"Mbak Tari, tadi ada yang kasih bunga sama note. Udah saya taruh di atas meja, ya."
Tari menghentikan langkah kakinya begitu mendengar perkataan dari office boy itu di depannya. Pak Agus tersenyum dan setelah mendengar ucapan terima kasih dari Tari, ia melangkah menjauh, kembali ke pantry.
Tari menganggukkan kepalanya menjawab Pak Agus yang pamit padanya. Ia melepaskan tautan tangannya dari Gita dan berjalan menuju biliknya.
"Aku ke bilik dulu, ya," katanya.
Tari sudah berjalan duluan sebelum mendengar sahutan dari Gita. Namun rasa penasarannya sangat dalam sekarang, sehingga mengalahkan kewarasannya. Gadis itu tiba di biliknya, dan melihat sebuket penuh bunga mawar berwarna pink di atas mejanya. Buket itu berdiri kokoh karena disokong ratusan tangkai. Tari melangkah mendekat. Dari jaraknya sekarang, ia bisa melihat bahwa buket itu berisi sekitar seratus tangkai, dan memang sangat besar. Padahal tadi ia mengira buket itu berukuran biasa, namun nyatanya besar.
Di sisi kiri buketnya ia melihat ada sebuah note yang terselip di pita yang melingkar. Dengan penasaran, Tari menarik dari sisi itu dan mengeluarkan note tersebut. Tari bergegas membaca isinya. Begitu membaca isinya, Tari mengerut dahinya.
Note itu hanya berisi kalimat penyemangat agar Tari dapat bekerja dengan sukses hari ini. Namun yang membuat Tari mengerut dahi adalah ...
Tidak ada nama pengirimnya.
"Eh? Siapa yang kirim?" batinnya. Ia membolak-balik note itu namun tidak menemukan pertanda tentang siapa yang telah mengirimkan seratus tangkai mawar padanya itu. Note itu diketik, jadi ia tidak bisa menganalisis pengirimnya dari tulisan tangannya.
Tari mengedarkan tatapannya. Semua rekan kerjanya sibuk memberesi bilik masing-masing dan menyiapkan keperluan sebelum bank dibuka. Jadi kemungkinan ia tidak bisa menanyakan satu per satu pada mereka. Kemungkinan akan ia tanyakan pada Pak Agus nanti.
Namun Tari masih penasaran dengan pengirim buket itu.
Apakah pengirimnya itu Akbar? Atau jangan-jangan ... Radit?
"Briefing, Briefing, Oy!"
Tari tersentak kaget dan segera memasukkan kartu ucapan itu ke dalam sakunya. Setelah merapikan seragam dan jasnya, ia segera menuju tengah ruangan.
Gita menyambutnya dengan senyuman ramah, sembari menarik Tari mendekat ke arahnya. "Buket bunga dari cowok yang lagi dekat sama kamu?" tanyanya sembari berbisik di dekat telinga Tari. Saking penasarannya, akhirnya Gita berani menanyakan hal itu. Rasa penasarannya membuat Gita bertekad untuk mendobrak dinding penghalang antara dirinya dan Tari.
Tari tampak terkesiap lalu mengibaskan tangannya. "Bukan. Eh gak tahu ding. Gak ada nama pengirimnya."
Gita terkesiap dengan jawaban Tari. Di pikirannya saat ini apa Tari sedang berbohong untuk menutupi dirinya lagi, ataukah Tari memang berkata jujur karena benar-benar tidak ada nama si pengirim buket itu. Namun melihat wajah Tari yang serius, Gita akhirnya hanya mengangguk dan tersenyum.
Lagipula sebentar lagi brieffing pagi akan dimulai. Ia harus fokus pada brieffing pagi ini.
Berbanding terbalik dengan Tari yang nyatanya tidak fokus ketika mengikuti brieffing pagi ini. Pikirannya melayang.
°°°°
"Pak, tadi bapak lihat siapa pengirim buket bunga itu?"
Saat bank sepi, Tari menyelinap ke pantry dan menemui Pak Agus. Ia masih sangat penasaran dengan siapa pengirim buket itu, jadi gadis itu sengaja bertanya pada Pak Agus.
Orang yang ia tanyai hanya mengedik bahunya. "Gak tahu, mbak. Orang tadi yang antar itu ojek online. Gak ada nama pengirimnya juga."
Tari mendesah pelan setelah mengetahui bahwa Pak Agus pun tidak mengetahui pengirim buket itu. "Yah," keluhnya.
"Coba tadi ada note-nya, mbak. Barangkali ada di situ nama pengirimnya." Pak Agus masih memberinya solusi. Namun sayangnya solusi itu pun percuma. Karena memang tak ada nama siapa-siapa di note itu.
"Udah Tari cek, tapi gak ada nama pengirimnya, Pak," ucapnya dengan lesu. Tari menghembuskan napas kesal. "Ya udah, Tari ke dalam lagi, Pak. Makasih, ya," sambungnya.
"Sama-sama, mbak."
Setelah itu Tari bergegas berlari kecil masuk ke dalam ruangan. Ia lupa sudah meninggalkan biliknya lumayan lama. Mungkin orang-orang sedang mencarinya karena tak kunjung kembali.
"Tari, dicariin." Firdaus berseru saat melihat Tari yang berlari ke arahnya. Ia hampir menabrak gadis itu. "Nasabah udah rame lagi tuh," lanjutnya. Pemuda itu berkacak pinggang.
Tari tersenyum lalu kembali berlari kecil. "Oke," serunya.
Dengan cepat ia kembali ke dalam ruangan, dan benar saja, bank dalam keadaan ramai. Bilik customer service yang hanya ada dua, membuat nasabah harus menunggu lebih lama. Begitu Tari sampai di dalam bank, orang-orang bernapas lega karena melihatnya kembali.
Tari terengah-engah sambil berucap di depan para nasabahnya. "Maaf ya, Ibu-Bapak. Saya sehabis dari toilet."
"Iya, gak apa-apa, mbak." Seorang wanita paruh baya yang mengenakan kerudung hitam, menyahutinya. Sedangkan yang lain mengangguk dan tersenyum maklum, seolah berkata bahwa mereka tidak masalah.
Tari mulai memanggil satu per satu nasabahnya. Dan bergegas melayani dengan sepenuh hati. Aktingnya kembali dimulai.
"Antrian 21 ke CS 02!"
°°°°
Radit pagi ini tengah mengadakan rapat. Ia sengaja mengawal pagi dengan rapat serius yang membahas salah satu klien barunya. Perusahaannya bergerak di bidang pemasaran, tepatnya mendistribusikan barang, sehingga mereka harus mulai menyusun strategi untuk klien baru itu.
"Jadi ... untuk produk batik ini, ada yang ingin usul strategi pemasarannya?" tanya Radit di tengah rapat. Tatapannya mengedar.
Perusahaan kecilnya hanya terdiri dari delapan orang, kurang dari sepuluh, sehingga ia tidak perlu terlalu jauh mengedarkan matanya.
Kino, salah satu rekannya mengacungkan tangannya. Lalu mengutarakan pendapatnya. "Kalau menurut saya, kita bisa mulai dengan segmenting pasar, lalu mulai promosi lewat sosial media. Selain itu kita bisa pasang iklan baru di akun i********: kita."
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Termasuk Radit.
Radit tersenyum. "Kapan kita akan ketemu klien itu?"
"Sedang dalam perjalanan, mas. Katanya lima belas menit lagi sampai. Nanti dia kesini sekaligus bawa contoh produknya," ucap Dewi, rekan satu timnya yang lain.
"Oke." Radit menganggukkan kepalanya. "Berarti setelah ini, kita bahas strategi pemasaran lagi setelah kliennya datang." Radit menutup buku catatannya. Berikutnya ia menatap Kino. "No, jangan lupa nanti siapin kameranya untuk foto produknya."
Kino mengangguk. Lalu bereaksi hormat. "Oke, siap."
Radit tersenyum lagi. Setelahnya ia mengedarkan tatapannya. "Oke, kalau gitu ... kita tunggu klien itu sampai. Dan kalau ada yang mau ke toilet bisa sekarang, ya."
Beberapa orang mengangguk, beranjak dan melangkah keluar ruang. Radit kembali mengeluarkan catatannya. Ia mencentang satu persatu keperluan yang dibutuhkan timnya lalu mencatat masukan dari Kino barusan.
Tok tok
Radit menghentikan aktivitasnya. Lalu mendongak ke arah pintu, menanti siapa yang akan masuk ke dalam ruang rapat. "Silakan masuk."
Pintu itu terbuka. Menampilkan Dewi yang berjalan ke arahnya sembari diikuti oleh sosok di belakangnya. Seorang laki-laki yang sepertinya masih berusia muda.
"Pak, ini klien kita sudah datang." Dewi berucap pada Radit, setelahnya ia mempersilakan klien itu masuk.
"Oh, iya."
Radit kini bisa menatap wajah pemuda itu. Seorang pemuda yang ia perkirakan usianya jauh di bawahnya. Sedang tersenyum ramah sembari menampilkan lesung di kedua belah pipinya.
"Selamat datang di Berkah Group, Mas." Radit balas tersenyum tak kalah ramahnya. Ia mengulurkan tangannya. "Dengan mas?" tanyanya.
Pemuda itu terkekeh kecil sebelum menjawab dengan tegas. "Akbar. Akbar Fajriansyah."
°°°°