Aku turun dari mobil, kembali pemandangan di depanku mampu membuatku terbakar cemburu. Lili sedang duduk di kursi yang berada di teras. Disampingnya Raffa sedang menemani walaupun berjarak karena ada meja kecil di tengah-tengah mereka. Laki-laki itu tampak mengajaknya berbincang, sesekali Lili terlihat tertawa. Tawa yang renyah dan tanpa beban. Ah rasanya sudah lama sekali Lili tak sebahagia itu.
"Dek?"
Mereka berdua menoleh ke arahku. Diam dan seketika hening.
"Kita pulang ke rumah yuk."
Lili bangkit lalu meraih tanganku dan menciumnya dengan takzim.
"Mau apa kamu datang kemari?" tanya Bang Panji menghenyakkanku. Tiba-tiba ia muncul dari dalam.
"Aku mau jemput Lili pulang, Bang."
"Tidak. Biar dia disini sama aku. Kamu gak becus jadi suami!"
"Tapi bang, Lili istriku, dia tanggung jawabku. Dia harus ikut suaminya kemanapun suaminya pergi."
"Tanggung jawab kamu bilang? Tanggung jawab macam apa? Kalian tega manfaatin tenaga Lili, udah kayak babu di rumah sendiri! Kemana aja kamu selama ini?!"
"Maaf bang, tapi aku akan memperbaiki kesalahanku."
"Bang, Mas, tolong jangan ribut. Tak enak didengar tetangga," sela Lili menengahi perdebatan kami. Suaranya masih terdengar lemah, tapi mampu membuat kami bungkam.
Aku duduk di teras ubin tanpa dipersilahkan. Hatiku benar-benar kalut. Rasanya kecewa, kenapa Lili mau menuruti Bang Panji untuk pulang ke rumah ini, padahal ada rumah suaminya.
"Bang, kenapa gak bilang-bilang kalau bawa Lili pulang dari Rumah sakit?" tanyaku memecah kebisuan.
"Buat apa aku izin sama kamu. Lili itu adikku. Seorang kakak berhak melindungi adiknya kalau dia sudah tak baik-baik saja."
"Tapi bang, aku ini suaminya."
"Sebaiknya kau pulang. Introspeksi diri dulu lah, sikap apa saja yang perlu kau perbaiki. Aku gak mau, Lili kembali sama kamu dengan keadaan tersiksa batin maupun fisiknya," sergah Bang Panji lagi.
Aku menghela nafas dalam-dalam.
"Maaf, aku menengahi. Panji, lebih baik beri mereka waktu dan kesempatan. Mereka sudah berumah tangga, jadi sebaiknya kau tidak mencampuri urusan mereka lebih dalam," ucap Raffa. Ah lelaki itu ternyata lebih tahu.
"Raffa, Lili itu adikku. Mana mungkin aku membiarkannya menderita. Ikatan darah itu lebih kental dari pada ikatan pernikahan."
"Aku tahu. Tapi, antara Azzam dan Lili, mereka sudah dewasa, mereka berhak menentukan keputusannya. Dan memang seharusnya Lili sebagai seorang istri menuruti perintah suami. Asalkan yang menjadi suami juga harus memperlakukannya dengan baik," sahut Raffa lagi.
"Aku pasti akan memperlakukannya dengan baik, aku akan memperbaiki kesalahanku, Bang," timpalku dengan cepat.
"Kalian ngobrol-lah berdua di dalam," ucap Bang Panji, nada suaranya mulai melunak.
Aku tersenyum mendengarnya. Syukurlah kalau Bang Panji mau mengerti.
Kupapah tubuh Lili masuk ke dalam kamar. Sebuah ruangan yang penuh dengan kenangan. Sebagai saksi bisu kami memadu kasih saat malam pertama.
Di rumah yang sederhana ini aku telah menemukan bidadari, aku telah jatuh menumpahkan hatiku untuknya. Wanita sederhana yang juga penurut, lemah lembut tutur katanya membuatku tak mampu berpaling. Aku mencintainya. Walaupun dari awal ibu menentangku untuk menikahinya.
*
"Itu pacarmu, Zam?" tanya ibu saat aku menghampiri ibu di dapur. Wanita itu tengah membuatkan teh manis untuk tamu yang kubawa bersamaku. Dia Lili, gadis yang akan kukenalkan pada ibu.
Aku tersenyum. "Bukan Bu, tapi calon istri."
"Apa? Istri?"
"Iya, Bu. Kemarin secara simbolis aku melamarnya. Dan kakaknya ingin kita meminang adiknya secara serius."
"Bapak dan ibunya usaha apa?"
"Maksud ibu?"
"Ya sebelum menikah harus dilihat dulu, bibit bebet dan bobotnya."
"Tenang saja Bu, gak usah khawatir dia gadis yang baik."
"Baik saja tidak cukup, Zam. Harus kaya juga."
"Bapak dan ibunya usaha apa?"
"Dia yatim piatu, Bu. Ibu dan bapaknya sudah meninggal. Dia tinggal sama kakaknya, mereka sudah mandiri sejak kecil."
Ibu cuek saja tak menanggapi.
"Gimana, ibu setuju kan?"
"Dia gadis yang rajin, Bu."
"Pekerjaannya apa sekarang?"
"Emhh Lili seorang pelayan toko, Bu."
"Oh, namanya Lili?"
"Iya Bu. Cantik kan, Bu?"
"Iya memang cantik, tapi sayang kurang pantas buatmu."
"Maksud ibu?"
"Ya kurang sepadanlah sama kamu yang kerja kantoran."
"Tapi aku mencintainya, Bu."
"Cinta saja tidak cukup, Zam. Harusnya kamu itu pantasnya sama seorang pekerja kantoran lagi yang bapak ibunya kaya."
"Bu, aku gak memandang harta. Cintaku ini begitu tulus padanya, Bu. Makanya aku ingin mengajaknya menikah."
Ibu terdiam, seakan tak suka tapi memang aku tak yang tak peka. Aku menganggap diam ibu sebagai bentuk setuju.
"Bu, minggu besok kita melamarnya secara resmi ya. Aku sudah siapin uangnya."
"Kamu beneran suka sama dia? Udah mantep?"
"Iya, Bu."
"Tapi jangan lupakan ibu. Ibu gak mau setelah kamu nikah, kamu malah acuh sama ibu."
"Ya enggak dong, bu. Aku pasti akan sangat menyayangi ibu. Aku yakin Lili juga akan sayang pada ibu."
Singkat kata, tak lama akhirnya aku menikah. Tak ada pesta mewah atau apapun itu. Hanya akad nikah yang sederhana dan acara syukuran, yang terpenting kami sah secara agama dan juga negara.
Awalnya semua baik-baik saja. Beberapa hari aku tinggal di rumahnya, lalu kuboyong ke rumah ibu. Sejak menikah, Lili keluar dari pekerjaan. Jadi untuk itulah dia membantu ibu melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi di rumah. Karena setelah pulang keadaan rumah baik-baik saja, tak ada cekcok apapun antara Lili dan ibu. Rumah rapi, masakan tersaji semuanya begitu lengkap mewarnai keseharianku. Ya, aku bahagia.
Bahkan aku tak pernah menggubris selentingan omongan tetangga yang bilang kalau ibu kerap marah-marah pada Lili. Ah itu tidak mungkin kan? Lili tak pernah mengeluh padaku, ibu juga terlihat biasa saja.
Setahun kemudian aku mampu membeli rumah dengan uangku, maka dari itu aku memboyong Lili ke rumah baru. Aku juga ingin fokus dengan keluargaku, agar Lili cepat hamil.
Tiba-tiba saja setengah tahun terakhir ini, ibu bilang ingin ikut bersamaku. Alasannya di rumah sepi, Icha sudah lulus sekolah dan saat ini ia sedang di rumah ibunya. Aku mengiyakan saja permintaan ibu. Tak pernah kusangka kalau ibu akan memperlakukan Lili dengan buruk.
*
"Mas, apa yang ingin kau bicarakan? Kenapa dari tadi diam saja?"
"Kita pulang yuk dek. Pulang ke rumah."
Lili menggeleng perlahan.
"Kenapa?"
"Aku ingin tenangin diri dulu disini, mas."
"Tapi, dek. Kamu itu istri aku, kamu tanggung jawabku."
"Tenanglah, aku baik-baik saja disini. Ini rumahku. Kau pulang saja. Kasihan ibumu, nanti nyariin, ibu kan gak bisa jauh dari kamu, Mas--"
"Tapi, dek--"
"Please, aku butuh waktu untuk sendiri. Pergilah."
Tak pernah kusangka, aku mendapatkan penolakan seperti ini. Kenapa?