Malam semakin larut, tetapi Risma tak kunjung pulang. Kekhawatiran Senja semakin menjadi-jadi saja. Dia takut jika mertuanya dalam bahaya. Selain itu, Senja juga merasa bersalah karena sempat berada argumen dengan sang mertua.
Senja masih saja menunggu di ruang tamu, sedangkan Agung sempat melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja, sebelum akhirnya menyusul sang istri yang masih setia menunggu kepulangan Risma.
"Sampai kapan kamu mau menunggu di sini?" tanya Agung, dia ikut duduk di samping sang istri yang terlihat sangat cemas.
"Sampai Mama pulang, Kak."
Agung sendiri sama sekali tidak khawatir, sebab dia sudah tahu di mana keberadaan sang ibu. Namun, dia sengaja tidak ingin memberi tahu Senja. Agung takut jika hal itu akan melukai hati sang istri.
"Kenapa kamu sekhawatir ini pada Mama? Bukankah sikap Mama selama ini tidak baik pada kamu?"
"Mau seperti apapun sikap Mama padaku, dia tetap ibu kamu, Kak. Itu artinya Mama juga adalah orang tuaku," jawab Senja tulus.
"Kamu tidak sakit hati atas perlakuan Mama pada kamu?" tanya Agung heran.
Senja menggeleng, sebagai jawaban. Dia menatap wajah sang suami dengan sorot mata sendu. "Aku tidak pernah mempermasalahkan sikap Mama padaku, Kak. Yang aku sesalkan, karena hubungan kami yang kurang baik, akhirnya membuat Mama menjaga jarak dari Cinta. Padahal, Cinta tetap cucu kandung Mama sendiri," jawabnya jujur.
Agung terdiam, membenarkan ucapan sang istri. Hanya karena membela Abiyan, Risma sampai mengesampingkan status Cinta sebagai cucu.
Senja mengira diamnya sang suami karena tersinggung dengan ucapannya. Buru-buru dia memberikan penjelasan agar sang suami tidak marah. "Maaf, Kak. Mungkin aku salah karena hanya melihat dari sisi Cinta saja."
Mendengar penjelasan sang istri yang terdengar dengan nada bersalah, Agung menerbitkan senyum tipis. "Kamu tidak salah, Senja. Itu memang kenyataannya. Mama tidak memberikan hak Cinta sebagai cucunya," sahut Agung penuh wibawa.
Keheningan kembali terjadi. Keduanya sedang larut dalam pikiran masing-masing. Senja takut jika salah bicara lagi dan memilih untuk diam. Sedangkan Agung, dia juga menyayangkan sikap sang ibu.
"Lebih baik kamu istirahat! Saya tidak mau kamu stres dan hal itu akan berimbas pada Cinta," titah Agung sambil memberi penjelasan.
Senja menolak dengan gelengan kepala. Wanita itu memang agak keras kepala jika menyangkut tentang keluarga.
"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan Mama, Senja. Dia baik-baik saja."
"Dari mana kakak tahu kalau Mama baik-baik saja?"
"Mama sedang di rumah Abiyan. Dia pasti merindukan anak kesayangannya itu," jawab Agung berkelit. Namun, hal itu benar-benar terpatahkan karena kedatangan Abi ke rumah itu.
"Mama kemana, Mas?" tanya Abi yang baru saja datang.
Agung sampai menepuk jidatnya saat melihat kedatangan sang adik. Niatnya untuk membohongi Senja agar wanita itu lebih tenang, rupanya digagalkan oleh Abiyan.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Agung balik, dengan nada datar.
Abi nyelonong masuk begitu saja. Tanpa rasa malu, dia duduk di sofa tunggal dekat dengan Agung. Pria itu bahkan tidak menghiraukan keberadaan sang mantan istri.
"Mama kemana?" tanya Abiyan lagi, dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan sang kakak.
"Mama tidak ada di kontrakan kamu, Bi?" tanya Senja menyela.
Mendapat pertanyaan itu, Abiyan terpaksa menatap Senja, mantan istri yang sekarang menjadi kakak iparnya. "Kalau Mama di tempatku, ngapain aku tanya sama Mas Agung?"
Senja sampai memegang lengan suaminya, tidak hanya itu, Senja bahkan mengguncang pelan lengan sang suami. "Gimana, Kak? Mama tidak ada di kontrakan Abi."
"Kamu tenang dulu, Sayang. Nanti biar saya yang cari," jawab Agung, berusaha menenangkan Senja. "Sekarang lebih baik kamu istirahat di kamar dulu, ya!"
Dari ekspresi Agung yang terlihat serius membuat Senja tidak bisa membantah atau menolak perintah sang suami. Wanita itu akhirnya menurut, Senja berlalu ke kamar.
Kini tinggalah kakak beradik ini. Agung melayangkan tatapan tidak suka kepada adiknya. Sementara itu, Abiyan bersikap bodo amat.
"Ngapain kamu datang ke sini lagi?" tanya Agung, dengan nada tidak bersahabat.
"Jawab dulu pertanyaanku, dimana Mama?"
"Di rumah Hilda," jawab Agung singkat, dengan nada malas mengucapkan nama wanita itu.
Abiyan hanya mengangguk paham. Dia tahu sang ibu pasti sedang tidak nyaman di rumah ini hingga memilih untuk menginap di rumah Hilda.
"Ada perlu apa sampai berkunjung ke rumahku malam-malam seperti ini?"
Abiyan kembali memasang ekspresi serius. "Aku mau minta Mas buat naikin gaji aku, Mas!"
"Tidak bisa." Agung menolak tegas.
"Kenapa tidak bisa?"
"Karena peraturannya memang seperti itu. Gaji setiap pegawai sudah tertulis jelas berapa nominalnya. Saya tidak bisa seenaknya mengganti peraturan, apa lagi hanya dikhususkan untuk kamu," jawab Agung jelas.
Abiyan mendengus, kemudian menjambak kasar rambutnya sendiri. "Mas tega melihatku harus bertahan hidup hanya dengan uang 3,5 juta? Itu bahkan tidak ada separuhnya dari jatah yang Mas berikan bulan lalu."
Meski melihat sang adik benar-benar seperti menderita, nyatanya tidak membuat Agung ingin bersimpati. Semua dia lakukan demi kebaikan sang adik.
"Itu bukan urusan saya," sahut Agung tidak peduli.
"Mas, plis. Aku janji akan berubah," ucap Abiyan memohon.
Agung menatap wajah sang adik. Meski Abi sudah memasang wajah sememelas mungkin, Agung benar-benar tidak luluh sama sekali.
"Saya tidak butuh janji kamu, Abi. Jika kamu memang mau berubah, buktikan! Saya akan memikirkan ulang tentang hukuman ini jika saya bisa melihat bukti keseriusan kamu," ucap Agung, pria itu kemudian bangkit dan meninggalkan Abiyan di ruang tamu.
Di sisi lain, Risma memang berada di rumah Hilda. Wanita paruh baya itu meminta Hilda untuk memberinya tumpangan untuk beberapa hari. Dia sedang tidak ingin pulang dan melihat wajah sang menantu yang membuatnya semakin kesal.
"Tante nggak takut Agung khawatir?" tanya Hilda.
"Biarin aja, Hilda. Tante emang pengen buat Agung khawatir. Tante penasaran, kalau Tante tidak pulang, apakah Agung akan mencari Tante?"
Hilda mengangguk paham setelah mendengar jawaban Risma. "Tapi jangan kecewa kalau Agung tidak mencari, ya, Tan," ucap Hilda menggoda.
"Kamu ini menyebalkan sekali," ujarnya tidak terima.
Hilda terkekeh saat melihat raut wajah Risma. "Ya kan sekarang Agung sudah punya istri, jadi mungkin lupa sama Tante," sahutnya kini mulai mer*cun pikiran Risma.
Risma diam, pikirannya mulai berkelana. Takut juga jika hal itu benar-benar terjadi. Namun, egonya yang tinggi tetap membuat wanita paruh baya itu belum ingin kembali ke rumah.
"Gimana, Tante? Mau aku antar pulang sekarang?"
"Tidak. Tante belum ingin pulang, Hilda. Biarkanlah Tante ingin menenangkan diri dulu. Di sana hawanya sumpek tahu!"
Hilda semakin tertawa puas mendengar keluhan ibu dari laki-laki idamannya. Dengan sifat Risma yang seperti ini, dia pasti akan bisa memanfaatkan wanita itu agar membuatnya bisa menggapai cinta Agung yang selama ini susah dia dapatkan.
"Okelah. Hilda beri waktu beberapa hari, kalau Tante sudah siap beraksi, tinggal bilang pada Hilda, ya. Kita akan buat kejutan untuk Agung dan Senja," ucap Hilda dengan seringai licik.