Maafin Mas, Dek!

1059 Kata
"Tapi, dek. Kamu itu istri aku, kamu tanggung jawabku." "Tenanglah, aku baik-baik saja disini. Ini rumahku. Kau pulang saja. Kasihan ibumu, nanti nyariin, ibu kan gak bisa jauh dari kamu, Mas--" "Tapi, dek--" "Please, aku butuh waktu untuk sendiri. Pergilah." Tak pernah kusangka, aku mendapatkan penolakan seperti ini. Kenapa? Aku menghela nafas dalam-dalam. "Maafin mas, dek. Selama ini mas sudah salah. Tapi yakin kamu gak mau pulang, Dek?" Lili mengangguk. Mataku terasa panas, hampir saja air mata ini luruh, tapi malu pada wanita di hadapanku. Mungkin ia memang butuh waktu untuk sendiri. Pasca kehilangan bayinya, aku yakin Lili sangat terguncang. "Ya sudah, kalau kamu gak mau pulang. Mas yang akan ikut tinggal disini." Lili masih terdiam. "Mas akan ambil baju-baju Mas dan juga bajumu. Jadi mas pulang dulu, nanti mas kesini lagi." Aku berpamitan dengan Lili dan juga Bang Panji untuk pulang sebentar. *** "Zam, kamu udah pulang?" tanya ibu. Ia tersenyum saat menyambutku. Kucium punggung tangannya dengan takdzim. Aku berlalu begitu saja, masuk ke dalam kamar. "Zam, tadi ibu ngambil baju di anaknya Bu RT, nanti tolong bayarin ya, duit ibu udah habis," sahut ibu. Tiba-tiba ia muncul dari balik pintu. "Ibu ambil baju lagi? Bukannya Minggu kemarin juga udah beli baju?" tanyaku, tak habis pikir dengannya. Ibu menyeringai lalu mendekatiku. Ia memperlihatkan baju brokat warna merah marun. "Buat apa sih beli baju kayak begitu, kayak mau kondangan aja. Terus berapa harganya?" "Lima ratus ribu." "Hah?" "Ayolah Zam, bayarin ibu. Sekalian bayarin juga baju buat Icha dia juga ambil satu stel," sahut ibu lagi. "Hah? Suruh bayar sendiri kenapa harus aku yang bayar?" "Ya Zam, sama saudara sendiri gak boleh perhitungan gitu." "Mas Azzam ..." panggil Icha. Gadis itu melenggang masuk ke dalam kamarku dengan gaya berpakaian yang tak seperti biasanya. Rok pendek diatas lutut serta blouse tanpa lengan dan Krah baju V-neck yang memperlihatkan belahan dadanya. "Gimana mas, aku cantik gak?" tanya Icha sambil bergaya seperti model di hadapanku. "Ckk! Apa-apaan kamu pakai baju terbuka kayak gitu? Dah sana keluar aja! Bu, itu baju yang Icha pilih? Gak salah?" "Iya, dia yang mau sendiri kayak gitu. Tadi kan anaknya Bu RT kesini, nawarin baju, jadi ibu ambil baju ini sama Icha ambil setelan itu. Totalnya cuma 700 ribu doang, Zam. Tolong bayarin ya. Ibu malu kalau gak langsung dibayar, anak ibu kan seorang manager." Aku menggeram kesal. Ternyata ibu masih belum berubah. Boro-boro nanyain kabar mantunya, ini malah pamer baju. Aku melirik ke arah Icha, gadis itu masih senyum-senyum gak jelas. "Ngapain kamu masih disini, Cha?" tanyaku setengah membentak. "Azzam, gak boleh gitu ah sama Icha. Lembut sedikit kenapa, dia kan adikmu!" Aku mendengus kesal mendengar perkataan ibu. Kalau belum kukasih uang ibu pasti akan tetap disini. Kuambil uang di dompetku, tujuh lembar uang seratus ribuan aku serahkan padanya. "Nih buat bayar baju. Tapi kalau lain kali ibu masih beli-beli baju lagi, aku gak mau bayarin! Cukup ini yang terakhir." "Nah gitu dong," sahut ibu sembari tersenyum sumringah. Tiba-tiba saja tanpa kompromi lagi .... Cup! Sebuah kecupan mendarat di pipiku. "Makasih ya mas, udah bayarin bajuku," ucap Icha kemudian pergi begitu saja setelah menciumku. Dasar gadis itu, bikin jengkel saja! "Zam, barangkali di kantor kamu ada lowongan kerja, ajak aja tuh si Icha. Biar ada kegiatan diluar rumah." "Hmmm." "Kok hmm doang sih, Zam? Kasihan dia, biar ada kegiatan gitu. Kan bagus kalau kerja, dia juga kan anak yang pintar." "Iya, aku pikirin nanti, Bu." "Oh ya Zam, kamu mau makan? Tadi ibu dah masak sambel goreng ati. Yuk makan sama-sama." "Iya, nanti aku nyusul, Bu." "Ya sudah." Ibu pergi dari kamarku. Kuhempaskan nafas dengan kasar. Rasa penat di kepala kembali mendera. Ibu, ibu kenapa tak ada rasa peduli sedikitpun pada menantumu? Rasa letih dan lapar tak kuhiraukan. Baiknya aku menyusul Lili dulu, tinggal disana untuk sementara waktu, sampai Lili benar-benar mau pulang lagi ke rumah. Kuambil koper, dan memasukkan baju-bajuku. Kutatap dengan rapi disana, hanya beberapa stel saja. Akupun mengambil baju-baju Lili di lemari sebelahku. Aku tercengang melihatnya. Bahkan baju-baju Lili tak lebih dari tiga tumpuk. Itupun campur antara celamis (celana dalaman gamis) serta gamis dan juga daster rumahan. Selebihnya adalah baju-baju dan celana yang sudah lama tak kupakai. Kuperhatikan satu-persatu baju-bajunya. Gamis-gamis itu sudah sangat lusuh, warnanya pudar. Hanya saja masih rapi karena Lili rajin menyetrika. Sedangkan dasternya ada yang sudah sobek dan dia jahit kembali. Pantas saja selama ini aku melihatnya pakai baju itu-itu saja. Bahkan saat hamil pun dia memakai baju yang sama. Kontras sekali dengan ibu dan adik sepupuku satu itu. Hampir tiap minggu mereka punya baju baru. Deg! Aku merasa tertampar sendiri. Tadi aku tak itung-itungan saat mengeluarkan uang buat membayari baju ibu dan juga Icha. Tapi saat istriku minta, aku itung-itungan lebih dulu. Betapa selama ini aku tak memperhatikannya, bahkan bagaimana pakaiannya pun aku tak peduli. Ya, sudah sangat lama aku tak membelikannya baju. Aku berusaha mengingatnya, tapi terakhir kali aku membelikannya baju saat masih awal-awal menikah denganku. Dulu saat lebaran tahun kemarin, dia minta uang untuk dibelikan gamis baru, saat itu aku hanya memberinya dua ratus ribu karena uang THR-ku diambil semua oleh ibu. Tapi aku juga tak pernah melihatnya beli baju baru. Entah dipakai buat apa uang itu. Aku pikir dari jatah uang belanja bulanan yang kuberikan untuknya, dia bisa menyisihkan sedikit demi sedikit untuk membeli keperluannya sendiri. Tapi apa dia memanglah boros, uang itu katanya habis tak bersisa. Padahal seringkali ia memasak sederhana saja. Tempe, tahu, sayuran dan selebihnya dibelikan mie instan atau telor. Kalau ada daging atau ikan itupun memakai uang ibu. "Tiap hari istrimu masak tempe, sayur, tempe, sayur, bosan ibu! Dia itu memang gak bisa ngurus dan manjain suaminya. Makanya nih ibu belikan daging sapi untuk dimasak rendang. Cicipin dulu Zam, ini enak. Ini beli pakai uang ibu lho," itu kata-kata yang sering ibu lontarkan padaku tiap pulang dari kantor. Kuusap butiran bening yang hampir menetes di pipi. Netraku terasa panas dan perih, seakan ada yang mengiris bawang merah dihadapanku. "Maafin mas, dek. Selama ini mas kurang peka dan selalu mengabaikanmu." Aku kembali meneruskan memasukkan baju-baju Lili di koper. "Zam, kamu mau kemana? Kenapa beresin baju-baju segala?" Lagi-lagi ibu nyelonong masuk tanpa permisi. "Ke rumah Bang Panji. Aku sama Lili akan tinggal disana untuk sementara, Bu." "Apa?? Enggak, kamu gak boleh pergi, Zam! Ibu sama siapa disini?" "Lho Bu, kan masih ada Icha?" Ibu menahan koperku. "Jangan Zam, jangan pergi. Jangan tinggalin ibu, Zam!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN