"Bukan urusan kamu! Aku di manapun itu tidak ada hubungannya dengan kamu, Abi. Lebih baik urus saja wanita yang sudah kesal menunggumu itu."
"Tidak usah pedulikan dia. Dia pasti rela menungguku meski berjam-jam sekalipun. Siapa yang tidak mau dengan pria tampan seperti aku?"
"Hanya wanita bod*h yang mau dengan pria tampan tapi tidak bertanggung jawab seperti kamu, Abi." Senja membuang muka, muak melihat wajah menyebalkan Abiyan.
Terlalu lama menunggu, membuat si wanita yang datang bersama Abi mendekat. Wanita itu bergelayut manja di lengan Abiyan.
"Sayang, dia siapa, sih? Kenapa kamu tega membuatku menunggu lama?" tanyanya dengan nada sensual.
"Bukan siapa-siapa, Sayang. Hanya seseorang di masa lalu," jawab Abi, sambil melirik kearah Senja.
Senja memutar bola matanya malas. Mendengar ucapan dan melihat tingkah sepasang manusia menji-jikan itu membuat Senja semakin muak.
"Saya peringatkan pada kamu, Mbak cantik. Hati-hatilah sama buaya gila seperti Abi! Jangan sampai kamu bernasib sama seperti saya. Menjadi orang tua tunggal untuk anakmu sendiri," ucap Senja, sengaja mengatakan itu agar Abiyan tidak lagi ikut campur tentang kehidupannya.
"Apa maksud kamu?" tanya wanita yang bersama Abi, terpancing oleh ucapan Senja barusan.
"Tanya saja pada kekasihmu itu. Oh iya, kalau belum menikah, jangan pernah berikan mahkotamu pada laki-laki!" Usai mengatakan itu, Senja pergi begitu saja.
Niatnya untuk menginap di hotel diurungkan. Senja memilih untuk meninggalkan tempat tersebut. Akan tetapi, baru saja Senja keluar dari lobby, tiba-tiba saja langkahnya dihadang oleh dua pria bertubuh besar.
Senja menatap kedua pria berpakaian serba hitam itu. "Permisi, saya mau lewat," ucap Senja sopan.
"Lebih baik anda ikut kami."
Senja terpaksa ikut dengan dua orang yang menghadangnya. Sepanjang perjalanan, Senja terlihat tegang dan cemas. Takut, ya. Bukan takut akan terjadi sesuatu pada dirinya sendiri. Yang dicemaskan oleh Senja adalah Cinta, bagaimana jika akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada anaknya.
"Kalian mau bawa saya ke mana?" tanya Senja, dia memberanikan diri melihat kedua orang yang duduk di kursi depan lewat kaca spion.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Senja. Wanita itu pun merasa semakin panik. Sekelebat bayangan sang suami yang biasanya selalu ada tiba-tiba muncul.
"Kak Agung, tolonglah kami." Kata-kata itu hanya terucap di hatinya saja.
Senja terus memperhatikan jalanan yang dilewati. Sebelah matanya memicing saat dapat mengenali jalan yang saat ini mereka lewati.
"Kalian orang suruhan Kak Agung?" tanya Senja curiga, ketakutan sudah lenyap begitu saja.
Tidak adanya jawaban membuat Senja semakin yakin bahwa kecurigaannya memang benar. Senja mendengus, sebab, dia tahu niatnya untuk kabur sudah gagal total.
"Kalau punya wanita lain, ngapain masih ngurusin aku, sih!" Lagi-lagi ucapan itu hanya bisa diutarakan dalam hatinya saja.
Suasana hatinya semakin buruk saat mobil yang ditumpanginya masuk ke dalam gerbang rumah mewah yang sialnya benar-benar rumah milik sang suami. Namun, ada sedikit rasa lega karena setidaknya Cinta tidak dalam bahaya seperti ketakutannya tadi.
Senja memanyunkan bibirnya ketika melihat sang suami tengah berdiri di teras depan rumah. Meski hanya berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana, nyatanya aura pria itu dapat mengintimidasi lawannya bahkan sebelum mereka bertatap muka.
Mobil berhenti tepat di depan Agung berdiri. Seorang yang tadi menjemput Senja membukakan pintu mobil untuk istri bosnya. Senja sempat membuang napas panjang sebelum keluar dari mobil tersebut.
"Aku harus berani."
Pelan-pelan Senja memberanikan diri untuk berhadapan dengan Agung. Pria itu masih diam, tidak merubah posisinya. Hanya bola matanya saja yang terlihat memindai sang istri dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.
Apa yang dilakukan oleh Agung barusan malah semakin membuat Senja merasa terintimidasi. Dia yang awalnya berniat melakukan perlawanan, kini mulai menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang bimbang antara takut dan ingin melawan.
"Masuk!"
Satu kata yang keluar dari bibir tebal Agung itu bermakna perintah yang tidak bisa dibantah. Senja menurut, dia segera menuntun langkahnya masuk ke rumah. Agung mengikuti dari belakang.
"Mbak Arum." Agung memanggil salah satu asisten rumah tangganya.
Wanita yang usianya sekitar kepala 4 itu berlari setelah sang majikan memangilnya. Dengan sikap sopan dia menghadap pada majikannya.
"Ada yang bisa saya bantu, Mas Agung?"
"Tolong bawa Cinta dan temani dia!"
"Baik, Mas Agung." Arum mengambil alih Cinta dari gendongan Senja.
"Hati-hati, Mbak Arum." Senja terpaksa memberikan Cinta pada asisten rumah tangganya itu untuk sementara.
Kini tinggalah Senja dan Agung dengan gesture tubuh yang berbeda. Agung dengan sikap tenang, sedangkan Senja begitu kentara bahwa dia sedang gelisah.
"Saya perlu bicara sama kamu." Agung memimpin langkah naik ke lantai atas menuju kamarnya, dan Senja hanya bisa mengikuti dari belakang.
Mereka telah sampai di depan pintu kamar. Agung membuka pintu, kemudian memberikan perintah dengan isyarat mata agar istrinya itu masuk lebih dulu. Setelah Senja masuk ke kamar, Agung ikut masuk dan menutup pintu kamar tersebut. Tidak hanya itu, Agung bahkan mengambil kuncinya setelah memastikan pintu tersebut terkunci.
Mendengar suara itu, Senja membalik tubuhnya. Dia menatap gugup sang suami yang biasanya terlihat berwibawa, kini berubah menyeramkan meski hanya dengan tatapan mata yang tajam.
Belum ada kata apapun yang terucap. Agung hanya menatap lekat sang istri yang kini kembali menundukkan wajahnya. Kegugupan Senja dapat ditangkap oleh Agung karena wanita itu memainkan jari-jarinya.
Keringat dingin membasahi tubuhnya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Senja tidak tahu. Namun, dia bisa menilai bahwa suaminya tengah marah kepadanya.
"Ekhm." Deheman Agung sempat membuat Senja tersentak kaget. Akan tetapi, dia benar-benar tidak berani membuka mulut.
"Kamu tidak ingin menjelaskan sesuatu pada saya?" tanya Agung dengan nada datar.
"M-menjelaskan apa?" tanya Senja balik, dia sangat gugup kali ini.
"Oh, jadi tidak ada, ya. Apa harus saya yang menjelaskan sesuatu pada kamu?"
Senja tetap diam, bingung dengan pertanyaan Agung barusan. Dia reflek mundur saat melihat kaki sang suami maju satu langkah.
"Tenanglah, saya tidak akan menyakiti istri saya sendiri."
Mendengar itu, Senja memberanikan diri menatap sang suami. Iris berwarna cokelat itu sudah berkaca-kaca. "Kak Agung sadar kalau apa yang kakak lakukan itu sudah menyakiti aku?"
Agung maju lagi saat mendapat pertanyaan itu dari istrinya dan Senja mundur ke belakang. "Memangnya saya melakukan apa?"
Senja kembali terdiam. Berusaha menahan bibirnya yang bergetar. Kilasan kejadian Agung bersama dengan perempuan lain di taman kembali membuat Senja merasa dikhianati.
"Senja–"
"Aku membebaskan kakak dari tanggung jawab atasku dan Cinta. Mulai sekarang, kejarlah perempuan yang kakak cintai." Senja mengucapkan itu dalam sekali tarikan napas.
Rasa sesak menyeruak di da-da. Melepaskan suami yang baru beberapa bulan menikahinya mungkin adalah keputusan yang tepat. Senja tidak ingin hatinya tersakiti lagi. Dia tidak yakin bagaimana perasaannya, tetapi yang jelas dia tidak ingin berbagi suami.
"Kamu bicara apa?" tanya Agung heran.
Sekuat tenaga Senja menekan perasaannya. Dia tidak ingin terlihat lemah. Dia harus berani sekarang. Senja tidak ingin hidup bersama seorang yang tidak mencintainya sama sekali.
"Kita akhiri saja pernikahan ini, Kak. Aku ikhlas melepas kamu bersama perempuan lain," ucap Senja.
"Apa, sih, maksudmu? Saya, perempuan lain?"
"Hilda. Kakak mencintainya, 'kan? Kakak sudah berjanji akan menikahinya." Lolos juga akhirnya kata-kata itu.
"Hilda?" Agung memasang ekspresi terkejut, dia bahkan menunjuk dirinya sendiri. "Saya mencintai Hilda? Omong kosong macam apa yang sedang kamu bicarakan?"
"Kakak tidak perlu mengelak lagi. Aku sudah lihat kalian menghabiskan waktu bersama di taman!"
Agung menahan senyum saat melihat sang istri kini berani membentaknya. Jika biasanya Senja selalu penuh pengertian dan lembut, kini berganti dengan Senja yang penuh dengan amarah. Meski begitu, dia terlihat sangat menggemaskan.
"Kamu cemburu karena saya bertemu dengan Hilda?"
"Aku tidak punya hak untuk cemburu, 'kan? Aku yang tiba-tiba datang dan menjadi penghalang hubungan kalian."
"Siapa yang bilang seperti itu?"
"Memang kenyataannya seperti itu." Senja membalik tubuhnya, membelakangi Agung agar suaminya itu tidak melihat air mata yang kini mengalir.
Sepasang tangan kekar melingkar di pinggang Senja. Wanita itu sempat terkejut. Namun, dia membiarkan tangan itu memeluk tubuhnya. Senja bahkan menutup kedua matanya, menikmati pelukan hangat yang baru pertama kali ini dia dapatkan dari sang suami.
"Saya tidak akan pernah memberikan posisi kamu pada perempuan manapun. Pegang kata-kata saya," bisikan itu seketika membuat Senja meremang.