakakmu marah!" "Biarkan saja, Mah. Biar Mas Agung tahu kalau aku kesal padanya," ucap Abiyan seraya bertolak pinggang. "Kamu semakin lama semakin tidak waras, Abi. Apa kamu tidak memiliki sopan santun sampai berbuat onar di rumah saya?" "Mas Agung benar-benar tega, ya. Demi Senja, Mas tega mengubah sandi apartemenku." Abiyan tidak menghiraukan sang kakak yang membahas tentang sopan santun. Kedatangannya ke sini hanya untuk kembali mengambil haknya saja. "Jangan bawa-bawa istri saya atas semua yang terjadi padamu, Abi. Belajarlah untuk lebih dewasa!" "Enggak, semua ini memang terjadi karena Mas termakan hasutan Senja," sahut Abi yang tetap menyalahkan mantan istrinya. Agung menatap geram adiknya. "Atas dasar apa kamu mengatakan itu?" "Mas memblokir semua ATMku, mas juga mengambil semua kendaraan mewahku. Sekarang, Mas dengan tega mengambil alih apartemenku. Apa itu tidak cukup menjadi bukti bahwa Mas lebih berpihak pada Senja?" "Jadi kamu mengamuk di sini hanya karena saya mengganti pin apartemen? Apa kamu tidak ingat bahwa kamu sendiri yang menyetujui persyaratan dari saya pagi tadi?" Agung akhirnya membahas tentang persyaratan yang mereka lakukan di kantor polisi. Abiyan terlihat bingung, sebab tadi mereka tidak membahas apa isi persyaratan itu. Dia buru-buru menyetujui syarat itu meski belum mengetahui poin-poin yang terkandung di dalamnya. "Persyaratan apa?" tanya Abi, nadanya kini sedikit melirih. Agung menyeringai. "Kamu memang terlalu gegabah dalam mengambil keputusan. Apakah sekarang kamu menyesal dan ingin meralat keputusan itu? Saya masih bisa mengembalikan kamu ke dalam sel," ucap Agung santai. Sepasang mata Abiyan membulat. Mendengar ucapan bermuatan ancaman itu membuat Abiyan semakin kesal pada kakaknya. "Mas tega melihatku menderita di penjara!" "Abi, sudah, Sayang. Jangan berdebat sama kakakmu. Mintalah baik-baik, dia pasti akan mengembalikan semua hak kamu," ucap Risma merayu anak kesayangannya. "Mama salah. Walaupun Abi menangis darah sekalipun, saya tidak akan pernah memberikan fasilitas mewah yang dulu dia dapatkan dari saya." Agung membantah asumsi sang ibu. Abiyan semakin menggeleng tak percaya. Ucapan sang kakak barusan sudah menjadi bukti bahwa pria itu tak lagi peduli padanya sedikitpun. Sementara itu, Risma yang syok langsung memegang tangan putra pertamanya. "Kamu enggak serius, kan, Agung?" tanya sang ibu berharap Agung hanya main-main saja. "Sejak kapan saya suka bercanda, Ma? Mama tentu saja lebih tahu bagaimana sifatku, 'kan?" Itu bukan Pertanyaan maupun pernyataan. Melainkan sebuah kalimat penegasan yang tidak bisa diragukan lagi kebenarannya. Bibir Risma bergetar, tak mampu untuk mengeluarkan sepatah katapun. Dia tidak mengira bahwa hubungan kedua putranya itu akan seburuk ini sekarang. "Pergilah, temui Arsya dan ambil kunci kontrakan darinya! Mulailah perbaiki kualitas hidupmu mulai sekarang. Saya masih berbaik hati memberikan kamu tunjangan hingga satu bulan ke depan," ucap Agung yang tentu mengejutkan Risma dan Abiyan. "Mas, kontrakan? Aku harus tinggal di kontrakan?" tanya Abi tak percaya. "Apaan, sih, Lo, Mas? Gue enggak mau tinggal di kontrakan. Itu tempat pasti sempit, pengap, dan pastinya kumuh!" Abiyan menolak keras perintah Agung. "Kamu enggak punya pilihan lain, Abi. Selain kos-kosan, cuma penjara yang akan menampung kamu." Agung semakin menekan adiknya itu. "Lo bener-bener keterlaluan, Mas. Tega Lo sama gue!" Saking jengkelnya, Abiyan sampai bersikap kurang ajar pada Agung. Biasanya dia tidak pernah menggunakan kata Lo gue saat berbicara dengan kakaknya. "Terserah kamu mau ngomong apa, Bi. Saya tidak akan pernah mengubah keputusan saya," ujar Agung tetap pada pendiriannya. "Enggak, pokoknya kalau bukan di apartement, gue bakal tinggal di sini." "Enggak, saya enggak akan mengizinkan kamu tinggal di sini." "Lo cemburu, Mas? Takut istri Lo kepincut gue lagi?" tanya Abiyan mengejek. Sebelah bibir Agung terangkat, mendengar ejekan adiknya itu bukan malah membuatnya marah. Dia justru semakin ingin memberi pelajaran kepada Abiyan. "Saya tidak khawatir istri saya akan kepincut kamu. Saya justru khawatir kamu tidak bisa move on jika melihat kebahagiaan rumah tangga saya," ucap Agung sengaja ingin melihat reaksi sang adik. "Omong kosong macam apa itu? Sejak awal gue yang ninggalin Senja, bukan sebaliknya. Jadi, jangan ngada-ngada, Mas!" "Bagus kalau kamu masih ingat. Jadi, saya tidak perlu mengingatkan kamu lagi tentang bobroknya kelakuan kamu," jawab Agung santai. Abiyan sampai mengusap wajahnya, tampak frustasi karena sang kakak bisa saja membuatnya mati kutu. Padahal, pria itu masih terlihat tenang, tetapi ucapannya sangat menusuk. "Udahlah, Mas. Jangan meleber ke mana-mana. Mau Mas Agung apa sekarang?" "Saya hanya mau kamu belajar untuk bertanggung jawab atas kehidupan kamu sendiri, ngerti?" Abi menarik napas dalam-dalam, kemudian dia buang lewat mulutnya. "Oke, gue bakal buktiin ke elo kalau gue bisa hidup mandiri," ucapnya penuh percaya diri. "Saya harap itu bukan omong kosong belaka," sahut Agung cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN