Sampailah Agung di kantor polisi. Dia disambut oleh sang ibu yang menangis tergugu di depan kantor kepolisian. Entah masalah apa yang kali ini harus dia selesaikan. Namun, itu pasti bukanlah hal yang sepele.
"Agung, tolongin Abi, Nak." Risma memeluk Agung, masih dengan tangis sesegukan.
Agung hanya memasang ekspresi datar. Seperti dugaannya, yang berulah lagi-lagi adalah Abiyan. Entah kapan anak itu akan kapok dan berubah. Padahal, usianya sudah dewasa, tetapi sikapnya masih seperti anak-anak saja. Hobi membuat ulah yang akhirnya harus Agung yang membersihkan.
"Dia buat ulah apa lagi, Mah?" tanya Agung datar, terkesan tidak peduli.
"Dia beran-tem sama temennya."
"Hanya berkelahi sampai masuk kantor polisi?"
"Berantemnya udah bawa sajam, Agung."
"Pantas kalau gitu. Udah masuk kri-minal. Mending kita pulang, Mah."
Risma memasang ekspresi memelas. "Tolong bantu Abi, Nak," pinta Risma memohon.
"Sampai kapan Mama akan membelanya terus, Mah? Apa yang terjadi pada Senja dan Cinta tidak bisa menjadi pelajaran untuk Mama agar tidak lagi memanjakan Abi?"
"Nak, apa yang terjadi pada Abi, itu karena dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ayah."
"Tapi tidak semua hal bisa diwajarkan, Mah. Abi menjadikan semua ini sebagai pelampiasan. Seharusnya dia bisa belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik," protes Agung, dia sudah frustasi atas kelakuan adiknya itu.
Tidak menyerah begitu saja, Risma menangkupkan kedua tangannya di da-da. Ekspresi wajahnya benar-benar membuat Agung merasa muak.
"B-bantu Abiyan sekali ini saja, Agung. Mama mohon."
Agung berdecak kesal. Meski begitu, dia tidak tega untuk menolak permintaan sang ibu.
"Oke, ini yang terakhir kalinya. Agung juga punya syarat untuk itu," ucap Agung tegas.
Sepasang mata sang ibu berbinar. "Terserah kamu mau kasih syarat apa, yang penting bantu Abi keluar dari sini."
"Ya sudah, saya hubungi pengacara untuk mendampingi Abiyan," ucap Agung, Risma mengangguk setuju.
Usai menghubungi sang pengacara, Agung dan ibunya masuk ke kantor polisi untuk menemui Abi. Keduanya duduk di ruang tunggu, menanti Abi yang sedang dipanggil oleh petugas.
Abiyan yang awalnya merasa lemas, seketika bersemangat saat melihat keberadaan sang kakak. Dia sempat mengira bahwa Agung tidak akan memperdulikannya seperti ancaman pria itu saat membuat perhitungan atas permasalah rumah tangganya.
"Mas Agung!" Abi buru-buru menghampiri sang kakak dengan wajah berbinar.
Agung memalingkan muka saat melihat Abiyan. Dia merasa muak dengan perilaku sang adik yang masih saja hobi membuat masalah.
"Agung," tegur Risma kepada putra sulungnya.
"Saya datang ke sini hanya untuk membuat penawaran. Jika kamu setuju, saya akan bantu kamu untuk keluar dari sini. Tapi, jika kamu tidak setuju pun itu bukan permasalahan untuk saya," ucap Agung, dia sempat menatap datar sang adik.
Abiyan sedikit lesu ketika mendapati sikap dingin sang kakak. Dia kira Agung datang benar-benar karena peduli padanya. Namun, sikap sang kakak justru bertolak belakang dengan ekspektasinya.
"Penawaran apa, Mas?" tanya Abi, dia menatap sang ibu yang menganggukkan kepala memberikan kode agar dia menerima tawaran kakaknya.
"Setelah keluar dari penjara, kamu bekerja di kantor dan belajar bertanggung jawab atas hidupmu sendiri," ucap Agung singkat tetapi sangat berbobot.
"Kerja di kantor Mas Agung?" tanya Abiyan memastikan.
"Ya, karena belum tentu ada kantor yang mau menerima pegawai seperti kamu." Ucapan itu sangat menohok, tetapi Abiyan memilih untuk tidak memperdulikan itu.
"Oke, aku siap bekerja di kantormu, Mas," sahut Abiyan penuh percaya diri.
"Bagus. Lawyer saya akan datang ke sini untuk membantu kamu." Agung bangkit, tetapi Abiyan memegang tangan kakaknya itu.
"Mas mau ke mana?" tanya Abiyan heran.
"Pulang, saya memiliki istri dan anak yang juga harus saya perhatikan." Usai mengatakan itu, Agung mengibaskan tangannya hingga tangan Abi terlepas darinya.
Pria itu berjalan tanpa menoleh ke belakang. Membiarkan adik serta ibunya yang masih memanggil-manggil namanya.
"Biarkan saja, Bi. Kakakmu pasti sibuk. Sekarang yang terpenting kamu bisa bebas," ucap Risma agar Abiyan lebih tenang.
"Tapi Mas Agung beneran bakal kirim pengacara, 'kan, Mah?" tanya Abi lagi, dia takut jika sang kakak hanya bicara omong kosong.
"Iya, Sayang. Tadi masmu sudah telepon pengacaranya, kok."
Di sisi lainnya, Agung benar-benar memenuhi janjinya untuk segera pulang setelah masalah teratasi. Dia bergegas masuk rumah untuk menemui sang istri.
Terlihat Senja sedang berada di meja makan, menikmati sajian yang terhidang di sana sambil memegang Cinta. Bayi mungil itu tidak mau lepas dari dekapan sang ibu, hingga Senja harus menyantap makan siangnya sambil memangku Cinta.
Agung mempercepat langkah menghampiri istrinya. Dengan cekatan Agung mengambil alih Cinta ke dalam gendongannya. Senja mengulas senyum lega karena Agung benar-benar memegang ucapannya.
"Masalahnya udah selesai, Kak?" tanya Senja, Agung mengangguk.
"Syukurlah. Memangnya ada masalah apa sampai kakak harus ke kantor polisi?" tanya Senja lagi, dia terlihat penasaran.
"Bukan masalah penting, kok. Kamu enggak perlu memikirkannya," jawab Agung menyembunyikan permasalahan yang sebenarnya.
"Kakak yakin? Enggak bohong?"
"Kelihatan kalau saya lagi bohong, yah?" tanya Agung, Senja mengangguk.
"Enggak mungkin Kak Agung turun tangan kalau bukan masalah yang serius," ucap Senja seraya menatap suaminya.
"Kamu peka banget jadi istri," puji Agung, Senja tertawa kecil setelah mendengar pujian sang suami.
"Makanya mending jujur, deh!"
"Iya, deh, nanti saya jelasin. Sekarang saya mau bawa Cinta ke kamar dulu," ujar Agung, lalu melangkah pergi setelah sang istri mengangguk setuju.
Senja melanjutkan makan siangnya. Menikmati suap demi suap makanan sederhana itu. Segelas air putih diminum oleh Senja untuk mengakhiri kegiatannya di meja makan.
Selesai menyantap hidangan yang dimasak oleh Mbak Arum, Senja bergegas menyusul sang suami di kamar. Ketika baru saja masuk, yang dilihat oleh Senja adalah pemandangan yang sangat membuatnya bahagia.
Agung sedang tidur berdampingan dengan Cinta. Pria itu ternyata berhasil menidurkan Cinta, bahkan dirinya juga ikut tidur bersama bayi 8 bulan tersebut.
"Perasaan aku makan cuma sebentar, eh, udah ditinggal tidur aja." Senja mendekati orang-orang tersayangnya, duduk di pinggir ranjang yang berlawanan dengan Agung.
Ditatapnya Agung dan Cinta bergantian. "Kamu beruntung memiliki papa Agung, Cinta. Semoga kalian bisa saling menyayangi selamanya," ucap Senja penuh harap.
Dering ponsel mengalihkan atensi Senja dari kedua objek indah titipan Tuhan itu, dia bergegas mengambil ponsel Agung yang tergeletak samping tas kerja pria itu. Alisnya menyatu saat melihat nama seseorang di layar ponsel.
Tidak ingin berurusan dengan orang yang menghubungi suaminya, tetapi juga tidak ingin sering ponsel tersebut mengganggu tidur dua makhluk hidup di atas ranjang, Senja memilih men-silent ponsel Agung.
Senja sempat menatap lama nama yang terpampang jelas di layar. Nama yang sampai saat ini masih membuat hatinya sakit. Wanita itu hendak menaruh kembali ponsel itu saat panggilan terputus. Namun, baru saja diletakkan, layar ponsel kembali berkedip. Ada panggilan dari orang yang sama.
Terpaksa Senja menekan gagang hijau di layar tersebut, kemudian menempelkannya pada telinga kanan. Akan tetapi, Senja belum mengeluarkan suara.
"Mas, kenapa apartemen aku enggak bisa dibuka?" tanya seorang di seberang sana.