“Buka pintunya cepat, lelet sekali kamu buka pintunya!” Bentakkan dari Mas Reino membuatku refleks menutup kedua telinga dengan telapak tangan. Bau alkohol begitu menyengat dari tubuh Mas Reino. Dengan kuat Mas Reino mendorong pintu, dimana aku masih berdiri dengan berpegangan daun pintu tersebut, hampir saja aku terjerembap ke belakang jika tidak dapat menyeimbangkan badan. Aku menyingkir dari depan pintu berganti Mas Reino berdiri di depan pintu, namun Mas Reino tak melangkah masuk tetapi justru membalikkan badan menghadap ke mobilnya.
“Ayo masuk sayang, sini tak usah khawatir.”
Mataku sontak saja langsung terbelalak mendengar suara Mas Reino, dengan masih dengan respon kaget, munculah sosok wanita dengan pakaian yang minim dan memperlihatkan lekuk tubuhnya bahkan tak menutupi bagian dadanya dengan sempurna keluar dari samping mobil menghampiri Mas Reino, suamiku.
“Siapa dia, Mas?”
“Enggak usah banyak tanya kamu, Jasmine. Ingat apa yang aku ucapkan semalam!” Dengan mata melebar dan suara menggelegar Mas Reino menjawab.
“Ayo masuk sayang, enggak usah perdulikan dia.” Ucap Mas Reino dengan memegang lembut tangan perempuan yag di panggilnya sayang tadi. Wanita tersebut tersenyum mengejek ke arahku, kemudian merangkul pinggang suamiku dengan mesra.
“Tunggu, Mas. Apa maksudmu ini?” Suaraku menghentikan langkah sempoyongan manusia tak tau diri yang baru saja masuk ke rumah ini.
“Kenapa?? Kamu keberatan??” Ucap Mas Reino dengan nada sinis dan tatapan yang tajam diberikan kepadaku, seolah aku ini adalah musuh bebuyutannya.
“Iya, aku keberatan.” Dengan nafas memburu dengan d**a naik turun aku menjawabnya, namun tidak kusangka dengan langkah cepat suamiku berjalan ke arahku, Mas Reino mengayunkan tangannya ke arah pipiku.
Plak
Suara yang terdengar diruangan ini. Pipiku terasa panas, wajahku langsung terlempar ke samping. Sekuat tenaga aku menahan airmata yang sudah di pelupuk mataku, tahan Jasmine, jangan sampai mereka melihat airmatamu. Aku meng-sugesti diriku sendiri, agar tak memperlihatkan kelemahanku di depan manusia–manusia tak tau diri ini.
“Diam kau wanita sialan, Wanita manja, jangan pernah membantahku apalagi melawanku.” Ucap Mas Reino dengan mata nyalang dan suara menggelegar. Membuat bulu-bulu halus di tanganku sampai merinding.
“Oke, kalau itu yang kamu mau Mas, aku akan pergi dari rumah oh.... bukan rumah tapi neraka mu ini.” Kemudian aku berlalu meninggalkan Mas Reino dan Wanita itu, sepintas kulihat dia sedang tersenyum melihatku, seolah-olah dia menyampaikan bahwa dialah pemenangnya. Aku ke kamar mengambil tas yang sudah kusiapkan dari semalam, berisi surat lamaran kerja dan beberapa berkas penting lainnya. Tak membutuhkan waktu lama, aku kembali lagi ke bawah tanpa memperhatikan apa yang mereka lakukan, aku langsung kearah pintu dan menuju tempat dimana mobilku terparkir. Sebelum aku sampai ke mobilku, suara lantang Mas Reino menghentikan langkahku.
“Berani kamu melangkah keluar, akan aku hancurkan tempat usaha kakakmu itu.” Aku menengok ke arah Mas Reino dengan senyum yang kupaksakan. Kupandangi laki-laki tersebut, ternyata begini sifat asli laki-laki yang sudah aku pilih untuk menggantikan posisi ayahku. Maafkan anakmu ini Ayah, tak mendengar nasehatmu dulu. Hatiku menangis mengingat penolakan yang dilakukan Ayahku dulu.
“Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, Mas. Aku sudah tidak perduli lagi. Akupun akan melakukan apa yang aku lakukan.” Ucapku dengan lantang namun dalam hati aku merasa sedikit ketakutan, bagaimana kalau sampai Mas Reino nekat akan apa yang diucapkan tadi, semoga tidak akan pernah terjadi. Tanpa kuhiraukan lagi suara dari laki-laki yang bergelar sebagai suamiku itu, ku langkahkan kaki-kakiku dengan mantap tanpa menoleh sekalipun ke arah belakang. Kunyalakan mesin mobil, kemudian kuinjak pedal gas dan kutinggalkan rumah tanpa peduli apa yang terjadi setelah mobil ke luar dari pagar rumah yang kuharapkan menjadi istana untuk keluarga kecilku. Sungguh aku sudah tak mengenal lagi sosok Reino yang dulu, dimana dia selalu memanjakanku, meratukanku dengan segala perhatian yang dia berikan kepadaku. Pupus sudah harapanku untuk menikah seumur hidup dengannya dan membangun keluarga kecil nan bahagia dengannya.
Kulajukan mobil tanpa tau arah, sebenarnya hari ini aku ada janji dengan sahabatku Erina, sudah sejak beberapa bulan lalu dia menawarkanku untuk bekerja di kantor tempat saudaranya, baru kemarin aku meng-iyakan tawarannya. Dia sudah tau tentang keadaan rumah tanggaku, dia menyarankan agar aku bekerja saja, agar tidak tergantungan terus dengan Mas Reino. Sebenarnya aku bisa saja kerja di tempat Abang atau Bunda.
Aku mempunyai kakak laki-laki yang Bernama Adnan, biasa aku memanggilnya Bang Adnan. Kami hanya dua bersaudara. Ayahku sudah meninggal dua tahun lalu. Orangtua ku mempunyai usaha yaitu Restoran seafood yang sudah memiliki beberapa cabang. Setelah kepergian Ayah, Bunda lah yang menghandle Restoran dibantu oleh Bang Adnan. Aku di tugaskan Bunda untuk mengelola apartemen yang disewakan, namun terkadang juga diminta Bang Adnan untuk membantu di Kafe maupun di Restoran. Bunda dan Abang menyadari kalau aku sudah menikah, makanya tidak memaksa untuk mengurus Restoran ataupun Kafe. Mas Reino hanya tau kalau Bang Adnan mengelola Restoran keluarga, dia tidak tau kalau aku dan Bang Adnan membuka usaha Kafe.
Harapan untuk memiliki keluarga nan bahagia mungkin akan tinggal angan semata, setelah kejadian demi kejadian yang terjadi dalam rumah tangga yang aku impikan ternoda oleh sifat dan sikap Mas Reino. Setelah berkendara selama satu jam lebih, akhirnya aku putuskan ke Swalayan yang cukup besar dan lengkap.
Aku duduk di salah satu coffee shop yang terdapat di area swalayan. Ketika aku sedang menikmati minuman dalam cangkir yang tadi aku pesan, terdengar suara memanggilku.
“Kak Jasmine……” Aku tersenyum ketika melihat siapa yang memanggilku adalah adik iparku yang sudah aku anggap adik ku sendiri.
“Adel…… Apa kabar? Sini duduk.” Pintaku ke Adelia. Adelia adalah adik kandung Mas Reino. Adel pun duduk di depan ku dengan wajah yang terlihat sayu dan lelah.
“Kakak sendirian?” Aku menganggukan kepala, pandangan Adel langsung terpusat ke pipi ku.
“Kakak …….? Tanpa melanjutkan ucapannya Adel menunjuk salah satu pipinya sendiri. Aku menganggukkan kepala dan tersenyum getir.
“Mama, Papa harus tau ini, Kak. Kakak jangan diam aja, ayo aku antar ke Rumah Sakit, Kak. Tempat aku koas aja, Kak.” Adel dengan wajah panik dan mata berkaca-kaca memegang pergelangan tanganku. Kugelengkan kepala dan tersenyum.
“Enggak usah, Del. Nanti di kasih salep juga bakal hilang lebamnya, kan udah ada kamu dokternya, Del. Ngapain juga Kakak harus ke Rumah Sakit?”
“Kenapa, Kak? Kakak bisa visum sekalian? Kita buat jera Mas Reino, biar enggak nyakitin Kak Jasmine lagi. Aku sayang sama kakak, makanya aku enggak mau Kakak di sakitin kayak gini, biarpun Mas Reino itu kakak kandungku, tapi perbuatannya ini salah, Kak. Mau ya, Kak, kita ke Rumah sakit sekarang?” Aku pikir ucapan Adel ada benarnya. Akhirnya aku menganggukan kepala, Adel tersenyum mendapat persetujuan ku.
“Bentar ya, Kak. Aku bayar dulu, sekalian ambil kopi pesenanku tadi.”
***
Di Rumah sakit semua berjalan lancar berkat Adel. Adel meminta bantuan kepada dokter konsulennya. Semua pemeriksaan selesai dan hasilnya akan aku simpan. Adel pun sudah pulang. Waktu untuk bertemu dengan Erika pun di batalkan, karena Erika ada tugas mendadak keluar kota. Bersyukur aku tidak jadi ketemu dengan Erika, Erika bakal ngamuk kalau sampai lihat pipiku yang memar. Sekarang aku malah bingung mau kemana. Mau ke Kafe Bang Adnan, jelas enggak mungkin dengan kondisi ku seperti ini, biarpun sudah ku tutup dengan make up namun bagian mata bengkaknya tak bisa kututupi. Kulajukan mobil ke Swalayan yang tadi aku singgahi tadi, tiba-tiba aku kepingin makan tom yum.
***
“Kenapa parkir nya susah banget sih?” Entah kenapa parkiran hari ini penuh, padahal sudah muter dua kali tapi belum juga ketemu tempat parkir kosong padahal ini bukan week and.
“Akhirnya dapat parkir juga.” Seruku dengan riang Ketika terlihat ada space kosong. Kulajukan mobilku ke spase kosong tersebut. Setelah mobil kurasa sudah rapi, kemudian aku turun dan mengunci mobil dengan remot yang ku pegang. Ku edarkan pandanganganku, kuperhatikan mobil yang terparkir di sebelah mobilku. Terasa aneh karena badannya separuh di luar dan pintu tak tertutup, sepertinya pingsang.
“Ya, Tuhan.”
“Tolong saya … Tolong …”