“Jasmine …”
Kuangkat pandanganku menghadap kearah suara yang memanggil namaku, senyumku langsung mengembang mendapati siapa orang yang memanggil namaku itu.
“Mbak Nana” dia langsung memelukku, akupun membalas pelukannya. Begitu pelukan kami lepas, Mbak Nana tersenyum hangat dan menenagkan.
“Apa kabar, Dek?”
“Ahamdulilah baik, Mbak.”
“Tumbenan ke Kafe? Mana enggak tau jam operasional Kafe pula. Emang belum janjian sama Abang?”
Baru aku mau jawab, Mbak Nana menuntunku ke ruangannya.
“Kita ke ruangan Mbak aja ya, Dek.”
“Aku nge-ganggu kerjaan, Mbak, ya?”
“Mana ada, Dek. Kamu itu loh owner Kafe ini, masa iya karyawan kaya Mbak ini terganggu sama kedatangan bos nya?” Ucap Mbak Nana dengan tersenyum.
“Kan aku jadi enggak enak, Mbak. Sekalinya datang malah ngrecokin kerjaan doang.”
“Santai aja Bu Bos.” Ucap Mbak Nana sambal berlalu ke meja kerjanya. Aku duduk di kursi yang ada di depan meja kerja.
“Jadi, dalam rangka apa bos kita yang cantik ini datang ke Kafe tanpa ada janji dengan sang kakak?”
“Abang biasa ke sini jam berapa, Mbak?”
“Abang enggak setiap hari kesini, Dek. Cabang baru masih butuh pengawasan Abang. Tapi hari ini emang jadwalnya ke sini kok, ada yang harus kami diskusikan. Kenapa, Dek? Ada masalah kah?” Tanya Mbak Nana dengan memicingkan salah satu matanya. Mbak Nana ini adalah orang yang di percaya Abang untuk mengawasi Kafe yang ada di Blok Y. Awalnya Mbak Nana bekerja di Restoran Bunda.
“Enggak ada masalah, Mbak. Aku pengen bantu Abang buat ngelola Kafe. Kan sekarang ada cabang baru, belum lagi kalau Abang diminta bantu Bunda di Restoran. Kalau kerja terus kapan kakak tercintaku ini bakal nikah, Mbak?” Kami pun tertawa lepas, tak terbayang bagaimana kalau orang yang aku bicarakan ada disini. Pasti mukanya bakal memerah. Tawa kami terhenti Ketika mendengar suara ketukan pintu.
“Abang…”
“Jasmine…” Ucap ku berbarengan dengan Abang yang kaget melihatku ada di ruangan Mbak Nana. Kuhampiri Bang Adnan, ku jabat telapak tangannya menyalaminya dengan takzim.
“Abang, gimana kabarnya?”
“Tumben kamu ke Kafé, Dek?” Enggak ngabarin Abang pula!!” Aku tersenyum manis menanggapi ucapannya, lalu kupeluk Abang dengan erat dan Abang pun membalas pelukanku. Rasanya sudah lama sekali aku ienggak ketemu Bang Adnan, padahal kami tinggal dalam satu kota.
“Ngobrol di ruangan Abang yuk, Dek! Mbak Nana, meeting nya di ruanganku aja ya, Mbak siapin bahannya.”
“Siap, Bos.”
“Mbak, aku ke ruangan Abang ya.” Mbak Nana memberikan jempolnya sebagai jawaban.
“Duduk, Dek. Tumben kamu ke Kafe? Untung Abang ada jadwal kesini.”
“Bang, aku mau bantu mengelola Kafe, boleh ya, Bang?”
“Wah…… ada angin apa nih Nyonya Reino mau ngurus Kafe?”
“Kan sekarang ada cabang baru, Bang. Aku bantu ya, Bang? Biar bisa ngurangin sedikit kerjaan Abang.”
“Emang Reino ngijinin kamu, Dek? Atau kamu lagi ada masalah, Dek?” Mata kakak ku itu langsung memicing mencari jawaban atas pertanyaannya.
“Enggak ada masalah, Abang. Murni aku mau bantu. Nyari kesibukan, Bang, bosen diam terus di rumah.”
“Kan kamu ngurusin apartemen, Dek. Apanya yang kamu bilang diam aja?”
“Ngurusin apartemen kan enggak setiap hari, Bang. Aku…….”
Ucapan ku terhenti karena ketukan pintu. Mbak Nana masuk setelah di persilahkan. Dengan setumpuk file yang di bawa Mbak Nana, akhirnya meeting dimulai dan menghentikan pembicaraanku dengan Bang Adnan. Akupun ikut dalam diskusi setelah di ijinkan. Kali ini topiknya membahas tentang pembaharuan menu dengan cara membuat kompetisi antar karyawan. Semua karyawan boleh mengikuti dengan cara membuat makanan atau minuman kreasinya. Makanan dan minuman yang terpilih akan di jadikan menu di Kafe dan mendapatkan hadiah. Setelah meeting selesai, aku melanjutkan obrolan dengan Bang Adnan.
Akhirnya Bang Adnan setuju aku membantu mengelola Kafe tapi harus di bimbing oleh Mbak Nana. Mbak Nana pun menyetujuinya.
***
“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang?” Suara Mas Reino terdengar dari arah ruang makan Ketika aku akan menaiki tangga. Sebenarnya aku pulang dari Kafe jam setengah lima karena terjebak macet yang panjang, aku baru sampai rumah jam enam lebih. Tumben sekali Mas Reino sudah ada di rumah jam segini. Kuhentikan langkahku dan menghadap kea rah Mas Reino.
“Kan aku sudah ijin sama, Mas, tadi. Tumben Mas udah pulang jam segini?” Sudah gatal mulutku menanyakan itu.
“Ada yang mau Mas omongin sama kamu. Di kamar saja.” Ku anggukkan kepala kemudian kulanjutkan Langkah menuju kamar. Entah apa yang akan dibicarakan sama Mas Reino, aku tidak bisa menebak, karena sudah lama kami tidak bicara dengan kondisi yang tenang.
Aku membuka pintu kamar mandi dari dalam, Mas Reino sudah duduk di sofa yang ada di kamar dan kelihatannya dia sudah mandi. Mungkn dia mandi di kamar bawah.
“Duduklah, Jas.” Aku pun patuh duduk di sebelahnya.
“Kita diminta datang ke rumah Mama besok. Apa kamu mengadu ke orang tua ku, Jasmine?”
“Maksudnya apa ya, Mas? Aku enggak paham.”
“Sudahlah, besok jam enam sore kita ke ruamah Mama, awas kamu kalau sampai ngomong aneh-aneh ke mereka.” Setelah mengatakan itu Mas Reino keluar ke arah balkon kamar dan merokok.
Aku masih mencerna apa yang di ucapkan oleh Mas Reino. Ada apa ya? Tumben Mama nyuruh ke rumah?
***
“Apa yang telah kamu lakukan ke Jasmine, Reino?”
“Aku ……………..”