"Apa?? Enggak, kamu gak boleh pergi, Zam! Ibu sama siapa disini?"
"Lho Bu, kan masih ada Icha?"
Ibu menahan koperku. "Jangan Zam, jangan pergi. Jangan tinggalin ibu, Zam!"
"Bu, please! Ibu jangan seperti anak kecil begini. Aku cuma sementara waktu saja ke tempat Bang Panji. Aku ingin memperbaiki dulu hubunganku dengan Lili. Ibu tahu, rumah tanggaku sudah diambang kehancuran. Aku ingin mendapatkan kepercayaan Lili lagi."
"Zam, wanita itu gak hanya satu. Banyak wanita yang lebih cantik dan kaya dari Lili, ibu sangat yakin, kamu pasti bisa mendapatkan wanita lebih baik dari Lili."
"Cukup Bu, jangan menambah keruh suasana. Kenapa ibu berpikir seperti itu sih! Aku harus mencari wanita lain begitu? Tidak Bu! Bagiku pernikahan cukuplah sekali seumur hidup dan aku akan berusaha setia pada istriku. Wanita di luaran sana memang banyak, tapi yang kucintai hanya Lili, Bu. Aku gak ingin kehilangan dia. Sudah cukup aku kehilangan bayiku," ucapanku terhenti, seperti ada yang tercekat di tenggorokan.
"Bayiku meninggal, istriku sakit dan sekarang dia memilih tinggal bersama kakaknya. Tapi apa ibu peduli pada kami? Tidak! Ibu hanya peduli pada urusan ibu sendiri. Tak ada sedikitpun perhatian ibu pada Lili. Apa salah Lili Bu?! Selama ini dia sudah berusaha menjadi menantu yang penurut, tidak banyak menuntut. Apa hanya karena dia orang miskin jadi sampai sekarang ibu tidak mau juga merestui hubungan kami?"
Ibu terdiam, koperku masih dipegang oleh ibu. Kuambil dengan paksa koper itu.
"Aku pergi dulu Bu. Kami akan kembali kalau ibu sudah berubah," tukasku kemudian pergi meninggalkannya.
"Zam, jangan pergi Zam. Ibu minta maaf," teriak ibu.
Tak kuhiraukan rengekannya. Saat aku hendak menaiki mobil, tiba-tiba saja ibu memekik kesakitan.
"Aaaauu ... Zam, tolong ibu. Perut ibu sakit!" teriaknya sembari memegangi perutnya.
Ah, sedang drama apa lagi ini ibu?
"Ada apa, Bu?" tanyaku menghampirinya.
"Zam, perut ibu sakit banget. Tolong ibu, Zam!" ujarnya sembari meringis kesakitan.
"Chaaa! Ichaaaaa ...!" panggilku. Tak lama Icha keluar dari rumah dan menghampiri kami.
"Ada apa, Mas?" tanyanya.
"Nih tolong bawa ibu periksa ke dokter. Ini uangnya," tukasku sembari memberikan uang tiga ratus ribu.
"Kalau kurang atau ibu harus dirawat di rumah sakit, tinggal hubungi aku. Nanti aku transfer sekaligus minta bukti biaya rawatnya."
"Memangnya mas mau kemana?"
"Aku harus pergi, tolong kamu urus ibu ya ...!"
"Zam, kamu gak mau anterin ibu, Zam? Ibu beneran sakit lho, Zam," tukas ibu.
"Ibu sama Icha dulu ya. Aku harus pergi. Assalamualaikum."
Dengan berat hati, kutinggalkan ibu. Ah, maafkan anakmu ini, Bu. Ada yang lebih penting dari sekadar drama ibu. Aku yakin ibu pasti hanya pura-pura mengeluh sakit agar aku tak jadi pergi.
Saat ini tujuanku ingin memperbaiki hubunganku dengan Lili.
Mobil ini kulajukan dengan kecepatan sedang sambil mencari butik. Aku ingin membelikan gamis baru untuk istriku.
Kuparkirkan mobil ini di depan butik langgananku. Masuk dan memilih model-model gamis. Aku beli tiga stel bersama dengan hijabnya dan juga celamis. Aku tahu, Lili lebih suka yang sederhana, jadi kubelikan saja gamis polos warna navy, coklat mocca dan juga warna abu-abu. Ia pasti terlihat sangat cantik. Aku tersenyum membayangkannya.
Selesai memilih gamis, aku menuju toko perhiasan. Membelikan satu set perhiasan gelang, kalung dan juga cincin.
Lagi-lagi aku tersenyum, semoga ini bisa meluluhkan hatinya. Ah iya satu lagi, aku harus membelikannya ponsel kembali. Selama ini aku telah mengekang kebebasannya. Ia tak bebas berekspresi. Sungguh aku ini suami yang egois.
Tak lupa, aku membawakan oleh-oleh makanan dan juga buket bunga untuknya. Sungguh aku rindu disambut kehangatan olehnya.
Hari ini aku telah menghabiskan uang puluhan juta dari tabunganku. Tak apalah, demi membahagiakan Lili. Aku ingin dia luluh kembali dan memaafkanku. Ternyata begini mahalnya harga sebuah kepercayaan.
***
Sampai di rumah Bang Panji
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Aku nyelonong masuk ke dalam rumah. Bang Panji dan Mas Raffa, sepertinya sedang sibuk membicarakan pekerjaan. Banyak berkas-berkas diatas meja. Mereka pun tampak serius.
"Kamu datang lagi?" tanya Bang Panji.
"Iya bang, seperti yang sudah kubilang tadi, aku juga ingin tinggal disini sampai Lili mau pulang ke rumah."
"Ck! Ya sudah sana masuk ke dalam. Lili lagi nonton TV."
Benar saja, kulihat Lili sedang duduk rebahan sembari menonton TV.
"Assalamualaikum sayang, saking asyiknya nonton TV sampai gak tahu suami datang," tegurku.
Lili menoleh, tapi tanpa ekspresi. Hanya diam tanpa senyuman. Seperti biasa ia menyalami tanganku.
"Mas punya kejutan untukmu, kita ke kamar sebentar yuk," ajakku sembari menarik koper, dan menjinjing tas belanja.
Kuletakkan tas belanjaan itu diatas kasur. Oh, ada yang kelupaan, buket bunga yang kubeli tadi masih tertinggal di mobil.
"Sebentar dek, ada yang ketinggalan."
Aku berlari ke depan untuk mengambil buket itu. Aku tersenyum, semoga saja Lili luluh dan mau memaafkanku.
"Buat apa kamu bawa koper segala, Mas?" tanyanya dengan sorot mata tajam.
"Mas ingin tinggal bersamamu, dek. Mas juga udah bawa baju-bajumu."
Lili hanya diam, ia seakan tak bersemangat menanggapiku bicara.
"Gimana keadaanmu sayang, apa masih sakit?"
"Hmmm."
Hanya helaan nafasnya yang terdengar berat.
"Oh iya, mas punya hadiah untukmu. Ini buket bunga cantik untuk istriku yang cantik."
Lili hanya menatapku dengan tatapan nanar, lagi-lagi tanpa senyuman.
"Ini juga dek, mas beliin kamu gamis tiga stel, handphone, dan ini juga--"
Setelan gamis + hijab, handphone yang masih utuh dalam kotak serta sebuah kotak beludru berwarna merah berbentuk love kuserahkan padanya. Lagi-lagi Lili hanya menatapku dengan datar, tanpa senyum maupun ucapan terima kasih
"Coba bukalah," sergahku.
Namun ia hanya diam saja seperti boneka. Aku menghela nafas dalam-dalam, mencoba untuk tetap mencairkan suasana. Akhirnya kubuka kotak perhiasan itu, kutunjukkan kepadanya.
"Dek, ini mas belikan cincin, gelang dan kalung untukmu. Gimana apa kamu suka? Mas pakaikan ya!"
Aku meraih jemari Lili untuk memasukkan cincin itu ke jari manisnya. Namun Lili menariknya dengan cepat.
"Buat apa itu semua, Mas?" tanyanya. Nada suaranya terdengar getir. Kulihat netranya tampak berkaca tebal.
"Dek, mas beliin ini semua buat kamu lho. Karena mas sayang sama kamu."
Lili tersenyum masam.
"Ayo dek, mas pakaikan ya!"
"Aku tidak butuh itu semua, Mas!" tolaknya lagi sambil menghindar lebih jauh. Hingga barang-barang yang kuberikan tadi berjatuhan di lantai, termasuk kotak handphone yang masih belum dibuka.
Ya Allah, Li. Kamu kenapa sih?
"Li, kamu kenapa sayang? Mas minta maaf."
"Jangan mendekat!"
"Li, sayang, ayolah jangan seperti ini terus. Mas memang salah, biarkan mas perbaiki kesalahan ini, yaa ..."
Lili menggeleng perlahan. Aku makin mendekat ke arahnya. Kupeluk tubuhnya dengan erat. Ia terguncang hebat. Ya! Lagi-lagi ia menangis tergugu.
"Maaf. Tolong maafin Mas, Dek."
"Aku bilang aku butuh waktu untuk sendiri, kenapa kamu justru menyusulku kesini. Aku lelah mas, tolong berikan aku waktu. Aku tak ingin pikiranku bertambah kacau. Selama ini kamu tak pernah mau mendengarkanku, makanya aku lebih banyak diam."
Kuusap air mata yang jatuh di pipinya dengan lembut, lalu mencium bibirnya, mesra.
Tak kusangka, Lili justru mendorong tubuhku.
"Kamu pikir aku wanita apa, Mas? Apa dengan semua itu bisa mengembalikan anakku? Ayo jawab mas! Apa dengan barang-barang yang kau bawa itu bisa kembali menghidupkan anakku?!"