Nur menggenggam tangan Tari kemudian mengelus punggung tangan gadis itu. Ia menatapnya penuh senyum. "Nak Tari anak yang baik. Ibu doakan semoga kalian berdua berjodoh. Aamiin."
Tari tersenyum membalasnya. Kisah Radit entah mengapa membuatnya sedih sekaligus terharu. Belum pernah ia mendengar ada seorang anak yang sangat menyayangi ibu dan adik-adiknya. Tari juga tidak menyangka kalau kisah hidup Radit ternyata sesedih itu. Radit mampu menyesuaikan dirinya saat menjaga adik-adiknya. Ia menjelma menjadi sosok penasihat yang bijak seperti ayah, lalu sosok pelindung yang kuat seperti kakak, serta menjadi sosok pendengar yang baik sebagai teman.
Selama ini bahkan Tari sering bertengkar dengan adiknya. Belum pernah sehari pun mereka lewatkan tanpa ada pertengkaran. Tari dan Arif pasti akan mendebatkan hal-hal, meskipun itu hal kecil sekalipun, seperti berebut remot televisi.
"Ah iya, nak Tari sudah tahu belum kalau ini sebenarnya rumah Radit sendiri?"
Tari tersentak mendengar perkataan dari Nur tersebut. Ia mendongak, dan tersadar dari lamunannya. Kemudian matanya terbuka lebar-lebar setelah mengetahui kenyataan yang baru didengarnya.
"Rumah ini ... rumah Mas Radit sendiri, Bu?" tanya Tari. Matanya makin melotot kala memandang seisi rumah besar itu.
Rumah besar di dalam perumahan elit itu ternyata milik Radit seorang. Tari dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia menatap Nur sembari bertanya, "Serius, Bu?"
Nur terkekeh. Lalu mengangguk seraya berkata, "Iya, serius. Ngapain ibu bohong?" Lagi-lagi wanita itu tertawa kecil. "Rumah ibu ada di sebrang, itu tuh. Yang ada motor bebek warna ijo itu." Nur menunjuk sebuah rumah di sebrang. Kemudian kembali memberi Tari kekehan.
"Wah." Tari menganga.
"Sejak kecil karena hidup susah, Radit sudah terbiasa berhemat dan menabung. Dan ketika sudah memiliki usaha sendiri pun dia masih menabung. Makanya dia bisa beli rumah sendiri dari jerih payahnya bertahun-tahun." Nur menjelaskan. Ia menjeda beberapa detik lalu kembali melanjutkan. "Rumah ini dibelinya baru beberapa bulan lalu, makanya kamu lihat kan masih ada sudut yang kosong di rumah ini. Terus kalau kamu masuk ke dapur, masih belum ada mejanya," sambungnya seraya terkekeh.
Tari ikut tertawa. "Belum ada mejanya? Terus kalau mau makan di mana? Di sofa sini?"
Nur mengangguk. "Radit jarang masak. Paling dia makan di kantor, nah kalau sarapan dia selalu ke rumah ibu." Ia menjeda untuk terkekeh. "Kan deket."
Tari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bener, Bu."
Tari tidak menyangka ada banyak sekali kejutan yang ia dapatkan dari sosok Radit. Ia tidak pernah menyangka ada pemuda seperti Radit. Rasanya Tari tidak bosan mendengar cerita-cerita tentang Radit yang lainnya.
"Radit selama ini selalu dahulukan kebutuhan keluarga daripada dirinya sendiri. Dia gak pernah tuh namanya pacaran-pacaran-pacaran. Pasti yang dilakukan itu usaha-kerja-nuntut ilmu. Dia selalu dahulukan pendidikan dan karirnya daripada mikirin urusan cinta."
Mendengar Nur menceritakan masalah percintaan Radit, telinga Tari terbuka kian lebar.
"Radit gak pernah pacaran seumur hidupnya."
"Hah?"
Perkataan Ibu Radit itu kini makin mengejutkan Tari. Ia mengerjap berulang kali. "Mas Radit gak pernah pacaran sekali pun? Dengan wajah seperti ini, dia jomblo sampai usia tiga puluh?" tanyanya sambil menunjuk foto Radit yang mengenakan toga wisuda.
Ia terkejut. Karena sebelumnya ia menyangka paling tidak Radit sudah pernah berpacaran satu kali. Pasalnya Radit itu ganteng banget.
Nur mengangguk antusias. "Iya. Dia betah melajang. Gak pernah melirik wanita manapun, dan itu yang bikin ibu sempat khawatir. Ibu udah semakin tua, ingin melihat Radit menikah dan menimang cucu." Ia terkekeh sebelum melanjutkan, "Makanya tahun ini ibu paksa dia buat kenal sama cewek. Dan kebetulan saat itu ibu sedang bertelepon dengan Mama kamu."
Tari kini menarik sudut bibirnya. Ia mengerjapkan matanya berbinar. "Maka dari itu ... Ibu tanya ke Mama kalau putrinya sudah ada yang meminang atau belum, gitu?"
Nur mengangguk. "Iya. Dan pas pertama kali Radit melihat kamu, dia sepertinya tertarik dengan kamu."
Rona merah langsung menjalar ke pipi Tari. Radit tertarik dengannya, itu artinya memang pemuda itu sudah jatuh hati padanya. Jantung Tari berdegup kencang. Mendengar Radit tertarik padanya membuatnya tiba-tiba senang. Namun sebisa mungkin ia mengendalikan ekspresi wajahnya.
"Makanya, Radit bilang kan langsung mau menyetujui menjawab keseratus pertanyaan itu." Nur mengatakan hal itu tanpa menyadari rona wajah Tari yang berubah menjadi pink.
"Oh, iya. Kalau boleh tahu, isi seratus pertanyaan itu apa ya? Ibu mau lihat tapi gak enak hati. Radit juga kayaknya gak mau ngasih tahu ke Ibu."
Tari terkesiap. Ia hanya menggumam lirih. Bingung ingin menjawab apa. "Eng- Itu-"
"Wah, ada tamu!"
Sebuah suara membuat Tari menghentikan kelanjutan kalimatnya. Suara itu datang dari arah pintu. Tari mendongak dan melihat seorang cowok dengan mengenakan kaos oblong berjalan masuk ke dalam rumah. Dari raut wajahnya, dapat Tari tebak jika cowok itu adalah adik Radit.
"Ibu dicariin pantesan gak ada di rumah. Sudah kuduga di sini." Cowok itu merajuk pada ibunya. Ia langsung duduk di sebelah ibunya. Kemudian cowok itu memandang Tari. "Oh ini yang namanya Mbak Tari. Aku penasaran mau lihat aslinya, selama ini cuma lihat di foto."
Nur menggeplak lengan cowok itu lalu memarahi anaknya itu. "Kamu ini!" gerutunya. Kemudian ia mengalihkan tatapannya ke arah Tari dan meringis. "Eh iya nak Tari. Kenalin ini Danu, adik paling bontotnya Radit."
Tari yang sejak memperhatikan interaksi anak dan ibunya itu hanya terbisa tersenyum geli. "Iya, Bu." Tari mengulurkan tangannya. "Tari." Ia mengajak Danu untuk berkenalan secara formal.
Danu memandang tangan Tari yang mengambang di udara. Lalu bergegas menyambutnya. "Danu," sahutnya. "Ternyata aslinya jauh lebih cantik. Pantes aja Mas Radit langsung jatcin." Danu terkekeh.
Tari mengerjap berulang kali. "Jat ... cin?"
"Jatuh cinta!" Danu tertawa kencang-kencang sambil menepukkan tangannya. Menurutnya ekspresi Tari saat ini sangatlah lucu.
Tari hanya dapat membeo sembari menyengir lebar. Ia melihat Nur lagi-lagi memukul lengan Danu yang masih tertawa. Interaksi mereka menghangatkan hati Tari. Sama persis seperti Mamanya dan Arif jika sedang berdua.
"Oh ini yang katanya baru lulus kuliah itu?" tanya Tari pada akhirnya. Ia memecah keadaan yang tadi dominan oleh ributnya ibu dan anak itu.
Danu menghentikan tawanya. Lalu ia mengusap sudut matanya yang berair. Lihat, cowok itu bahkan bisa menangis sambil tertawa!
"Iya, mbak. Betul. Aku baru lulus kuliah. Lulusan jurusan Akuntansi." Kini cowok itu berbicara dengan santai.
Tari menganggukkan kepalanya. "Sama dong. Aku juga lulusan akuntansi."
Danu berbinar. "Wah kebetulan, mbak. Kenalin aku ke orang bank dong, siapa tahu aku bisa kerja di bank kayak mbak Tari. Sekarang apa-apanya harus pake orang dalam- Aw! Sakit, Bu!" Danu menjerit kesakitan dan tidak bisa menghentikan kalimatnya karena Nur yang mencubit lengannya. Cowok itu kini mengusap-usap lengannya dengan cepat.
"Rasain! Kamu tuh kalau ngomong suka nyablak. Dipikirin dulu tuh kalau ngomong." Nur memelototi putra bungsunya itu, sedangkan yang mendapatkan tatapan itu hanya bisa mengaduh.
Tari terkekeh. Danu benar-benar sangat berbeda kepribadiannya dari Radit. Jika Radit sosok yang cukup pendiam dan tenang, sepertinya Danu adalah kebalikannya. Danu sosok yang ceria, slengean, dan penuh semangat. Khas anak muda. Ia jadi ingat dulu ketika jaman kuliah.
"Maafin Danu, ya, Tari. Dia emang suka gitu anaknya. Gak ngerti lagi kenapa dulu gak ibu masukin lagi ke dalam rahim aja." Nur bercanda.
"Ibu!"
°°°°