"Pak, ini klien kita sudah datang." Dewi berucap pada Radit, setelahnya ia mempersilakan klien itu masuk.
"Oh, iya."
Radit kini bisa menatap wajah pemuda itu. Seorang pemuda yang ia perkirakan usianya jauh di bawahnya. Sedang tersenyum ramah sembari menampilkan lesung di kedua belah pipinya.
"Selamat datang di Berkah Group, Mas." Radit balas tersenyum tak kalah ramahnya. Ia mengulurkan tangannya. "Dengan mas?" tanyanya.
Pemuda itu terkekeh kecil sebelum menjawab dengan tegas. "Akbar. Akbar Fajriansyah."
"Okey, Mas Akbar." Radit terkekeh. Lalu mempersilahkan pemuda itu untuk duduk.
"Kita mulai rapatnya," ucapnya kepada seluruh rekan setimnya.
Mereka mengangguk antusias. Tidak sabar dengan kelanjutan hubungan baik klien baru mereka.
°°°°
Raditya Hermanto: Tari.
Raditya Hermanto: Besok hari Sabtu kamu libur kan?
Raditya Hermanto: Ibu ingin bertemu katanya. Kamu bisa main ke rumah? Cuma berdua.
Tari membuka pesan yang masuk ke ponselnya. Pesan dari Radit. Gadis itu mengernyitkan dahi membaca pesan itu. Ada apa gerangan ibunya Radit ingin bertemu dengannya?
Pesan itu ternyata masuk sejam dua jam lalu. Dan bahkan Radit sudah tidak terlihat lagi sejak jam itu. Ia baru membukanya sekarang, karena bank hari ini begitu ramai. Tari bahkan tidak sempat membuka ponselnya sama sekali. Bahkan ke toilet pun ia hanya sebentar. Ia paling tidak bisa membiarkan nasabahnya lama menunggu.
Tari merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Seharian tenaganya diforsir, dan kini ia merasa seluruh tubuhnya seperti remuk. Saat Tari hendak membalas pesan dari Radit itu, tiba-tiba Radit kembali online dan langsung mengetikkan sebuah pesan lagi untuknya.
Raditya Hermanto: Besok kamu bisa ke rumah saya sendirian? Saya gak bisa jemput, ada meeting dengan klien.
Tari lagi-lagi mengernyit. Ia kemudian terkekeh. Pesan dari Radit kesannya seperti pesan dari Pak Fero atau atasan-atasan ke bawahan mereka pada umumnya. Datar. Tanpa emoticon apapun. Khas orang yang serius dalam segala keadaan apapun. Tari jadi penasaran dan ingin lebih mengenal Radit.
Dengan cepat ia ketikkan balasannya. Mumpung Radit juga masih online.
Lestari Ayu: Aku InsyaaAllah bisa, mas. Jam berapa ibu bisa?
Raditya Hermanto: Terserah kamu. Ibu bilang yang penting datang, jangan sampai enggak
Tari tersenyum lagi. Bertukar pesan dengan Radit benar-benar membuatnya serasa mengirim pesan pada bosnya.
Lestari Ayu: Bilangin ke Ibu, aku datang jam sepuluh pagi. Kirim alamat lengkapnya ya, mas.
Tari menunggu balasan dari Radit selanjutnya. Pemuda itu lama mengabaikan pesannya. Dan baru setengah jam kemudian, Radit membalas. Dengan cukup menggemaskan.
Raditya Hermanto: Oke ^^
Tari terkekeh. Menurutnya sebuah emoticon minimalis itu yang paling mewah ia dapatkan saat bertukar pesan dengan Radit. Ia jadi penasaran tentang pengirim buket bunga yang datang kemarin siang. Kalau dipikirkan lagi, sepertinya Akbar tidak mungkin mau repot-repot mengirimkan buket bunga untuknya. Pemuda itu pasti lebih memilih untuk membelikannya makanan dibanding bunga.
Namun, Tari juga masih belum yakin jika pengirim bunga itu adalah Radit. Ingin rasanya ia menanyakan semuanya pada Radit. Tetapi ia juga belum menemukan kalimat pertanyaan yang cocok. Yang Tari takutkan adalah, bagaimana jika bukan Radit pengirim buket bunga itu? Pasti Tari akan tidak enak hati padanya. Apalagi saat ini notabene-nya mereka sedang dekat, pasti Radit akan langsung ilfeel pada Tari.
Tari menggelengkan kepalanya menepis semua pikiran buruk itu. Ia putuskan untuk tidak bertanya pada Radit, sampai pemuda itu yang mengungkitnya sendiri.
°°°°
Tari mematut dirinya di depan cermin. Ia tersenyum memandang wajahnya yang masih polos, tidak tersentuh make-up sedikit pun. Rencananya ia memang ingin mengenakan daily make-up yang tidak terlalu menor seperti yang ia biasa gunakan ke bank. Tari hanya membubuhkan cushion dan lipcream ke wajahnya. Setelahnya ia mengenakan kerudung segi empat berwarna khaki, yang senada dengan celana khakinya. Hari ini ia mengenakan baju berwarna navy, yang warnanya sama dengan bros bunga yang disematkan ke kerudungnya.
Gadis itu kembali tersenyum. Ia merapikan kerudungnya sekali lagi, dan membenarkan brosnya. Setelahnya, ia beranjak dan mengambil slingbag-nya. Disematkannya ke pundaknya sembari kembali bercermin.
"Okey, I'm ready to go."
Dengan semangat, Tari melangkah keluar kamarnya. Ia bersenandung kecil lirih. Saat melewati ruang keluarga, Mamanya memergokinya. Dan sontak langsung mencegat langkahnya.
"Mau kemana kamu?" tanyanya. Melati beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati Tari. Ia menatap Tari dari ujung kerudung sampai ujung kaus kakinya. "Kok rapih?"
Tari menyeringai aneh. "Tante Nur nyuruh aku main ke rumahnya," katanya. Setelahnya ia terkekeh geli. "Katanya sih pendekatan gitu. Ngobrol-ngobrol lagi. Kan belum pernah."
Melati membulatkan bibirnya sembari menganggukkan-angguk kepalanya. "Oh," selorohnya. "Bagus deh. Hati-hati di jalan, ya. Salam buat Tante Nur."
Tari mengacungkan jempolnya. "Oke." Tari mengenakan helm bogonya.
Berikutnya ia bergegas keluar rumah. Setelah mengeluarkan motornya, dengan semangat ia menstarter motor itu dan langsung tancap gas. Motornya membelah jalanan pagi itu.
°°°°
"Ini beneran Mas Radit, Bu?"
Tari menunjuk foto dalam buku album jadul yang dipegang Nur.
Ibu Radit itu menganggukkan kepalanya sembari tersenyum geli. "Iya, lucu kan?"
Tari ikut terkekeh. "Lucu banget. Imut ih. Gemes," ucapnya. Ia mengelus foto seorang bocah lelaki yang tersenyum ke arah kamera.
"Mas Radit masih kecil udah imut aja." Tari mengamati satu per satu foto dalam album foto itu. Adaa berbagai pose yang ditampilkan, dari mulai senyum formal, menyengir, duck face, dan bahkan muka jelek. Sayangnya bukannya jelek namun malah yang ada jadi lucu dan imut.
Nur tersenyum. Wanita yang hari ini mengenakan jilbab berwarna kuning emas itu kembali membalik lembar berikutnya. "Ini foto waktu adik Radit yang terakhir lahir."
"Mas Radit punya adik berapa, Bu?" tanya Tari sembari mendongak menatap Nur.
Nur menjawab, "Dua." Ia menunjuk dua bocah dalam foto itu. Yang paling besar adalah Radit yang tengah menggendong adik bayinya. "Nisa sama Danu. Nisa beda lima tahun, kalau Danu beda tujuh tahun dari Radit. Makanya pas di foto ini Radit pakai seragam SD," sambungnya.
Tari mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat membalik halaman berikutnya, Tari mengerutkan dahi. "Kok Tari gak melihat foto yang ada foto Ayahnya Mas Radit, ya Bu?"
Nur tampak terkesiap, lalu berikutnya ia tersenyum. "Ayah Radit meninggal dunia saat adik terakhirnya lahir. Makanya gak ada di foto."
Tari tersentak. Ia mendadak jadi tidak enak hati. "Maaf, Bu."
"Gak pa-pa, nak. Kan Tari gak tahu." Nur tersenyum. "Radit sejak kecil sudah mandiri. Dia membantu ibu mengurus adik-adiknya. Dia bahkan selalu dapat beasiswa, dan sampai kuliah pun dapat beasiswa.
"Radit sejak kecil sudah menjadi ayah, kakak, dan sahabat untuk adik-adiknya. Dia gak pernah pacaran yang katanya ngabisin duit aja dan haram. Radit sudah dewasa ... sebelum usianya menginjak dewasa. Nak Tari harus tahu itu."
Tari entah mengapa merasa sedih sekaligus terharu. Ia tersenyum mendengar perkataan Ibu Radit. Mendengar bagaimana dewasanya Radit, membuatnya senang. Radit benar-benar pemuda yang ia cari. Matanya berkaca-kaca.
Tangan Tari terjulur menggenggam tangan Nur. Ia tersenyum lebar sembari menarik napas. "Tari bangga dengan Mas Radit, Bu."
°°°°