Pulang

1065 Kata
Seketika dadaku bergemuruh panas, ada yang nyeri di ulu hati. "Dek, kamu sudah bangun?" Aku berusaha menetralkan rasa, agar mereka tak tahu kalau aku tengah cemburu. "Sini Mas, biar aku saja yang suapin istriku," lanjutku sembari mengambil piring darinya. Bang Panji masih menatapku tajam. Begitupun Lili, dia hanya memandang kami secara bergantian. "Wajahmu kenapa, Mas?" tanyanya dengan lirih. Senyumku mengembang mendengar perhatian dari Lili, dia masih mengkhawatirkanku. "Tidak apa-apa, dek. Ayo makan dulu." "Aku gak mau mas," tolaknya. "Tapi dari tadi kan belum makan." "Sini, biar aku saja yang nyuapin adikku makan." Bang Panji meraih piring itu dariku. "Kalian pergilah keluar dulu, kami mau bicara empat mata," tukas Bang Panji. Bang Panji pasti ingin mengorek informasi tentang Lili saat berada di rumah. Duh, mampus aku kalau Lili mengadukan semuanya. Dengan berat hati, kutinggalkan adik dan kakak itu berdua. Perasaanku was-was dan juga khawatir. Apa yang akan Lili adukan? "Kenapa kau jalan mondar-mandir seperti itu? Duduklah," tegur teman Bang Panji. Aku menoleh ke arahnya lalu tersenyum simpul. "Oh iya mas. Ngomong-ngomong mas sudah kenal keluarga Bang Panji berapa lama?" "Dari kecil," jawabnya singkat. "Oh, teman masa kecil Bang Panji?" "Ya, sama Lili juga." "Kok aku baru tahu ya kalau Lili punya teman kecil laki-laki." "Aku sudah merantau lama di luar pulau. Sekarang memang lagi pulang. Ada proyek pekerjaan dengan kakak iparmu." Aku manggut-manggut mengerti. Ternyata dia teman masa kecil Lili, pantas saja mereka sudah saling kenal. "Ngomong-ngomong nama mas siapa?" tanyaku basa-basi. "Panggil saja Raffa." "Salam kenal Mas Raffa, aku Azzam. Dulu waktu kami nikah, Mas Raffa gak dateng kan? Soalnya aku baru lihat." Dia tersenyum. "Enggak, aku merantau lama kok, baru pulang sekarang." Aku mengangguk sambil tersenyum. Suasananya kok jadi canggung begini ya. * "Bang Panji sama Mas Raffa pulang saja. Lili biar aku yang jaga, dia tanggung jawabku," ucapku. Melihat dua orang laki-laki itu tampak kelelahan. Bang Panji menyandarkan tubuhnya di kursi tunggu, sedangkan Raffa masih sibuk dengan handphonenya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bang Panji menoleh ke arahku. "Aku takkan mengulangi kesalahan yang sama, meninggalkan adikku dengan orang yang sudah mengabaikannya." Deg! Lagi-lagi Bang Panji menyindirku. Kalau sudah begini, aku tak mampu mendebatnya lagi. Toh memang benar, dulu aku begitu, kurang respek pada Lili. * "Bang, aku titip Lili. Aku pamit mau pulang dulu, ambil baju-baju sama sepertinya aku harus berangkat ke kantor, sudah lima hari izin." "Ya pulanglah anak mami, kalau bisa gak usah kembali," sahut Bang Panji menyindirku. Bang Panji pasti sudah tahu semuanya, tentang aku dan sikap ibuku pada Lili. "Dek, mas pamit pulang dulu, sekaligus langsung berangkat kerja. Kamu gak apa-apa kan ditinggal?" "Bukankah biasanya juga seperti itu?" Deg! Jawabannya cukup mengusik hatiku. "Kalau mau kerja, kerja saja Mas. Gak usah khawatir, biasanya juga gitu kan? Tenang saja disini udah ada Bang Panji dan Mas Raffa," sahut istriku. Aku mengangguk. * Sampai di rumah "Nak, kamu udah pulang? Itu wajahmu kenapa pada memar begitu? Terus Lili mana?" tanya ibu menyambutku. "Di rumah sakit." "Ibu susul dia ke rumah sakit ya!" "Tidak usah Bu. Disana ada kakaknya Lili." "Oh." Masuk ke ruang tengah, kudapati Icha sedang menyantap makanan sambil menonton TV. "Lho, Bu, kok dia belum pulang juga?" tanyaku dengan nada setengah berteriak. Ibu menghampiriku sedangkan Icha tampak gelagapan. "Nak, biarin aja adikmu disini. Kasihan. Ibu janji, dia gak akan malas-malasan lagi." "Ckck!" Berlalu ke kamar, merebahkan diri sebentar, rasanya begitu lelah sekali. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Gegas aku mandi, mengguyur tubuh yang penat ini dengan air shower. Dingin dan kenyejukkan. Biasanya selesai aku mandi, baju ganti sudah siap diatas tempat tidur, aku tinggal memakainya sambil menghirup aroma wanhi sabun serta parfum di kemejaku. Ah Lili, aku benar-benar rindu saat kamu sehat. Kamu yang melakukan segalanya jadi mudah. Selesai berganti pakaian, akupun memasukkan baju ganti ke tas ransel. Biar aku tak bolak-balik pulang ke rumah saat Lili dirawat. Perutku sudah mulai terasa lapar, tapi aku yakin tak ada makanan apapun diatas meja. Tadi saja Icha menyantap mie instan sendirian, dasar anak pemalas itu, sampai kapanpun takkan pernah berubah. Sejenak saja, hari sudah terang benderang. Jangan sampai aku telat, udah beberapa hari ini aku tak berangkat ke kantor. Walaupun rekan kerja serta bosku tahu kalau aku sedang terkena musibah dan kabar duka, tapi dimana kredibilitasku sebagai seorang pegawai yang rajin? Aku belum siap dipecat, bagaimana kehidupan keluargaku nantinya? * Sore harinya sepulang bekerja, kulajukan mobilku membelah jalanan menuju rumah sakit. Tak sabar rasanya untuk menjenguk istri tercinta. Memandang wajahnya, walaupun pucat masih saja terpancar kecantikannya yang begitu kentara. Ah, aku ingin Lili cepat sembuh seperti sedia kala. Menyusuri koridor rumah sakit, langkahku terasa ringan. Ditanganku sudah ada buket bunga mawar untuk diberikan padanya. Aku ingin memulainya lagi dari awal, mengambil hatinya. Entah kenapa hatiku berdebar-debar saat sudah di depan ruang perawatannya. "Assalamualaikum dek, Mas udah pu--" aku mengucapkan salam beserta membuka pintu. Kosong. Tak ada siapapun di ruangan itu. Aku melenggang masuk sambil celingukan. "Dek, kamu dimana?" Aku menuju toilet, ternyata tak ada siapapun disana. Bang Panji dan Mas Raffa pun tak kelihatan batang hidungnya. Duh, kamu dimana sih? Kenapa membuatku khawatir saja! "Suster, pasien yang dirawat di ruangan ini dimana ya?" tanyaku saat ada perawat yang lewat di depan ruangan. "Oh, ibu Lili ya?" "Iya, betul sus. Saya suaminya." "Ibu Lili tadi siang udah dibawa pulang oleh keluarganya." "Hah?" Jadi Bang Panji membawa pulang Lili? Ckck! Aku berdecak kesal. Kenapa sih Bang Panji ikut campur urusan rumah tanggaku. Pulang ke rumahku, rasanya tak mungkin. Aku yakin pasti Bang Panji membawanya ke rumahnya. Dengan perasaan kesal, kembali kujalankan stir bundar itu menuju rumah peninggalan orang tua Lili. Lili hanya tinggal berdua dengan kakaknya sedari masa sekolah. Kedua orang tuanya sudah meninggal sejak lama. Sedangkan Bang Panji sendiri, lelaki itu belum menikah. Masih betah melajang, entahlah apa alasannya. Setelah menempuh satu jam perjalanan, aku sampai juga di halaman depan rumah ber-cat biru itu. Bangunannya masih sama seperti dulu, sederhana. Tapi tampak begitu asri karena dirawat dengan benar. Banyak tanaman hias disisi kanan dan kiri. Aku turun dari mobil, kembali pemandangan di depanku mampu membuatku terbakar cemburu. Lili sedang duduk di kursi yang berada di teras. Disampingnya Raffa sedang menemani walaupun berjarak karena ada meja kecil di tengah-tengah mereka. Laki-laki itu tampak mengajaknya berbincang, sesekali Lili terlihat tertawa. Tawa yang renyah dan tanpa beban. Ah rasanya sudah lama sekali Lili tak sebahagia itu. "Dek?" Mereka berdua menoleh ke arahku. Diam dan seketika hening. "Kita pulang ke rumah yuk."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN