“Tolong saya … Tolong …”
Astaga kenapa ini orang? Aku tak berani mendekat langsung. Dengan langkah memburu, aku memanggil security yang bertugas di depan pintu masuk.
“Tolong … Tolong …” Suara rintihan pria itu dengan lirih. Bapak Security yang aku panggil tadi, membantu membaringkan di kursi penumpang mobil laki-laki itu.
“Bapak kenapa?” Tanya sang Security.
“Tolong antar saya ke Rumah Sakit, Pak.” Dengan suara lirih laki-laki itu menjawabnya.
Bapak Security menghubungi entah siapa menggunakan ponselnya. Entah apa yang dibicarakan karena dia hanya menggangguk dan bilang siap aja lalu mengakhiri panggilannya.
“Mbak, bisa saya minta tolong? Saya tidak bisa mengendarai mobil ini, saya minta tolong, Mbak, yang mengendarai dan saya yang memegang Bapak ini. Saya sudah ijin dengan Manager saya, dan beliau mengijinkan. Bagaimana, Mbak?”
Aku tak langsung menjawabnya, bngung juga kan. Setelah ku perhatikan si Mas-mas ini mukanya tambah pucat, akhirnya ku-iyakan apa yang di ucapkan Pak Ahmad ini. Jangan tanya dari mana tau nama bapak security ini, nama itu aku tau dari tulisan yang ada di baju seragamnya.
***
Di Rumah Sakit Ryan langsung dibawa masuk ke IGD, setelah tiga puluh menit, perawat memanggilku untuk masuk. Ryan menyerahkan KTP nya, dia minta tolong untuk di bantu urus administrasi kamar rawat inap dan menyebutkan sederet nomor meminta untuk menghubunginya. Dari KTP itulah aku tau Namanya Ryan. Setelah semua beres dan seseorang yang di hubungi oleh pihak RS datang, aku balik ke Swalayan. Pak Ahmad malah sudah ijin balik waktu Ryan sudah masuk IGD. Belum ada 24 jam aku sudah dua kali ke Rumah Sakit. Aku memesan ojek online untuk ke Swalayan.
Sesampai di Swalayan, aku melangkah ke area sayur dan ikan. Aku masukkan ke troli sayur, udang, bakso dan bahan-bahan lain untuk membuat Tomyum. Setelah selesai semua, gegas ku langkahkan kaki ke mobil. Di pintu keluar, aku bertemu dengan Pak Ahmad. Kami berbasa-basi sebentar, sebelum aku pergi, Pak Ahmad menyerahkan secarik kertas bertulis kan Free Parking. Katanya sih dari managemen sebagai ucapan terimakasih.
***
“Bi, tolong bantu saya bikin Tom yum ya?”
sesampainya di rumah aku langsung ke dapur dengan membawa beberapa kantong belanjaan dari Swalayan. Dengan cekatan Bi Narti mengambil alih kantong belanjaan.
“Siap, Bu.”
Setelah masakan selesai dibuat, aku pergi ke kamar untuk mandi. Badan terasa lengket karena berkeringat. Jam di dinding sudah menunjukkan angka lima, aku langsung ke meja makan, mengajak Bi Narti makan Bersama. Kalau menunggu Mas Reino, bisa-bisa aku sudah pingsan duluan. Sengaja aku makan malam di jam segini untuk menghindari keributan dengan Mas Reino. Setelah selesai aku kembali ke kamar. Ku duduk p****t di kursi yang ada di balkon. Aku mulai mencari informasi mengenai gugatan perceraian di ponsel pintar ku.
Jam 8 malam Mas Reino belum pulang, dia pun tak memberi kabar. Kubaringkan badan di kasur, lelah sekali rasanya hari ini. Tak menunggu lama aku susah terlelap. Entah pulang jam berapa Mas Reino semalam, saat aku bangun ketika suara adzan subuh berkumandang, aku melihat Mas Reino sudah ada di sebelahku. Aku berharap kamu hanya tersesat, Mas, dan akan kembali seperti dulu lagi. Ku pandangi wajahnya yang terlelap dengan damai.
***
Pagi yang cerah dengan sinar Mentari menyinari, aku pergi ke Kafe Teratai, setelah mendapat ijin dari Mas Reino. Aku akan mencoba untuk mengelola Kafe membantu Bang Adnan. Aku sengaja tidak menghubungi Bang Adnan. Sesampainya di Kafe ternyata Kafe belum buka dan terlihat sepi. Kalau di pikir, aku ini keterlaluan juga ya. Jam operasinal Kafe sendiri aja aku enggak tau.
Setelah menunggu kurang lebih 10 menit di mobil, jam menunjukkan angka sepuluh lebih empat puluh lima menit, akhirnya kafe menunjukkan geliatnya. Beberapa karyawan sudah berada di posisinya masing-masing. Begitu aku buka pintu Kafé, aku terpana dengan dekorasi dan penataan ruangannya yang begitu elegan, sangat khas dengan gaya anak muda sekarang, sangat Instagramable istilah anak gaul sekarang. Luar biasa sekali Abangku dalam mengelola kafe kami ini. Tak salah Bunda memberi saran kepada kami dulu, ternyata bunda melihat potensi Abang yang berbeda dalam pengelolaan. Secara konsep Restoran Bunda dan Kafe Abang memang sangat berbeda, mungkin inilah maksud Bunda meminta kami untuk membuat Kafe.
“Maaf, Kak, kami belum buka, 10 menit lagi kami baru mulai beroperasi.” Ucap salah satu karyawati yang sedang merapikan meja dan kursi. Aku tersenyum kepadanya.
“Maaf, Mbak, saya tidak tau. Kalau begitu saya tunggu di luar saja. Boleh kan, Mbak?”
“Silahkan, Kak.” Ucapnya dengan senyum kaku. Aku memaklumi akan sikap karyawati tersebut. Kulangkahkan kaki-kaki jenjangku keluar pintu, lalu duduk di kursi yang ada di depan Kafé, kursi ini disediakan untuk menunggu pelanggan yang memesan melalui aplikasi online. Beginilah akibatnya Kafé punya sendiri tapi karyawan malah tidak mengenali. Aku senyum sendiri terhadap pemikiranku ini.
“Ada tamu ??” kudengar suara dari dalam Kafé, sepertinya aku mengenal suaranya.
“Iya, Bu, sedang menunggu di luar, karena kita belum mulai buka Kafé nya.” Tak kudengar suara lagi, namun terdengar suara ketukan sepatu berjalan ke arahku,aku tetap focus menatap ke layer HP ku, hingga terdengar suara memanggilku.
“Jasmine.”
Kuangkat pandanganku menghadap kearah suara yang memanggil namaku, senyumku langsung mengembang mendapati siapa orang yang memanggil namaku itu.