Dihajar

922 Kata
"Lili ...!" teriakku histeris. Kubopong tubuhnya masuk ke dalam rumah. Mendengar teriakanku ibu dan Icha muncul dari balik pintu. Mereka saling berpandangan satu sama lain. "Apa yang ibu lakukan pada Lili, Bu? Ibu tahu bukan Lili masih sakit? Kenapa ibu lakukan ini, Bu?!" Aku menatapnya tajam dengan netra berkaca. "Ibu gak lakuin apa-apa, Nak." "Bohong!!" bentakku. Kulihat wajah ibu dan Icha menunduk ketakutan, seakan merasa bersalah. "Ibu pasti nyuruh dia kan? Kalian kenapa tega sekali lakukan ini?! Padahal kalian tahu Lili sedang sakit!" "Mas, budhe gak bilang apa-apa kok, cuma bilang cucian belum dijemur, itupun gak ada kata-kata nyuruh Mbak Lili," kilah Icha. "Diam kamu, Cha!! Lebih baik kamu pulang saja sana! Kalau disini cuma jadi benalu!! Tidak peka sama saudara sendiri! Pergiii ...!!" Emosiku sudah membuncah ke ubun-ubun. Untuk kali ini aku tak peduli apa reaksinua. Benar, Icha memang anak bulikku, tapi dari kecil dia sudah diasuh oleh ibu, sampai lulus sekolah. "Azzam, kenapa kamu ngusir Icha? Ingat, dia adikmu, Zam--" Netra ibu tampak berkaca-kaca. Sedangkan Icha sudah berlari ke dalam kamarnya. Tak kuhiraukan ucapan ibu. Aku gak peduli. Yang terpenting sekarang adalah Lili. Segera kubawa Lili ke mobil. Aku takut terjadi apa-apa terhadapnya. Aku sudah kehilangan anakku. Aku tak ingin kehilangan istriku. "Zam, ibu ikut ya ke rumah sakit. Ibu khawatir sama Lili," ujar ibu dengan nada memelas. Seakan telah lupa apa yang ibu lakukan pada Lili sebelumnya. "Tidak usah, Bu. Ibu di rumah saja. Gak usah campuri urusanku dengan Lili." "Tapi, Zam--" "Tolong Bu, jangan sampai aku membentak ibu lagi!" Ibu menunduk. "Dan katakan pada Icha. Dia harus pergi sebelum aku pulang. Tak ada gunanya juga dia disini!" "Zam, kamu tega?" "Ya!! Ibu dan Icha pun tega memperlakukan Lili dengan buruk!" "Zam, ibu minta maaf. Ibu khilaf." Gegas kulajukan mobilku tanpa menghiraukan lagi ucapan ibu. Maafkan anakmu ini, Bu. Aku bukannya tega pada ibu, tapi-- ah sudahlah, aku ingin fokus pada kesembuhan istriku lebih dulu. Sampai di rumah sakit. Lili langsung ditangani oleh pihak medis. *** Kupandangi wajah pucat wanita dihadapanku itu. Ia tampak damai dalam tidurnya, walau sesekali terdengar merintih. Kubelai wajahnya dengan lembut. Wajah ayu yang dua tahun terakhir ini menemani hari-hariku. Aku tak pernah menyangka akan mengalami situasi sulit seperti ini. Kehilangan anak disaat usia pernikahan masih terbilang muda. Pasti Lili sangat terguncang karenanya. Di sudut matanya masih tersisa genangan air mata, bukankah itu menandakan dalam tidurnya pun ia masih terasa sedih dan tertekan. Kuciumi wajahnya dengan lembut. "Dek, sadarlah. Maafin mas selama ini sudah mengabaikanmu. Bangunlah sayang, mas janji akan lebih perhatian padamu." Hening. Lili masih saja terdiam. Matanya enggan terbuka. "Maafin semua kesalahan ibu padamu, ya dek. Mas yang salah karena tak tegas terhadap ibu. Sampe menyebabkan kamu jadi seperti ini." "Apa maksudmu?" Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Bang Panji--kakak Lili datang bersama temannya. "Aku baru tahu dari temanku yang bekerja rumah sakit ini kalau Lili operasi disini dan bayinya meninggal?!" pungkasnya lagi. "I-iya, Bang." "Kenapa kau gak kabari aku kalau calon keponakanku meninggal, hah?! Kau tidak menganggapku sebagai kakak?!" "Bukan begitu, Bang. Tapi memang aku lupa ngabari abang. Maaf." "Apa yang terjadi sampai bayi Lili gak bisa diselamatkan?" "Anu bang, sebenarnya ini semua salahku. Aku tidak langsung pulang saat Lili menelepon dan bilang perutnya sakit. Pas sampai rumah Lili sudah gak sadarkan diri dan pendarahan. Maafin aku, bang." "Ikut aku keluar sekarang!" sergahnya lagi. Mas Panji menatapku tajam, dadanya terlihat naik turun, tangannya mengepal. Wajar saja ia marah, Lili adalah adik satu-satunya Bang Panji. Aku menurut, mengikuti langkah Bang Panji yang tergesa-gesa. Entah dia mau membawaku pergi kemana. "Bang, kita mau kemana?" tanyaku. Tanpa sadar kami sudah sama-sama berada dibelakang rumah sakit. Belakang rumah sakit masih rimbun ditumbuhi oleh semak belukar serta tanaman liar yang lain. Buuugg ...! Tanpa ba-bi-bu lagi Bang Panji memukul wajahku. "Bang, ini ada apa?" tanyaku membela diri. "Kau apakan adikku, hah?" pekiknya lagi sembari mencengkeram kerah bajuku. Ia mendorongku hingga menempel di tembok pembatas. "Bang, ampun bang! Maafin aku bang, aku gak bermaksud--" Buuugg ...! Lagi-lagi kepalan tinju mengenai wajahku. Panas dan perih terasa, kepalaku jadi kliyengan karenanya. "Istri sedang hamil besar kau tinggal-tinggal sendiri? Bahkan saat dia mengeluh sakit, kau tak langsung pulang?! Laki-laki macam apa kau??" Buuugg ...! Kali ini dia memukul perutku hingga rasanya runyam ingin muntah m "Pukulan ini saja tak cukup untuk membalas perbuatanmu! Kamu itu memang tak becus jadi suami! Menyesal aku merestui hubungan kalian!" "Bang, biar aku jelaskan dulu!" Plaaakk! Ditambah lagi sebuah tamparan mengenai wajahku, jadi memar dan babak belur wajahku ini. Mungkin memang aku pantas mendapatkan semuanya karena tak mengindahkan Lili sebagai istri. "Tak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah sangat gamblang! Kau mengabaikan adikku hingga menyebabkan satu nyawa meninggal! Dan kau tak memberi kabar apapun terhadapku kalau Lili dirawat di rumah sakit. Kalau saja temanku tak memberi tahu tentang kondisi adikku, sampai matipun aku tidak tahu. Laki-laki macam apa kau ini? Kau ingin membuat adikku sengsara ya?!" "Tidak bang, itu tidak benar!" "Bulsh*t!!" Bang Panji meninggalkanku begitu saja dalam kesakitan. Duh, bisa gawat kalau Bang Panji salah paham. Bisa-bisa aku dipukuli habis olehnya. Aku berlari mengejar Bang Panji yang langkahnya cepat. "Bang, tunggu, Bang. Aku minta maaf. Maaf, Bang. Aku bisa jelaskan semuanya." Bang Panji menampik tanganku, dan bergegas jalan lebih cepat menuju kamar perawatan Lili. Ah, sepertinya dia benar-benar marah. Langkahku setengah berlari untuk mengejar Bang Panji. Pintu ruang perawatan terbuka. Aku melihat pandangan yang tak biasa. Lili sudah bangun. Dan laki-laki disampingnya--teman Mas Panji, sedang berusaha menyuapi Lili makan. Meskipun kulihat mulut Lili masih terkatup rapat, enggan menerima suapan itu. Apa yang terjadi? Apakah mereka saling kenal? 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN