BAB 7

3479 Kata
"Jangan dipikirkan!" "Kau sudah melakukan hal yang baik, kok!" "Aku tidak akan membencimu, kok!" "Jangan khawatir, tindakanmu keren, kok!" "Jadi, jangan merasa bersalah lagi, ya, Melios!" Setiap hari, teman-teman sekelas Melios selalu mengatakan hal-hal seperti itu padanya, untuk menyemangatinya agar tidak berwajah murung lagi, karena dia selalu merasa bersalah atas lenyapnya Raiga dari Surga. Mesikpun begitu, Melios tetap tidak bisa menjalani hari-harinya dengan normal kembali, karena beban berat terasa sedang bertengger di pundaknya. Bahkan, walaupun sebagian besar penduduk sekolah memandangnya sebagai seorang pahlawan karena telah menemukan dan melenyapkan Sang Malaikat Pendendam dari Surga, tapi tetap saja, ada beberapa murid dan guru yang membencinya. Dan kejadian kemarin--yang dirinya dihajar habis-habisan oleh geng Rey--menjadi sebuah bukti, bahwa tidak semua orang senang padanya, ada orang-orang yang malah memandangnya sebagai malaikat menjengkelkan. Dan itu membuatnya tertekan. Entah mengapa, akhir-akhir ini, namanya jadi terkenal di seluruh Surga, bahkan beberapa malaikat elit pun sampai mengenalinya, karena bagi mereka, Melios adalah sosok pahlawan penyelamat Surga. Tapi sebaliknya, bagi dirinya sendiri, dia adalah sosok malaikat pengecut, payah, dan bodoh. Sebagian dari dirinya pun, membenci tindakannya saat melaporkan Raiga pada malaikat elit, dan sebagian lagi, merasa bahagia karena salah satu musuhnya telah menghilang. Setelah merasakan dua hal yang berbeda secara bersamaan di jiwanya, Melios jadi heran, mengapa dia terlahir sebagai seorang malaikat? Padahal di dalam hatinya, selalu dipenuhi dengan keegoisan, iri hati, kebencian, dan ketakutan. Jika bukan pengecut, julukan apa yang pantas disandang olehnya? "Ah, maaf," Seorang lelaki tiba-tiba menubruk pundaknya di lorong menuju perpustakaan saat Melios sedang membawa setumpuk buku di tangannya, membuat buku-buku tersebut berjatuhan. "Ah, kau kan, Melios Si Pahlawan!" Ketika lelaki itu menatap muka Melios, ia terkejut. Lelaki berambut cokelat itu pun tergesa-gesa membungkukkan badannya untuk memunguti buku-buku yang berjatuhan itu dan mengangkutnya sendirian. "Terima kasih," ucap Melios dengan menghadapkan wajahnya ke bawah, menundukkan kepala, tidak ingin menatap wajah orang yang barusan memunguti buku-buku tersebut, tapi saat kedua tangannya akan meraih buku-buku yang dipegang lelaki berambut cokelat itu untuk dibawa kembali, orang itu dengan sengaja tidak memberikannya. "Tolong, kembalikan buku-buku itu, aku harus menyimpannya di perpustakaan." "Oh! Tenang saja, biar aku saja yang membawanya! Yah, sembari membalas jasamu karena telah menyelamatkan Surga dari--" "Kumohon! Kembalikan buku-buku itu!" Tidak ingin mendengar ucapan lelaki itu lebih jauh, Melios spontan berseru dengan kesal, kepalanya masih ditundukkan, tidak mau berkontak mata dengan orang tersebut. Kaget karena dibentak oleh Melios, lelaki berambut cokelat itu terheran-heran dan segera bertanya, "Ada apa? Sepertinya suasana hatimu sedang tidak baik? Apakah ada suatu masalah? Jelaskan saja padaku! Aku akan membantumu!" Merasa seruannya tidak didengar, Melios pun dengan terpaksa mengangkat wajahnya untuk menatap muka orang tersebut lalu menjawab pertanyaan itu dengan memasang tampang jengkel dan disertai nada yang tinggi. "Maaf dan terima kasih! Dan juga! Kau tidak perlu khawatir! Karena itu! Bukan urusanmu!" Lalu Melios segera merebut buku-buku yang ada di genggaman lelaki itu dengan cepat dan ia langsung pergi dari hadapan orang itu dengan meninggalkan kesan dingin. "Hah.. Hah... Hah..," Napas Melios terengah-engah setelah sampai di depan pintu perpustakaan, tangannya sampai bergetar. "Bodoh! Bodoh! Bodoh! Mengapa aku harus bertemu dengan orang seperti dia! Aku tahu namanya! Dia adalah Norman Bravery! Putra tunggal dari Nicholas Bravery, Malaikat Elit Kesatu!" Di seluruh lapisan Surga, dari langit ketujuh hingga kesatu, tidak ada yang tidak kenal pada Norman Bravery, yang merupakan anak biologis dari Sang Malaikat Elit Kesatu. Bukan hanya itu, Norman pun dikenal sebagai Siswa paling pandai dalam segala hal, mau itu akademik, olahraga, bahkan pergaulan. Dia juga diidolakan oleh banyak gadis karena ketampanannya dan keramahannya. Dan sekarang, malaikat pengecut seperti Melios sudah dikenali oleh Norman Bravery dan bertemu dengannya secara langsung dengannya. Padahal dia lebih nyaman jadi sosok siswa biasa yang tidak dikenal oleh semua orang dan juga hanya menjadi peran pendukung di kehidupan orang populer seperti Norman. Namun saat ini, dia bukan lagi sebagai karakter sampingan di kehidupan Norman Bravery, karena Melios sudah melakukan sesuatu yang membuat namanya terkenal ke seluruh Surga. Bahkan, apabila Melios juga dikenali oleh orang-orang populer semacam Norman Bravery di sekolah ini, atau lingkungan masyarakat, itu akan membuatnya tertekan. Ah, ternyata benar, tindakannya melaporkan Raiga kepada pihak malaikat elit, membuatnya berada di posisi yang tidak nyaman. Karena menurut Melios, menjadi orang terkenal itu sangat menyusahkan, dia ingin menghabiskan sisa hidupnya sebagai malaikat biasa yang mempunyai pekerjaan tak terlalu mencolok dan memiliki keluarga yang biasa pula. Sayangnya, angan-angannya sudah hancur, karena sekarang, semua orang di Surga mengenali Guntara Melios Locky, yang telah dijuluki sebagai Sang Penyelamat Surga. "Oh, kita bertemu lagi!" Dan sialnya, Norman Bravery mengikutinya dari belakang, membuat Melios jadi ingin muntah seketika. *** Sementara itu, di Dunia Rebula. "Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada kalian berdua." Seketika Hill Yustard bersuara, membuat Zapar yang ada di sampingnya menoleh dan Yuna yang ada di kolam air hangat, melongokkan kepala ke arah lelaki elf itu. "Meskipun aku sudah tahu kalau kalian adalah seorang malaikat, tapi aku masih merasa ada sesuatu yang mengganjal." "Kalau begitu, katakan saja, kami akan mendengarmu, kawan!" sahut Zapar dengan menyunggingkan senyuman lebarnya pada Hill Yustard. "Tentu, kau berhak bertanya apa pun pada kami jika kau memang menginginkannya, Hill." respon Yuna dengan nada yang tenang. "Jika kalian memang seorang malaikat, mengapa kalian baru sekarang menunjukkan diri di Rebula? Mengapa kalian tidak datang saat dunia ini diserang oleh pasukan iblis? Apa kalian tahu? Saat itu... Kami membutuhkan pertolongan kalian, para malaikat. Dan karena serangan iblis... Ibuku... Ayahku... Adik Perempuanku.. Mereka semua tewas terbunuh." Hill terdiam sejenak, lalu kembali melanjutkan, "Dan sekarang, aku hidup sendirian di desa Kronic, rumah baruku. Walau semua penduduk di desa Kronic menyambutku dengan ramah, tapi aku masih menyimpan rasa pilu, aku... rindu pada suasana rumahku yang dulu. Jadi, mengapa kalian tidak datang untuk menyelamatkan kami?" Mendengar hal itu, Zapar maupun Yuna mematung, mereka bingung harus menjawab apa, karena mereka tidak tahu soal p*********n iblis ke dunia Rebula atau hal-hal semacam itu, lagipula, meskipun mereka seorang malaikat, tapi mereka masih anak-anak, yang tentu saja, tidak mungkin harus terlibat dalam sebuah pertempuran besar. Dan juga, mengenai mengapa para malaikat tidak datang membantu ke Rebula saat sebuah p*********n besar-besaran dari Iblis menghancurkan dunia tersebut, itu juga, mereka tidak mengetahuinya. "Emm..," Yuna akhirnya mencoba untuk angkat suara. "Hill, begini, kami tidak tahu alasan mengapa bangsa kami tidak datang membantu ke dunia Rebula saat pasukan Iblis menyerang bangsa kalian karena itu sebenarnya bukan tugas kami, dan juga, walaupun kami seorang malaikat, tapi kami belum sepenuhnya menjadi seorang malaikat sesungguhnya seperti yang kau pikirkan. Kami masih... belum matang. Kami masih harus dididik dan dilatih oleh malaikat-malaikat dewasa agar kami bisa menjadi malaikat yang sesungguhnya." Tidak mau diam saja, Zapar pun ikut bersuara, "Apa yang sahabatku bilang, itu memang benar! Aku minta maaf! Mewakili bangsa malaikat! Karena kami saat itu, tidak datang membantu kalian! Aku tidak tahu sedang apa para malaikat dewasa sialan itu saat kalian diserang oleh pasukan Iblis! Tapi aku berjanji! Jika aku sudah menjadi seorang malaikat sesungguhnya, aku akan datang dan melindungi kalian, Bangsa Elf, dari serangan Iblis!" Tertegun mendengar ucapan Yuna dan Zapar, Hill Yustard mengembangkan bibirnya sedikit, tersenyum hangat. "Lalu, jika kalian belum menjadi malaikat sungguhan, mengapa kalian bisa datang kemari sekarang?" Hill sedikit tertawa saat mengatakannya. "Ini masalah yang berbeda! Kawan!" Zapar menanggapi pertanyaan itu dengan semangat. "Aku dan Yun tersesat ke dunia ini! Kawan!" "Tersesat?" Hill tercengang. "Bukankah jika hanya sekedar tersesat, kalian tidak mungkin sampai sejauh ini kan? Hingga memasuki ke dunia yang berbeda?" "Sebenarnya," Yuna langsung membalas pertanyaan itu dengan suara yang dingin. "Kami ingin menyelamatkan sahabat kami, yang katanya dilenyapkan dari Surga." Terkejut, Hill segera bertanya lagi, "Dilenyapkan dari Surga?" ulang Hill dengan nada yang berat. "Tapi kenapa? Apakah sahabatmu melakukan sebuah kesalahan yang tidak termaafkan sampai dilenyapkan dari Surga!?" "Aku tidak tahu detailnya," kata Yuna, dengan beranjak bangun dari kolam air hangat itu untuk kembali memakai pakaiannya. "Karena kami menyelamatkannya hanya dari sebuah firasat saja, dan tanpa persiapan apa pun, kami pun secara nekat masuk ke dalam lubang para pendosa--tempat para malaikat dilenyapkan--untuk menemukannya. Dan saat kami masuk, tiba-tiba saja, aku dan Zapar dikirim ke dunia ini." "Oh, jadi begitu," Raut wajah Hill jadi sedikit b*******h dari sebelumnya. "Itu artinya, mungkin saja sahabat kalian juga dikirim ke dunia ini!" "Kami harap juga begitu," ucap Yuna setelah selesai berpakaian kembali dan berjalan menghampiri Hill Yustard yang sedang duduk menyenderkan punggung ke dinding gua bersama Zapar. "Jadi, untuk saat ini, tujuan kami cuma satu, yaitu, mencari keberadaannya!" Yuna pun ikut duduk bersama mereka. "Ya!" Zapar bersorak. "Aku dan Yun! Pasti akan membawa kembali Raiga ke Surga! Dan menjelaskan kepada seluruh malaikat bahwa sahabatku tidak bersalah!" Kedua mata Hill Yustard bersinar-sinar melihat semangat yang ditunjukkan oleh Zapar dan Yuna melalui jiwanya, membuat dia terkagum-kagum pada dua malaikat muda tersebut. "Jadi, namanya Raiga, ya?" Hill tersenyum lebar. "Kalau begitu, izinkan aku untuk ikut membantu kalian dalam mencari malaikat yang bernama Raiga! Sahabat kalian!" Yuna dan Zapar tersenyum senang mendengarnya. *** Di dunia Iblis. Chogo sedang melompati atap tiap gedung demi mengejar tuannya yang diculik oleh sekelebat bayangan hitam yang sebelumnya jatuh dari langit menimpa pertokoan. Bayangan hitam itu, entah kenapa, melesat semakin jauh saat Chogo mengencangkan kecepatan lompatannya. Sampai akhirnya, bayangan hitam itu menembus awan di langit, membuat Chogo tidak bisa menemukan keberadaannya. Alhasil, dengan amarah yang masih membara, dia terpaksa berhenti di atap salah satu gedung yang baru dicapainya. Dia kesal, kedua tangannya dikepalkan, urat-urat kening, leher, dan tangannya menonjol, saking jengkelnya. "b******k! b******k! b******k! b******k! b******k! b******k! b******k! b******k! BRENGSEEEEK!" Chogo berteriak-teriak kencang di sana, membuat para penghuni gedung sebelah memandanginya dari jendela masing-masing dengan tatapan sinis. Karena teriakan Chogo mengganggu ketenangan mereka. Merasa diperhatikan oleh ratusan pasang mata, Chogo pun menoleh ke para penghuni yang masih memandanginya dengan sinis, dia jadi semakin marah. "BERHENTI MEMANDANGIKU ATAU KUBUNUH KALIAN SEMUA! b******k!" Sementara itu, saat ini, Raiga sedang ada digendongan seseorang yang merupakan bayangan hitam yang dilihat Chogo. Dia terkejut melihat orang yang menggendongnya ternyata bisa terbang hingga melewati awan putih yang luas, padahal kelihatannya, orang itu tidak punya satupun sebuah sayap. "Hehehehe! Akhirnya kau kudapatkan juga, Kuruga Raiga Bolton! Sesuai ambisiku, aku tidak akan gagal lagi seperti kemarin! Dan lihat? Aku berhasil membawamu dengan mudah! Hehehehe! Ini benar-benar sebuah keberuntungan! Aku suka ini!" Orang yang membawa Raiga terkekeh-kekeh mengerikan, membuat malaikat pemalas itu sedikit kesal. "Mengapa kau menculikku?" tanya Raiga dengan mata yang sayu. Mereka masih sedang terbang di atas awan, menuju tempat yang tidak diketahui Raiga. Mendengar pemuda yang dibawanya berbicara, orang itu menyeringai, "Menurutmu, kenapa ya aku sampai menculikmu, Kuruga Raiga Bolton? Ayo, mari kita bermain tebak-tebakan, aku yakin, kau bisa menebaknya dengan mudah! Hehehe!" "Hah?" Bibir Raiga cemberut. "Jangan bodoh. Aku tidak mungkin bisa menebak pikiran orang berwajah jelek sepertimu." Dihina oleh Raiga, seringaiannya malah semakin lebar dan mengerikan, sampai menampilkan gigi-giginya yang tajam dan terlihat beracun. "Oho? Jangan begitu, aku tahu, otakmu itu sangat pandai, Kuruga Raiga Bolton. Kau tidak mungkin bisa membodohiku. Jadi ayo, tebaklah, mengapa aku repot-repot menculikmu dari hadapan teman perempuanmu tadi?" "Apa jangan-jangan," tebak Raiga dengan jijik. "Kau jatuh cinta padaku?" "Kenapa kau mengikutiku?" Melios memasang wajah kesal, dia tidak suka dibuntuti oleh orang lain, karena itu membuatnya tidak nyaman, apalagi sekarang, orang yang membuntutinya adalah seorang lelaki populer di sekolahnya, yaitu Norman Bravery, dan semua orang tahu namanya. "Memangnya siapa yang mengikutimu? Aku hanya kebetulan berjalan ke arah yang sama denganmu saja, bukankah itu wajar?" Norman menyunggingkan senyuman ramahnya pada Melios, berharap lelaki pirang itu percaya pada ucapannya. "Kau pikir aku tidak tahu? Asal kau tahu saja, aku bukan orang bodoh yang bisa dibohongi oleh tipuan payah begitu!" Tidak peduli bahwa lawan bicaranya itu merupakan orang yang sangat populer, Melios membentak Norman dengan nada yang menggeram, membuat lelaki tampan berambut cokelat itu menaikan kedua alisnya, terkejut. Bahkan beberapa siswa yang lewat pun mendadak menolehkan perhatiannya pada Melios yang sedang membentak Norman, membuat suasana jadi semakin canggung. "Raiga," Tiba-tiba Norman menyebut sebuah nama yang membuat Melios dan beberapa siswa yang mendengarnya terbelalak. "Apakah dia yang katanya seorang Malaikat Pendendam? Apakah aku benar?" Menyebut nama orang yang sudah tidak ada di Surga adalah sesuatu yang tidak sopan, Melios membara. "Untuk apa... kau menyebut nama orang itu di depanku?" Norman Bravery tersenyum. "Jadi benar, ya? Namanya Raiga?" Lalu, Norman mendekatkan mulutnya ke kuping Melios, membisikkan sesuatu. "Aku pikir sebaiknya kita membicarakkan ini di ruang yang sepi, kau lihat? Di sini banyak orang yang akan mendengar kita, jadi bagaimana kalau--" "Aku tidak mau menghabiskan waktuku dengan orang aneh sepertimu." Melios langsung buru-buru masuk ke dalam ruang perpustakaan untuk menghindari Norman yang bertingkah menyebalkan di hadapannya. Setelah masuk ke ruang perpustakaan, Melios lega dan dia pun langsung menyimpan buku-buku yang dibawanya ke rak-rak yang sesuai, lalu dia pun duduk di sebuah kursi khusus membaca, walau saat ini, dia sedang tidak membawa satu pun buku untuk dibaca, karena saat ini, dia hanya ingin istirahat dari segala hal yang membuatnya kesal, termasuk kejadian bersama Norman tadi. Itu benar-benar menjengkelkan. "Mengapa dia tiba-tiba menanyakan soal Raiga? Aku jadi agak penasaran, apakah dia--Ah mengapa aku membuang waktuku memikirkan hal bodoh seperti itu!? Sebaiknya aku--" Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh pundak Melios dengan halus. "Oh, kita bertemu lagi rupanya." Spontan, Melios memutar kepalanya ke belakang, untuk memandangi orang yang barusan bersuara di dekatnya, ternyata bukan Norman Bravery yang menyentuh pundaknya, melainkan Rey, orang yang kemarin menghajarnya sampai babak belur. "Ah--" Baru saja Melios akan berbicara, Rey langsung membekap mulut si pirang dengan telapak tangan kasarnya. "Sebaiknya kau jangan bersuara, b*****t. Aku tidak mau mendengar suara bodohmu, aku datang kemari cuma ingin mengatakan sesuatu padamu, jadi diam dan dengarkan aku," Rey pun duduk di kursi yang bersebelahan dengan Melios, lalu dia pun menampilkan muka sangarnya yang menyeramkan. "Sepulang sekolah, aku ingin kau ikut denganku." Mendengar hal itu, Melios meringis ketakutan, firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu yang buruk menimpanya. *** Di dunia Rebula. "Badai saljunya sudah pergi, kawan!" Zapar berseru setelah dirinya keluar dari gua untuk mengecek situasi. "Kita bisa melanjutkan perjalanan! Ayo! Yun! Dan... Siapa namamu?" Yuna menepuk jidatnya. "Bagus, kau lupa pada namanya padahal kurasa diriku ini sudah memberitahukannya padamu beberapa jam yang lalu. Kau benar-benar bodoh, Zapar." Yuna pun bangun dari posisi duduknya dan berjalan mendatangi Zapar. "Ah, kau benar, badainya sudah tidak ada." ucap Yuna saat dirinya memandangi langit yang cerah setelah keluar dari gua. Hill Yustard pun ikut keluar dari gua dan bergabung bersama mereka, berdiri menikmati pemandangan yang tersajikan di matanya. "Jahat sekali kau, sampai melupakan namaku, Zapar! Hehehe!" Lalu, dia menarik udara dingin ke hidungnya dan menghembuskannya secara perlahan. Dan mendadak, dia melakukan sesuatu yang mengejutkan. "HILL YUSTARD! ITULAH NAMAKUUUU! PASTIKAN KAU MENGINGATNYA KALI INI! ZAPAAAAAAAAR!" Lelaki elf itu sengaja berteriak kencang, agar suaranya menggema, memantul-mantul di alam. Yuna dan Zapar tertawa terbahak-bahak mendengar teriakan tersebut. "Jadi, kau yakin ingin ikut bergabung bersama kami untuk mencari Raiga, Hill?" tanya Yuna pada Hill setelah dia puas tertawa. "Apakah aku perlu berteriak lagi?" Paham maksud dari ucapan Hill Yustard, Yuna pun terkikik. Dan setelah itu, Yuna dan Zapar mengaktifkan sayapnya masing-masing. "Baiklah! Pertama-tama kita akan mencarinya kemana, Yun!?" Zapar mendadak bertanya pada Yuna, membuat gadis itu jadi bingung. "Zapar, kalau kau bertanya begitu, aku jadi tidak tahu harus menjawab apa." "Bagaimana kalau kita ke Desa Kronic dulu?" Hill angkat suara, membuat Yuna dan Zapar memperhatikannya. "Sekalian kalian juga makan dan beristirahat di rumahku, aku tahu kalian pasti sudah lapar dan lelah, jadi, kita bisa melanjutkan pencarian lagi dalam keadaan tubuh yang sempurna? Bagaimana?" Mendengar tawaran yang dikemukakan oleh Hill Yustard, Yuna dan Zapar saling menatap satu sama lain sampai akhirnya mereka pun sepakat untuk menerima tawaran tersebut. Dan mereka pun langsung mengepakkan sayapnya untuk pergi ke Desa Kronic, kampung halamannya Hill Yustard. Hanya memakan waktu sepuluh menit untuk sampai ke desa Kronic, dan ternyata, letak desa tersebut berada di dalam pohon raksasa, membuat Yuna dan Zapar tersentak. Jadi, setiap rumah dari penduduk di sana, posisinya di antara batang yang menjulang, di sana akan terlihat ribuan pintu yang merupakan rumah dari penduduk desa Kronic. "Wow, keren sekali! Aku baru pertama kalinya melihat sebuah pohon dijadikan sebagai sebuah desa! Benar-benar keren! Kawan!" Zapar terperangah saat sampai di depan pintu rumah Hill, pandangannya masih takjub pada ribuan pintu yang tercetak di sekitar batang pohon. Yuna pun ikut terkagum-kagum, matanya bahkan sampai melotot. "Hey Hill, aku jadi penasaran, siapa yang mencetuskan ide gila seperti ini? Maksudku, tidak ada orang di bangsa kami yang kepikiran menjadikan sebuah pohon menjadi sebuah tempat tinggal ribuan orang, ini sangat gila!" "Sudah-sudah, jangan terlalu dipikirkan, mari kita masuk!" Hill terkekeh-kekeh melihat Yuna dan Zapar heboh pada kondisi desa Kronic. "Bahkan makanannya pun lezat! Kawan!" Zapar berseru saat dirinya menyantap makanan yang disiapkan oleh Hill Yustard, Yuna yang ada di sampingnya hanya menganggukkan kepala, setuju pada ucapan sahabatnya. "Kalian terlalu berlebihan, ehehe!" jawab Hill Yustard dengan menggaruk-garukkan belakang kepalanya yang tidak gatal di depan Zapar dan Yuna yang sedang makan. "Tolong dihabiskan ya, aku bakal marah jika makanannya tersisa, hehe!" "Mengapa kau tidak ikut makan bersama kami, Hill?" Yuna terheran-heran melihat Hill yang hanya berdiri memandangi mereka yang sedang makan. "Hanya karena kau yang membuatnya, bukan berarti kau tidak memakannya, kan?" "Ayo makan bersama kami, kawan!" Zapar dengan cepat mengambilkan piring kosong dan memberikannya pada Hill agar lelaki elf itu mau makan bersama mereka. "Kalian ini rupanya suka memaksa orang lain, ya? Hehehe!" Dan akhirnya, Hill Yustard pun ikut duduk di kursi untuk makan di meja yang sama dengan mereka. TOK! TOK! TOK! "HILL! HILL! APAKAH KAU ADA DI DALAM!?" Baru saja Hill akan mengambil beberapa lauk untuk ditaruh ke piringnya, sebuah gedoran pintu dan suara seseorang yang berseru-seru dari luar membuat lelaki elf itu meninggalkan makanannya dan berlari untuk membuka pintu. "Syukurlah kau ada di dalam! Begini, ada berita gawat! Hill! Pasukan Iblis! Pasukan Iblis datang ke Desa Kronic untuk mencarimu!" Seketika, Hill Yustard mematung mendengarnya. *** Sementara itu, di dunia Iblis. "Apa jangan-jangan," tebak Raiga dengan jijik. "Kau jatuh cinta padaku?" Mendengar tebakan itu, orang misterius yang menggendong Raiga tertawa dengan mengerikan. "Hahahaha! Kau memang jenius! Kuruga Raiga Bolton! Tidak salah aku mengincar orang sepertimu! Kau sangat menarik! Hehehehe!" "Hah?" Raiga mendelikkan matanya. "Jadi kau memang jatuh cinta padaku?" Orang misterius itu menyeringai, "Menurutmu bagaimana?" Dia menunjukkan seringaian yang dipenuhi aroma jahat yang busuk. "Menurutku," jawab Raiga dengan wajah lesu. "Kau tidak jatuh cinta padaku, melainkan, kau ingin memanfaatkanku untuk sesuatu yang tidak bisa kubayangkan." "Oho? Seperti yang diharapkan dari Sang Malaikat Pendendam, tebakanmu sangat tepat!" Orang misterius itu terlihat senang mendengar jawaban Raiga. "Sepertinya kita sudah sampai, obrolan ini akan kita lanjutkan lagi, Raiga. Untuk sekarang, kau harus bersiap-siap. Hehehehe!" Kemudian, orang itu mendaratkan diri ke depan sebuah gerbang besar yang di dalamnya terdapat sebuah bangunan mirip kastil berhantu. Raiga pun dilepaskan dari gendongan orang itu dengan lembut, dan malaikat pemalas itu terheran-heran mengapa dia diturunkan di tempat seperti ini. "Hey?" tanya Raiga pada orang berjubah hitam yang ada di sebelahnya. "Mengapa kau membawaku kesini? Dan mengapa kau tahu kalau aku ini adalah malaikat pendendam?" "Aku akan jelaskan semuanya padamu di dalam, untuk sekarang, kau siapkan dirimu, karena akan ada sesuatu yang mengejutkan untukmu, Kuruga Raiga Bolton. Hehehehe!" Malas untuk bertanya lagi, Raiga pun pasrah untuk mengikuti kemauan orang tinggi berjubah hitam yang ada di sampingnya, dia pun bersama orang itu masuk ke dalam gerbang dan berjalan menuju kastil tersebut. "WIIIIIII! Lihat? Jasper membawa seorang tamu untuk kita! Aku suka! Aku suka! Hihihihihi!" Saat Raiga masuk ke dalam kastil, dia disambut oleh beberapa orang yang sedang berkumpul di sebuah sofa panjang, yang tadi bersuara adalah sosok gadis mungil berambut merah muda yang mukanya sangat pucat, ia mengenakan gaun putih yang dipenuhi bercak darah. "Oh, kebetulan sekali, syukurlah kalian semua sedang berkumpul, seperti yang kalian lihat, aku, Jasper Dragoniz, Sang Iblis Naga, membawa tamu yang menarik untuk kalian," Ternyata nama orang misterius yang menculik Raiga adalah Jasper, dan orang itu mengusap-usap rambut malaikat pemalas yang ada di sebelahnya. "Dia adalah Kuruga Raiga Bolton, Sang Malaikat Pendendam yang sering kubicarakan, dia datang ke dunia iblis untuk bergabung bersama kita, sebagai iblis baru, hehehe!" Mendengar itu, Raiga terkejut. "Oi? Aku tidak pernah ingat ingin menjadi iblis dan bergabung bersama kelompok aneh seperti kalian, antar aku pulang, namamu Jasper, kan?" "Oho?" Jasper menyeringai. "Kau harus bergabung bersama kami, lagi pula, tidak ada tempat yang akan menerima malaikat pendendam sepertimu selain di sini, lho? Hehehe!" Dan orang-orang yang duduk di sofa ikut tertawa mendengar perkataan Jasper, mereka semua menertawakan Raiga yang terlihat sedang kesal. Padahal, Raiga sama sekali tidak sedang kesal, malah sebaliknya, dia juga sedang menyeringai jahat memandangi iblis-iblis tersebut dengan tatapan menghina. "Kalian pikir aku akan diam saja melihat iblis-iblis payah seperti kalian menertawakanku?" Tiba-tiba, Raiga melesat ke arah kumpulan iblis yang sedang duduk santai di sofa dan dia kembali lagi ke tempat berdirinya dengan membawa seorang gadis mungil yang tadi menyambutnya. "Tahu tidak? Aku bisa saja membunuhnya dalam hitungan detik, tapi jika salah satu dari kalian mau mengantarkanku pulang, aku akan mempertimbangkannya." "Hiiiii! Toloooong aku!!" Gadis mungil berambut merah muda yang kini sedang dijadikan taruhan menjerit-jerit. Namun, "Ups, bercanda," Gadis itu tersenyum pada Raiga, kemudian, DUAR! Meledakkan dirinya di dekat Raiga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN