Bab 7. Kantor Polisi

1084 Kata
Kecupan lama di kening Senja menjadi akhir dari kegiatan mereka. Sepasang suami istri yang sempat berseteru itu kini sama-sama ambruk usai menikmati malam panas. Mungkin benar kata orang, di dalam rumah tangga pasti harus ada konflik yang akhirnya justru membuat hubungan itu semakin hangat. "Kamu pasti lelah. Tidurlah!" Tanpa bantahan, Senja menuruti perintah sang suami. Dia memejamkan kedua matanya. Meski beberapa kali dia sempat mencuri pandang dengan sedikit membuka kelopak matanya itu, tetapi buru-buru kembali memejamkannya saat sadar bahwa suaminya memperhatikan. Dengkuran halus menandakan bahwa Senja benar-benar telah beralih ke alam mimpi. Agung tersenyum, sambil menggelengkan kepalanya. Pria dewasa itu menyingkap sedikit anak rambut yang menutupi wajah sang istri. Dibelainya pipi istrinya itu hingga ibu jari Agung berhenti di bibir Senja. Agung menelan Saliva saat mengamati bibir istrinya itu dalam keadaan sedikit terbuka. Rasanya ingin sekali kembali menyerang sesuatu yang sekarang sudah menjadi bagian favorit untuknya. Pria itu sedikit memajukan wajahnya, hendak kembali mengecup bibir itu. Namun, setelah sadar Agung hanya menggelengkan kepalanya. "Kamu jangan rakus, Agung. Kasihan Senja." Dia masih menatap lekat wajah lelah istrinya. *** Wanita itu sedang berada di dapur. Memasak beberapa menu sehat yang akan dipersembahkan untuk sang suami. Mbak Arum sudah berusaha melarang, tetapi Senja tetap kekeh ingin memasak. "Tapi saya bantu, ya, Mbak Senja." Arum tentu ketar-ketir melihat majikannya itu masak. Jika Agung melihat hal itu, tentu saja Arum akan mendapatkan teguran. Sebab, Agung sudah berpesan agar Senja tidak mengerjakan urusan dapur. "Enggak usah, Mbak Arum. Senja bisa sendiri, kok. Senja kan udah biasa masak di rumah," tolak Senja sopan. "Tapi, Mbak. Nanti ... Mas Agung–" "Enggak apa-apa, Senja juga enggak tiap hari ini masak di sini, 'kan?" Arum terpaksa membiarkan Senja melakukan hal sesukanya. Meskipun perintah dari Agung adalah yang utama, tetapi kemauan istri majikannya ini tidak kalah pentingnya. Butuh waktu satu jam Senja mengolah makanan spesial untuk sang suami. Kini wanita itu menghidangkan masakannya di meja makan. Senyum secerah matahari pagi menghiasi wajah polos itu. "Mbak Arum, saya mau bangunkan Kak Agung dulu, ya." "Iya, Mbak." Senja kembali ke kamarnya untuk membangunkan sang suami. Bibir berwarna merah jambu itu mengembang saat mendapati sang suami masih tidur dengan nyenyak di ranjang. Agung memang tidur lagi setelah menunaikan ibadah shalat subuh. Sepertinya pria itu kelelahan hingga belum bangun sampai pukul delapan pagi. Senja mengayunkan langkah menghampiri sang suami. Duduk di tepi ranjang, menepuk pelan lengan sang suami agar pria itu bangun. "Kak, bangun!" "Em." Hanya suara itu yang terdengar, sementara sepasang matanya masih merekat kuat. "Kakak, bangun." Senja mengguncang bahu Agung agar pria itu beranjak dari alam mimpi. "Saya sibuk, pergi sana!" Bola mata Senja hendak keluar saat sang suami malah mengusirnya. Dia tahu, suaminya itu pasti mengigau dan mimpinya pasti tentang pekerjaan. "Ih, kakak, bangun!" Agung masih belum bangun juga, Senja sampai frustasi saat membangunkan sang suami. "Kamu mau pergi atau saya pecat?" Rasa kesal Senja kini berganti dengan tawa renyah. Wanita itu cekikikan saat mendengar ancaman sang suami. "Jadi kakak mau pecat aku jadi istri?" tanyanya setelah menghentikan tawa. Kelopak mata yang sejak tadi rekat itu tiba-tiba terbuka lebar. Pria itu bahkan menoleh ke belakang dan mendapati sang istri dengan raut wajah datar. "K-kamu bilang apa tadi?" tanya Agung bingung. "Kakak mau pecat aku." "Hah, pecat kamu? Memangnya kamu kerja di sini?" "Mana aku tahu. Kakak yang ngomong." Senja melipat kedua tangannya di da-da. Masih dengan keadaan bingung, Agung menyingkap selimutnya, lalu beranjak dari kasur empuk itu. "Saya rasa kamu ngigau, deh!" "Dih! Kakak yang ngigau dan sekarang nuduh aku," sahut Senja kesal. Agung yang biasanya sangat berwibawa, kini terlihat kebingungan. Pria itu bahkan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Kamu aneh, deh." Senja membulatkan matanya. Menatap Agung seperti elang yang akan menerkam mangsa. "Kakak ngomong aku aneh lagi, siap-siap puasa 8 bulan." Meski belum sadar sepenuhnya, entah kenapa pikiran Agung langsung terkoneksi setelah mendapat ancaman istrinya itu. "Maaf-maaf, saya yang salah," ucap Agung meski masih sedikit bingung. Senja menahan tawanya ketika melihat ekspresi dan reaksi sang suami. Dia ikut bangkit, kemudian mendorong pelan suaminya yang masih diam berdiri sejak tadi. "Mandi dulu, gih!" "Saya kan udah mandi tadi." Meski membantah, tetapi kaki Agung tetap melangkah. "Mandi lagi biar enggak ling-lung." Senja mendorong suaminya itu ke kamar mandi. Namun, pria itu berhenti di ambang pintu. "Kakak mau mandi atau mau aku bantu mandikan?" Agung mengambil langkah seribu setelah mendapat tawaran itu. Bukan apa-apa, dia yakin akan susah mengendalikan diri jika menerima tawaran menggiurkan itu. Dia langsung menutup dan mengunci pintu kamar mandi. "Kak, kok, dikunci," protes Senja sambil menggedor-gedor pintu. "Saya bisa mandi sendiri." Senja tertawa tanpa suara karena merasa tingkah suaminya itu sangat lucu. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa pria yang terlihat dingin seperti Agung akan bersikap semenggemaskan itu. Bahkan Abi yang awalnya begitu manis, tidak pernah membuatnya tertawa seperti ini. "Abis mandi turun ke bawah, ya, Kak! Aku udah buat sarapan," ucap Senja sedikit berteriak. "Iya," jawab Agung singkat. Senja keluar dari kamar itu, lalu masuk ke kamar Cinta. Sejak semalam dia belum bertemu dengan buah hatinya itu. Baru saja masuk ke kamar itu, Senja disambut oleh tangisan Cinta. Buru-buru Senja menghampiri sang anak, memangku bayi itu. Biasanya Cinta akan langsung diam setelah berada di dekapannya. Namun, saat ini putri kecilnya itu masih saja menangis, bahkan tangisannya semakin keras. "Astagfirullah, kamu demam, Nak." Tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Cinta, Agung segera menghubungi dokter pribadinya. Kini bayi mungil itu sedang diperiksa oleh dokter. "Gimana, Dok?" tanya Agung, raut wajahnya terlihat panik. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak. Demam itu biasa terjadi saat pertumbuhan. Cinta sedang ada di fase itu," jawab sang dokter. "Dokter yakin? Anak saya tidak perlu mendapatkan perawatan intensif?" tanya Agung lagi, dia perlu memastikan kesehatan sang putri. "Saya yakin, Pak." Dokter itu merapikan peralatan medis miliknya. "Saya sudah resepkan obat penurun panas, dan saran saya Cinta lebih banyak diberikan ASI, makannya juga harus diperhatikan." "Baik, Dok. Terima kasih," ucap Agung, dokter hanya mengangguk kemudian berpamitan. Usai dokter yang memeriksa Cinta meninggalkan rumah itu, Agung mendapatkan panggilan dari sang ibu. Wanita itu tiba-tiba menangis dan meminta Agung untuk segera datang ke kantor polisi. "Saya pergi dulu, ya," pamit Agung kepada istrinya. "Kak Agung mau ke mana?" tanya Senja, sambil mengasihi Cinta. "Ke kantor polisi. Tadi Mama minta saya untuk datang ke sana. Kamu enggak apa-apa, kan?" "Iya, Kak. Gak apa-apa, kok. Kakak hati-hati, yah." Senja mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan suaminya. Agung menatap lekat sang anak yang kini mulai tertidur di pangkuan Senja. "Tolong jaga Cinta, ya. Bilang sama dia, saya akan segera kembali setelah masalahnya clear."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN