Berdebat Dengan Ibu

1003 Kata
Pasca 4 hari di rumah sakit, akhirnya Lili diperbolehkan pulang. Aku memapahnya masuk ke dalam mobil. Kami hanya berdua. Ibu dan Icha enggan berkunjung ke rumah sakit, walaupun aku telah mengajaknya. Kondisi Lili sangat lemah. Kali ini tidak ada perlawanan darinya, ia lebih banyak diam, bahkan seperti patung. Jika ditanya pun enggan menjawab. Wajahnya sendu, netranya begitu sayu. Pandangannya seakan kosong, embun tebal tampak begitu kentara di kedua bola matanya. Pandangannya yang biasa meneduhkan kini terlihat sangat rapuh. Lili, maafkan suamimu ini. Aku memang pria yang tak becus bergelar suami. Hening. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan apapun yang keluar dari mulut kami. Hanya alunan musik klasik yang kusetel begitu lirih untuk sekedar mengusir sepi. "Mas, kita ke makam bayiku dulu, baru pulang," pintanya tanpa memandang ke arahku. Aku menoleh. Lalu hanya bisa menganggukkan kepala melihat ekspresinya yang begitu sedih. * Gundukan tanah itu masih terlihat baru dan basah, diatasnya penuh taburan bunga. Lili terkulai, ia bersimpuh disamping pusara anak kami. Tubuh Lili terguncang hebat, air matanya jatuh bercucuran bak anak sungai. Hatiku mencelos. Sakit sekali menyaksikan pemandangan ini. "Sudah yuk pulang dulu, dek. kamu juga butuh istirahat, sayang." Lili menggeleng. "Ayo dek, pulang dulu. Kasihan tubuhmu butuh istirahat lho, masih dalam pemulihan." Akhirnya Lili mau menurut, kupapah tubuhnya masuk ke dalam mobil. * "Zam, kok kamu yang nyuci sih?" tegur ibu saat aku memasukkan baju kotor ke mesin cuci. "Ya gak apa-apa to, Bu. Lili kan masih sakit, gak boleh banyak gerak dulu." "Alaaaah dasar istrimu itu malesan!" "Cukup ya, Bu. Aku gak mau berdebat masalah ini. Bisa gak sih ibu menghargai sedikiiit saja perasaan Lili?" "Kamu udah berani bentak ibu, Zam?!" Ibu berlalu begitu saja dengan netra berkaca-kaca. Sudah dipastikan, ibu pasti akan ngambek seharian. Aku mengusap wajah dengan kasar. Ya Allah, aku harus bagaimana? Sembari menunggu cucian di mesin cuci, aku beranjak ke dalam menemui Lili. Ia masih meringkuk dalam tidurnya. "Dek, kamu mau makan apa? Biar nanti mas belikan." Lili hanya menggeleng perlahan. Aku tahu dia lapar, ibu mana mau memasak untuk kami. Menurutnya, dia sudah tua, jadi dia yang harus diladeni. "Mas, tolong berhenti. Jangan mengerjakan pekerjaan rumah. Biar aku saja. Nanti ibu marah-marah lagi." "Itu tidak mungkin dek, kondisimu masih lemah begini. Dah, gak usah pikirin omongan ibu." "Gak usah pikirin gimana, Mas? Omongan ibu membuatku down." "Oh, jadi ini yang kamu lakukan di belakang ibu? Kamu ngadu sama suamimu gitu? Biar ibu keliatan jelek di matanya?!" pungkas ibu yang tiba-tiba masuk ke kamar kami. "Ibu, cukup!! Ini gak seperti yang ibu pikirkan!" tukasku. "Gara-gara wanita ini, sekarang kamu sudah berani bentak ibu ya, Zam!" "Bukan karena Lili, Bu. Tapi ibu sendiri yang sudah keterlaluan! Padahal ibu tau, kondisi Lili tidak baik-baik saja, dia sedang dalam masa pemulihan! Dia juga terguncang karena kehilangan anak kami. Ibu, bisa gak sedikiiit saja hargai perasaan Lili Bu, dia menantu ibu, bukan pembantu!" "Percuma ngomong sama kamu, Zam! Hatimu sudah tertutup oleh dia! Dia itu cuma berdiam di rumah, ya sudah pasti harus mengerjakan semuanya! Masa kamu yang kerja dia okang-okang kaki!" "Kalau aku yang nyuruh ibu nglakuin semuanya gimana? Atau Icha? Kalian juga berdiam diri di rumah? Okang-okang kaki!" "Tega kamu, Zam! Ngomong kayak gitu sama ibu. Jadi kamu nyuruh ibu untuk kerjain semua kerjaan rumah? Ibu itu bukan pembantu, Zam! Ibu ini yang sudah melahirkanmu!" "Aku tahu Bu, makanya ibu gak usah protes lagi kalau nantinya aku ambil pembantu. Aku menghargai ibu, tapi aku juga tak ingin menyakiti Lili. Apalagi dia masih sakit, Bu. Aku tak ingin membuatnya lebih sakit lagi karena terlalu capek mengerjakan pekerjaan rumah." "Ambil pembantu itu buang-buang uang, Zam!" "Ini solusi yang terbaik. Ibu tidak mau membantu kan? Sedangkan Lili masih sakit, ibu tega nyuruh-nyuruh orang sakit untuk bekerja? Ini jalan tengah yang terbaik, mulai besok akan ada pembantu yang bekerja disini, sekaligus merawat Lili kalau aku berada di kantor!" "Huh!" Ibu sengaja menghentakkan kakinya pergi meninggalkan kami dengan perasaan tak suka. Duh ibu, sebenarnya apa sih maumu, Bu? Aku menoleh ke arah Lili. Dia terisak. Kubelai rambutnya dan kuciumi puncak kepalanya. "Maafin mas, selama ini ya. Mas sudah salah sama kamu." Kudekap erat tubuhnya. Badannya panas, jangan-jangan Lili sakit lagi? "Obatnya belum diminum?" tanyaku. Lili hanya diam saja. Ah ya, bagaimana mungkin dia minum obat, makan saja belum. "Kamu tunggu disini ya, kamu mau apa? Bubur ayam atau apa?" Lagi-lagi Lili hanya menggeleng. Aku bangkit, mengambil kunci mobil. Di ruang keluarga ibu sedang tertawa kecil bersama Icha sambil menonton TV. Satu toples cemilan ada dihadapannya. "Kamu mau kemana, Zam?" tanya ibu seolah tak terjadi apa-apa. "Cari makan." "Ibu sama icha mau juga, kami dari tadi belum makan, gak ada yang masak!" tukas ibu. "Suruh Icha masak, Bu! Bahan makanan banyak di kulkas! Dia kan cewek, harusnya masak itu perkara mudah!" "Kamu ini! Icha itu tamu disini, jadi harus dilayani." "Tamu apa Bu, yang sampai berbulan-bulan gak pulang-pulang? Niat cari kerja gak sih?" Icha menghentikan makan cemilannya, wajahnya ditekuk cemberut. "Kamu itu gimana, dia itu masih keluarga kita!" tukas ibu. "Kalau masih keluarga harusnya peka, ikut bantu-bantu, apalagi kondisi Lili sedang sakit begini!" "Kamu jangan lancang Azzam! Tuan rumah ya harus menyediakan kebutuhan tamunya!" "Iya-iya, terserah! Kalian mau makan apa?" "Ibu mau nasi plus ayam bakar, kamu mau apa Icha?" "Sama aja kayak budhe." "Ya sudah Ibu sama Icha mau nasi ayam bakar, jangan lupa belikan pizza juga, Zam!" "Hmmm!" *** Cukup lama berada diluar mencari makanan kesukaan ibu. Apalagi harus ngantri kayak sembako. Kalau begini aku jadi kepikiran sama Lili. Takut kalau ibu marah-marah pada Lili. Pulang ke rumah tampak sepi. "Ibuu ...? Icha ...?" Tak kutemui batang hidungnya. Kugeletakkan saja diatas meja makan. Aku berlari menghampiri Lili di kamar, istriku itupun tak ada. "Li, kamu dimana, Li? Sayang?" Tak lama terdengar suara dari halaman belakang. Aku tercengang melihatnya, dengan tangan gemetar Lili menjemur pakaian-pakaian yang tadi masih kucuci dan kutinggalkan begitu saja. Jadi dia melakukan ini? Lili mengangkat pakaian basah diember itu sendiri? Ini kan sangat berat? "Dek, biar mas saja. Kamu makan dulu gih!" Lili menoleh, memandangku dengan tatapan nanar. Tiba-tiba tubuhnya terhuyung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN