“Sudah ku bilang berapa kali, kalau kamu ini Wanita pembawa sial!!!”
“Kalau begitu kita akhiri saja ikatan pernikahan ini, jangan terus-terusan kau siksa aku.” Seorang wanita menahan sesak di dadanya, mendapati suami yang seharusnya menjadi pelindungnya justru berubah menjadi monster yang mengerikan.
“Apa kamu bilang?? Akhiri?? Ha…Ha...Haa... Jangan harap kamu bisa lepas dariku Jasmine.” Suara itu adalah suara dari Mas Reino. Laki-laki yang sudah menikahiku selama tiga tahun. Aku menikah di usia dua puluh tiga tahun, sedangkankan Mas Reino saat itu berusia dua puluh lima tahun. Kami menikah bukan karena perjodohan, bukan pula karena by accident. Kami menikah karena kami saling mencintai, setidaknya itulah yang aku rasakan. Namun ketika itu ayahku tidak merestui, ayah tidak memberikan alasan pastinya. Padahal aku sudah memaksa beliau untuk memberikan alasan atas penolakan beliau. Andai ayah dulu menjelaskan apa yang membuatnya tidak menyetujui di awal hubunganku dengan Mas Reino, mungkin semua ini tidak akan terjadi? Ah… itu semua hanya pengandaian ku saja. Dan lihatlah sekarang yang terjadi kepadaku. Entah ini sudah keberapa kalinya Mas Reino mengumpati ku.
“Terus untuk apa pernikahan ini mas? Apa aku harus diam terus melihat kelakuanmu itu?” Jawabku dengan nafas tersengal -sengal.
“Ha..Ha..Ha…Gara-gara ulahmu yang datang ke kantor yang telah mempermalukanku, sekarang kamu masih bisa bertanya seperti itu?? Jaga janin di perut kamu saja kamu enggak becus. Memang perempuan pembawa sial. Menyesal aku sudah menikahimu.”
Jeder…
Bagaikan suara petir yang menghancurkan gendang telingaku, kata-kata Mas Reino sudah diluar batas kesabaranku dalam menghadapinya. Memang kami sering beradu argumen bahkan berujung percekcokan. Namun Mas Reno tak sampai mengeluarkan kata-kata seperti barusan terucap dari mulutnya. Airmata yang sedari tadi aku tahan akhirnya lolos juga dari indera penglihatanku. Aku benar- benar sudah tak mengenal sosok suamiku, dimana dulu sosok ini yang menyayangiku dan mengasihiku dengan cinta dan kasih. Setelah mengucapkan kata-kata itu Mas Reino pergi ke kamar, namun tak begitu lama dia keluar lagi dan langsung meninggalkan rumah tanpa berkata sepatah kata pun. Aku masih tergugu di ruang makan, Bi Narti akhirnya mendekat dan memberikan segelas air putih kepadaku.
“Diminum, Bu.”
“Makasih, Bi.” Ucapku kemudian meneguk air dalam gelas hingga setengahnya.
“Kenapa Ibu tidak menjelaskan penyebab ibu keguguran kepada Bapak? Agar ibu tidak disalahkan oleh Bapak terus-menerus.” Ucap Bi Narti sambil mengusap punggungku dengan lembut.
Bi Narti adalah orang yang menjadi saksi bagaimana pernikahanku di rumah ini. Tempatku berkeluh kesah.
“Apakah ada gunanya, Bi? Bibi lihat sendiri kan bagaimana Mas Reino? Sudahlah, Bi. Aku Lelah. Mau istirahat.” Aku beranjak dari kursi. Namun baru beberapa langkah kaki-kaki ini melangkah, badanku oleng ke kiri. Dengan sigap Bi Narti menangkapku agar tak terjatuh ke lantai.
“Ibu enggak apa-apa?? Atau mau istirahat di kamar tamu saja?” Tanya Bi Narti dengan raut wajah cemas.
“Enggak, Bi, tolong antar aja ke kamar atas, aku mau istirahat di kamar saja.” Dengan patuh Bi Narti mengantarku ke kamarku yang di atas.
“Terimakasih, Bi, Bibi istirahat juga ya. Jangan lupa kunci semua pintu, Bi!” Dengan tatapan khawatir akhirny Bi Narti meninggalkan kamar yang aku tempati dengan Mas Reino, Aku tersenyum agar Bi Narti tidak terlalu khawatir denganku. Sebelum menutup pintu, Bi Narti memutar kepala nya ke arahku seolah menanyakan apakah tidak apa-apa kalau dia tinggalkan aku sendirian dikamar. Aku menganggukkan kepala dan tersenyum ke arahnya, akhirnya Bi Narti keluar kamar dan menutup pintunya.
“Apa setidak berartinya aku dan pernikahan ini Mas? Sampai kamu tega mengucapkan kata-kata yang menyakitkan itu??” Tak dapat ku bendung lagi lelehan air mata mengalir deras ke pipi ku, sesak sekali d**a ini rasanya. Capek dengan tangisanku, akhirnya aku terlelap dengan sendirinya.
***
Sinar Mentari sudah mulai memancarkan sinarnya, aku menggeliat diatas kasur yang menemaniku selama pernikahanku dengan Mas Reino. Kutatap kearah samping dimana biasanya Mas Reino berada, namun tak kutemukan dia, kusandarkan kepalaku di papan kepala ranjang, kupijat pelipis untuk mengurangi pusing di kepala karena terlalu lama menangis semalam, dengan mata sembab ku ayunkan kaki menuju ke kamar mandi.
Setelah kurapikan penampilanku, aku turun ke lantai bawah dan langsung kemeja makan, Bi Narti datang menyapaku.
“Ibu, mau dibikinkan sarapan apa?”
Tak langsung aku jawab pertanyaan dari Bi Narti,namun ku edarkan pandanganku mencari seseorang, namun tak ku temukan. Bi Narti seolah mengerti akan tatapanku akhirnya bersuara.
“Bapak tidak pulang, Bu, saya sudah periksa kamar tamu tidak ada siapa-siapa dan mobilnya juga tidak ada.”
Aku mengangguk mendengar ucapan dari Bi Narti.
“Tolong bikinkan saya roti bakar dan teh hangat saja, Bi.”
“Baik, Bu.” Kemudian Bi Narti ke arah dapur mengerjakan apa yang aku pinta.
“Sepertinya memang sudah tidak bisa di perbaiki lagi pernikahan ini, aku lelah dan tak sanggup kalau harus berjuang sendiri. Aku harus mencari kesibukan agar mengalihkan pikiran ruwet di kepala, sudah cukup aku menangisi semua ini, kalaupun kamu tak mau melepaskanku, aku akan melepaskan diriku sendiri. Sudah cukup aku mengalah dan berkorban untukmu Mas.”
Dugh…. Dugh… Dughh.
“Jasmine…Jasmine…Bi Narti… Buka pintunya.” Suara gaduh dari luar membuyarkan lamunanku, ku hembuskan nafas dengan kasar mendengar suara Mas Reino, lalu beranjak membuka pintu.
“Buka pintunya cepat, lelet sekali kamu buka pintunya!” Bentakkan dari Mas Reino membuatku refleks menutup kedua telinga dengan telapak tangan. Bau alkohol begitu menyengat dari tubuh Mas Reino. Dengan kuat Mas Reino mendorong pintu, dimana aku masih berdiri dengan berpegangan daun pintu tersebut, hampir saja aku terjerembab ke belakang jika tak dapat menyeimbangkan tubuh.
“Ayo masuk sayang ……”
Mataku sontak saja langsung terbelalak begitu melihat sosok wanita keluar dari samping mobil yang menghampiri Mas Reino, suamiku.
“Siapa dia, Mas?”