BAB 6

4849 Kata
Setelah layar ponselku jadi merah total, sekarang aku resah harus berbuat apa. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk mengatasi hal semacam ini, bahkan Angela Ribella saja, yang merupakan seorang hacker, bisa diserang dengan mudah dan sampai pergi meminta bantuan orang lain. Tidak bisa lagi menggunakan ponselku, aku terpaksa harus mencari solusi, lalu mataku menemukan Olivia yang sedang mengobrol ria bersama teman-temannya di depan kelas. Dengan cepat, aku segera melangkahkan kakiku keluar ruangan. "Eh? Ada apa dengan mukamu, Crowder?" tanya Olivia saat dia melihatku mendatanginya dengan membawa wajah yang dipenuhi ketegangan. "Aku ingin bicara denganmu." ucapku dengan d**a yang kembang-kembis saking paniknya. "hanya berdua." Mengerti pada maksudku, orang-orang yang mengerubungi Olivia satu-persatu mulai berpamitan pada ketua kelasku dan pergi dari hadapannya. Setelahnya, aku langsung mengajak Olivia ke taman sekolah, duduk di kursi besi panjang untuk menceritakan hal yang saat ini terjadi padaku, dan memperlihatkan layar ponselku yang merah total padanya. "Astaga, kau benar, layarmu jadi merah total," kata Olivia dengan mata yang membelalak memandangi ponselku. "Apakah ini bisa diperbaiki?" "Sepertinya mustahil, karena terserang virus." "Tapi kenapa ini bisa terjadi?" tanya Olivia dengan terheran-heran. Aku menahan diri untuk tidak menjelaskan penyebabnya pada Olivia, yang kukatakan hanyalah soal layarnya yang tiba-tiba memerah dan bahwa itu tertimpa virus, karena jika kubongkar akar masalah yang sebenarnya, aku bisa membocorkan soal keberadaan organisasi rahasiaku pada ketua kelasku dan itu tidak boleh sampai terjadi. Walaupun dia sudah menjadi salah satu orang yang dekat denganku atau bahkan telah menjadi orang yang sangat kupercaya, aku tetap tidak boleh membongkar soal eksistensi organisasi rahasiaku. Akhirnya, aku hanya menjawab pertanyaan ketua kelasku dengan mengedikkan bahu. "Entahlah." "Kau boleh meminjam ponselku kalau kau punya urusan penting dengan orang lain, Crowder." Mendengar tawaran itu, dengan semangat aku menimpalinya. "Kalau kau tidak keberatan, aku ingin meminjamnya sekarang." "Eh?" Olivia tercekat lalu merespon. "Baik, tunggu sebentar... ah, ini dia, silakan." Aku langsung mengambil ponsel ketua kelasku dari tangannya dan segera menyelesaikan urusanku yakni mengirim email pada seluruh anggota organisasiku untuk memberikan pengumuman penting bahwa sepulang sekolah kami harus berkumpul untuk membahas hal yang baru saja terjadi. Setelah terkirim, aku langsung menghapus email-email itu sampai ke bagian sampahnya, agar Olivia tidak bisa memeriksanya. Alasan kenapa aku memilih untuk mengirim email, karena aku yakin tidak ada gunanya menghubungi mereka lewat SMS atau telepon karena ponsel mereka pasti juga sedang diserang virus. Sedangkan jika aku menghubungi mereka lewat email, mereka pasti bisa mengaksesnya dari alat lain selama masih terkait dengan akun yang sama. "Terima kasih." Aku menyerahkan kembali ponsel itu pada Olivia dan gadis berambut hitam panjang itu hanya tersenyum tipis saat menerimanya. Ketika aku hendak berdiri dari kursi untuk kembali ke kelas, Olivia tiba-tiba memekik. "Crowder!" Aku menoleh padanya dan terheran. "Apa?" "Sudah normal!" ucap Olivia dengan telunjuk kanannya menunjuk ke arah ponselku yang sedang kupegang di tangan. "Layar ponselmu sudah normal!" Mendengar itu, aku langsung mengangkat ponselku untuk memeriksanya dan ternyata benar, layarnya sudah pulih, tidak lagi merah seperti sebelumnya. Aku tidak tahu harus senang atau heran melihat itu, tapi setidaknya sekarang aku bisa menghubungi organisasiku dengan mudah, karena aku berniat sekali lagi memberi pengumuman jika mereka tidak sempat membuka email dariku. Namun, saat aku baru saja kembali merebahkan pantatku ke kursi taman, aku dan Olivia terkejut saat sebuah video tiba-tiba terputar secara otomatis di ponselku. "Video apa itu, Crowder?" tanya Olivia penasaran. Aku menggelengkan kepala. "Rasanya aku belum pernah menyimpan video semacam ini di ponselku." Karena tidak paham pada apa yang terjadi pada ponselku sekarang, aku dan Olivia langsung menonton dengan serius saat videonya mulai menunjukkan sesuatu di ponselku. Pemandangannya tidak jelas, orang yang memegang video sedang banyak bergerak, tapi suara tawa dari beberapa remaja laki-laki terdengar di sana. "Hey Crowder, jika kau sedang merekam video, tanganmu jangan terlalu banyak bergerak." sindir Olivia dengan terkikik-kikik. "Sudah kubilang, aku belum pernah menyimpannya apalagi merekam video aneh ini." Aku benar-benar jengkel mendengar sindiran ketua kelasku. Kemudian kami kembali fokus pada video tersebut. Sekarang sudah mulai terlihat dengan jelas, aku melihat seorang bocah remaja laki-laki yang mengenakan seragam SMP sedang duduk di sebuah kursi, kepalanya tertunduk, dengan tangannya terikat ke bagian belakang kursi. Dia berada di ruangan yang kosong, dan sekitar 4 remaja laki-laki lain ada di sekitarnya, termasuk yang sedang memegang kamera. Mereka semua berdiri, sedang tertawa bahagia melihat kondisi dari si bocah yang sedang terikat di kursi. Kemudian, salah satu dari mereka mendekati bocah itu dan mengangkat kepalanya yang tertunduk untuk tegak, menampakkan wajahnya ke kamera. Olivia terkesiap saat mengetahui bahwa wajah dari bocah yang duduk di kursi, ternyata babak belur penuh bekas hajaran yang membiru dan membengkak, juga darah segar mengalir di hidung dan bibir bocah tersebut. "Apa-apaan ini!?" Olivia berseru di sampingku dengan napasnya yang menderu, dia sepertinya kaget saat menyadari bahwa video yang sedang ditontonnya menampilkan pemandangan yang mengerikan. Sedangkan aku hanya duduk membeku dalam keheningan, aku mulai ingat bahwa video yang kami tonton sekarang adalah video yang pernah kurekam saat masih SMP. Orang yang memegang kamera adalah diriku sendiri, dan aku ingat sekali setiap kejadian yang ada di video itu. Tapi seingatku aku sudah menghapus video itu dan belum pernah membagikannya pada siapapun, tapi kenapa sekarang bisa muncul kembali dan bahkan terputar otomatis di ponselku? "B-Bagaimana kalau kita sudahi saja, ini mulai aneh." Keningku jadi berkeringat saking gelisahnya. "Tidak-tidak! Aku ingin menontonnya sampai habis!" Sialnya, ketua kelasku menolak saranku mentah-mentah. Aku menggigit bibir bawahku saat adegan dari video itu mulai ke bagian di mana orang yang memegang kamera menunjukkan wajahnya ke layar dan ikut tertawa terbahak-bahak seperti kawan-kawannya. Itu sangat menjijikan. Aku bahkan ingin muntah melihat wajahku ada di sana. Aku melirik sedikit ke arah Olivia dan kaget saat matanya sedang membelalak lebar ketika videonya menampilkan wajahku dengan begitu jelas. "Crowder... apa maksudnya ini?" Aku berusaha untuk tetap tenang. "Seperti yang kau lihat, itu aku." Olivia menoleh padaku dan memandangi mukaku dengan sorotan mata yang benar-benar tidak percaya terhadap apa yang baru saja aku katakan. "Tapi kenapa kau bisa ada di sana, tertawa dan membiarkan anak itu menderita sendirian!?" Aku hanya terdiam, tidak berniat untuk membalas atau menjelaskan apapun karena itu tidak perlu. Mungkin ini sudah waktunya karma datang ke dalam hidupku. Orang bodoh sepertiku pantas menerima balasan dari apa yang telah kuperbuat pada orang lain. "Hey! Jawab pertanyaanku, Crowder!" Olivia mencengkram dua pundakku dan menggoyang-goyangkan badanku, matanya melotot, ia memaksaku untuk berbicara. Namun, aku tetap menutup mulutku rapat-rapat. Sampai akhirnya, air mata Olivia berlinang dari kedua pipinya dan dengan lembut dia kembali bersuara. "K-Kenapa... Kenapa kau diam saja, Crowder." Aku langsung mematikan video itu dan memasukan ponselku ke kantung celana. Lalu aku beranjak bangun dari kursi taman, dan sebelum aku benar-benar melangkahkan kakiku untuk pergi meninggalkan Olivia, aku berkata dengan suara yang pelan. "Tidak ada yang perlu kubicarakan karena semua sudah jelas. b******n itu memang aku. Itu adalah wujud diriku saat SMP. Sekarang kau sudah mengetahui masa laluku. Keputusan selanjutnya ada di tangannmu, tetap berteman denganku atau tidak, itu terserah padamu. Apapun pilihanmu, tidak akan berpengaruh pada apapun. Aku akan tetap membantu masalahmu dan kau boleh menjauhiku setelah itu, Olivia." Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi meninggalkannya. Sepulang sekolah, aku langsung bergegas ke ruang kelas kosong di belakang sekolah, tempat rutin organisasiku berkumpul, dan aku senang saat menemukan mereka semua sudah hadir di sana, itu artinya pesan yang kukirim telah diterima dengan baik. "Oke, sekarang kita langsung saja ke intinya." ucapku tanpa basa-basi saat aku baru saja masuk ke ruangan. "Seperti yang kalian tahu," ucapku membuka pidato di depan para anggotaku yang sedang berdiri kompak memandangiku. "Kita sudah menemukan identitas dari pelaku yang meneror Olivia, dan aku sangat berterima kasih pada upaya Angela Ribella yang telah menerobos sistem dan mendapatkan data-data penting tersebut untuk kita. Tanpa jasanya, kita tidak akan sampai sejauh ini." Secara serentak, seluruh anggotaku bertepuk tangan, Angela Ribella yang juga hadir di antara mereka, juga ikut bertepuk tangan dan tersenyum simpul, dia terlihat bangga terhadap kontribusinya yang sangat besar pada kasus pertama kami. Ketika gemuruh tepuk tangan mulai reda, aku kembali melanjutkan pidatoku. "Namun, setiap langkah kita akan selalu mendatangkan resiko, dan setiap resiko bisa mengorbankan banyak hal. Itu akan menjadi makanan kita setiap hari, selama kita masih punya keberanian untuk menyelami berbagai kasus yang akan datang di organisasi ini," Aku ambil napas sejenak. "Contohnya seperti siang tadi, kita dihadapkan dengan sebuah resiko yang cukup mengerikan setelah kita mendapatkan informasi terkait pelaku teror dari kasus Olivia, di mana layar laptop Ribella, dan layar ponsel kita semua berubah menjadi merah, semerah darah." Keheningan menyertai ruangan tempat kami berkumpul, entah kenapa semua anggotaku jadi tampak begitu serius dari biasanya, wajah-wajah mereka jelas menunjukkan bahwa mereka ingin segera membereskan kasus Olivia agar segala mimpi buruk yang sedang terjadi bisa cepat usai. Aku sebenarnya ingin sekali membahas video yang terputar otomatis di ponselku pada mereka, mungkin saja setiap anggotaku juga mengalami hal serupa dan bisa saja setiap videonya memutar tayangan yang berbeda-beda menyesuaikan siapa pengguna ponsel tersebut. Namun jika aku membahasnya, secara tidak langsung aku akan mengekspos masa lalu kelamku dan tindakan seperti itu bagiku sama saja seperti bunuh diri. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka saat mengetahui bahwa pendiri organisasi ini, yang memiliki tujuan mulia untuk melenyapkan segala perundungan, penindasan, dan kekerasan di sekolah, ternyata dulunya juga sering menyakiti, menyiksa, dan menyengsarakan orang lain. Jadi aku putuskan untuk tidak membahasnya dan fokus pada topik-topik yang lain. "Alasanku mengumpulkan kalian semua hari ini," lanjutku dengan menatap setiap muka anggotaku dengan tajam. "untuk mendiskusikan apa arti dari layar merah yang kita terima tadi siang dan langkah apa yang akan kita lakukan selanjutnya untuk menangkap Bobby si pelaku teror. Aku minta tanggapan kalian sekarang." Baru saja aku mengatakan hal itu, Cherry Rosemary, si gadis mungil berambut merah muda yang dikucir dua, langsung memekik. "Ini mungkin bukan tanggapan atau pendapat, tapi aku ingin bertanya sesuatu, bolehkah?" tanyanya dengan memandang mukaku dengan tegang. Aku menganggukkan kepala sebagai respon, lalu Cherry melanjutkan perkataannya. "Selain layar ponsel yang jadi memerah, apakah kalian juga menerima sebuah pesan video?" "Pesan video?" Nicholas Smith mengulangi ucapan Cherry, sedikit terheran dengan itu. "Ya! Pesan video!" Cherry berseru, meyakinkan Nicholas Smith. "Mungkin cuma aku saja yang mendapatkannya, tapi pesan video yang diterimaku cukup membuatku marah. Aku tidak tahu siapa pelaku yang mengirimkannya, karena video itu tiba-tiba terputar di ponselku dan langsung menghilang begitu saja setelah kutonton sampai selesai, tapi itu cukup membuatku ketakutan, karena siapapun orangnya, dia berhasil menemukan rahasiaku yang paling tidak ingin diketahui oleh orang lain! Itu seperti pesan isyarat agar aku tidak terlibat ke dalam sesuatu yang bukan urusanku dan jika aku tidak mematuhinya, rahasiaku bisa terungkap ke publik!" "Sebenarnya, aku juga mendapatkannya," Kini yang menimpali omongan Cherry adalah Sebastian Emanuel, si lelaki berambut pirang yang selalu mengenakan jas hitam. Kali ini wajahnya tampak begitu pucat, bibirnya juga bergetar saat dia sedang berbicara. "Aku yakin itu berasal dari Bobby, mantan pacarnya Olivia, dia sepertinya lebih ahli dari Angela dalam meretas data-data orang lain. Aku juga sempat berpikir, mungkin itu sama seperti sebuah pesan bahwa jika aku tetap melanjutkan ini, rahasiaku akan terbongkar sampai ke akar-akarnya." Angela Ribella langsung menyahut. "Tapi kalian tidak langsung menyerah begitu saja, kan?" Mendengar itu, Sebastian menoleh ke muka Angela dengan tatapan yang sangat dalam. "Tentu saja tidak, aku masih ingin menyelesaikan kasus ini bersama kalian, hanya saja...," Sebastian menghela napasnya dengan memandang lemas ke lantai. "Aku resah pada apa yang akan terjadi jika semua orang mengetahui sesuatu yang seharusnya mereka tidak ketahui tentangku." "Aku mengerti perasaanmu, Sebastian," Tidak kusangka, Violetta Beganville, untuk pertama kalinya berbicara di pertemuan ini, tidak lagi hanya sebatas menjadi pendengar. Gadis berambut ungu itu terlihat berusaha keras menyaringkan suaranya agar bisa terdengar oleh semua orang. "Aku juga menerima pesan video itu dan cukup membuatku kepikiran sampai sekarang, aku takut semua orang menjauhiku kalau mereka tahu aku ini ternyata..." Violetta tidak meneruskan ucapannya dan hanya menundukkan kepalanya dengan murung. "Hey! Hey! Hey!" Kami semua kaget saat Joe Johanes, si lelaki berambut hijau jabrik, tiba-tiba saja berteriak keras di ruangan. "Ayolah, Bro! Jangan seperti ini! Aku tidak suka suasana tegang dan sendu begini! Aku juga sama seperti kalian, menerima sebuah video berisi rahasiaku yang cukup membuatku cemas, tapi kalaupun aku mematuhi peringatannya, itu tidak menjamin rahasiaku akan tetap aman, karena dia bisa gunakan hal itu untuk terus mengancamku selamanya! Apa kalian mau diperbudak oleh orang itu seumur hidup, tentu tidak, kan, bro!?" Aku tersenyum miring. Apa yang diucapkan oleh Joe Johanes cukup masuk akal, karena sekali rahasia kita terbongkar, maka tinggal menunggu waktu saja sampai semuanya terungkap ke publik. Tidak ada gunanya menuruti segala ancaman yang dibuat oleh si pelaku, karena itu hanya buang-buang waktu. Aku tidak menyangka siswa yang berasal dari kelas E bisa punya pendapat yang begitu cemerlang, dan berkat Joe Johanes, suasanapun jadi cair dan segala keresahan di antara anggotaku, perlahan-lahan mulai lenyap. "Aku setuju pada omonganmu, Joe," Vino Evonic, si lelaki berambut biru yang kikuk mulai memberanikan diri untuk menyuarakan pendapatnya. "Percuma saja mematuhi segala kemauan dari pelaku yang mengirimkan video-video itu, karena cepat atau lambat, dia pasti akan membongkar rahasia-rahasia kita. Daripada takut pada ancaman-ancaman semacam itu, kupikir lebih baik kita fokus pada bagaimana cara kita menangkap Bobby si teroris itu, aku yakin dia-lah dalang dibalik semua ini." Perkembangan yang menarik. Aku suka pada cara setiap anggotaku berpendapat, mereka semua bisa menyalurkan segala keresahan mereka menjadi sebuah solusi, dan Vino Evonic punya peran yang cukup bagus karena dia telah membuat rekan-rekannya ikut memikirkan bagaimana cara memecahkan masalah ini, alih-alih takut pada ancaman-ancaman yang tidak berdasar. Kupikir dia cuma seorang pecundang yang kikuk, tapi ternyata penilaianku salah. "Ya, aku juga sependapat denganmu, Vino," Eleanor Romanes, si gadis berambut merah, juga ikut berbicara setelah dari tadi hanya diam menyimak. "Hanya saja, kita berada di titik buntu. Kita belum punya solusi yang matang." "Persetan dengan solusi yang matang!" Semua tersentak saat Barbara Salvador memukul tembok ruangan sampai retak, kelihatannya hari ini si gadis tomboy sedang sangat murka. "Kenapa kita tidak pergi saja ke tempat tinggal Si Bobby b******k itu dan menghajarnya sampai mati!? Aku muak pada semua omong kosong kalian!" "Tapi itu terlalu beresiko," timpal Alexander Coldish, si lelaki berambut abu-abu berkulit gelap dan berbadan tinggi, menegur Barbara Salvador dengan suara yang pelan tapi tegas. "Lawan kita adalah pria dewasa, kita harus berhati-hati." "Memang kenapa jika dia pria dewasa, hah!?" Sial. Amarah Barbara Salvador jadi semakin meledak saat Alexander Coldish mengkritiknya, si gadis tomboy langsung mendatangi lelaki tinggi itu dengan mata yang melotot lebar. Tingkahnya saat ini mirip seperti hewan buas, aku benci situasi panas seperti ini. "Salvador, kau tidak perlu melampiaskan emosimu padanya, dia hanya berpendapat, bukan mengajakmu bertarung." tegasku pada Barbara Salvador membuat kepala gadis tomboy itu langsung mengarah padaku. "Ah ya! Ini dia! Bos dari organisasi sialan ini! Yang tidak becus mencari solusi!" Sekarang Barbara mengalihkan amarahnya padaku, ia mulai mendekatiku dengan menyeringai, tampak seperti serigala yang bersiap-siap untuk menerjang buruannya. "Dengar, Paul Crowder b******k! Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi kau di mataku cuma cecunguk yang—" "Ada ribut-ribut apa ini?" Tiba-tiba omongan Barbara Salvador terpotong saat suara perempuan asing terdengar di depan pintu ruangan tempat kami berkumpul, alhasil setiap mata langsung terpusat ke sumber suara, dan di sanalah aku dan para anggotaku menemukan sesosok gadis ramping berambut cokelat sebahu yang sedang berdiri sambil melipatkan lengannya di d**a, senyuman kecil terpahat di wajahnya. "Siapa kau!?" tanya Barbara Salvador dengan menggeram, tampak sedang menahan amarahnya sebab omongannya telah disela tanpa permisi oleh gadis asing yang tiba-tiba muncul di depan pintu ruangan tempat kami berkumpul. "Chelsea Beverly, teman sekelasku," Nicholas Smith langsung menjawab pertanyaan Barbara dengan dingin, lalu perhatian si lelaki berkaca mata itu kembali mengarah pada gadis tersebut. "Tapi apa yang sedang kau lakukan di sini, Chelsea?" "Bukankah seharusnya aku yang bertanya begitu? Sedang apa kalian berkumpul di ruangan usang, kotor dan berantakan seperti ini? Sedang melakukan ritual pemanggilan setan, kah? Atau jangan-jangan kalian sedang merundingkan sesuatu yang berkaitan dengan...," Senyuman Chelsea Beverly jadi semakin lebar. "... gadis yang bernama Olivia Memento?" Aku dan para anggotaku tersentak saat Chelsea Beverly mengetahui persis apa yang sedang kami bahas di sini, itu membuatku terheran, sebenarnya apa maksud dari kedatangan gadis aneh ini? Selain itu, Nicholas Smith bilang, gadis itu adalah teman sekelasnya, itu artinya dia juga berasal dari kelas A? Aku masih tidak mengerti, tapi aku yakin ada sesuatu yang disembunyikan dari gadis yang bernama Chelsea Beverly ini. "Kau menguping pembicaraan kami?" Sebastian Emanuel bertanya pada Chelsea Beverly yang juga merupakan teman sekelasnya. "Sejak kapan kau ada di sini? Aku tidak menyadari keberadaanmu." "Tentu saja kau tidak menyadariku, Sebastian, karena aku baru saja sampai. Jangan salah paham, aku tidak menguping pembicaraan kalian," jawab Chelsea Beverly dengan mengedikkan bahunya, lalu anehnya, dia jadi terkikik ria. "Setidaknya, tidak menguping secara langsung." "Tunggu, jadi maksudmu," Angela Ribella langsung menyela dengan memicingkan matanya. "Kau menguping secara tidak langsung?" Chelsea Beverly menganggukkan kepalanya, dan itu cukup membuat kami semua terkesiap. "Mungkin kalian tidak menyadarinya, tapi aku telah mendengar semua pembicaraan kalian dari awal lewat ponsel kalian masing-masing. Jangan bertanya padaku bagaimana caranya, karena itu terlalu rumit untuk dijelaskan, tapi saat ponsel kalian layarnya berubah jadi merah, itu adalah tanda benda tersebut telah menjadi alat penyadapanku." Hening seketika. Kami semua benar-benar tercengang pada apa yang baru saja diungkapkan oleh Chelsea Beverly, dia secara terang-terangan mengakui bahwa dialah dalang di balik semua masalah yang menimpa Olivia dan kami. Namun banyak hal yang masih terasa janggal dan aneh di sini, tapi aku yakin gadis itu akan segera menjelaskan segalanya pada kami. Hanya saja, aku heran kenapa dia begitu percaya diri hingga berani menampakkan diri di depan para anggotaku dan mengatakan hal-hal semacam itu, bukankah itu hanya akan merugikan dirinya sendiri? Setelah ini Chelsea Beverly sudah pasti akan diburu oleh organisasiku dan kami tidak akan diam saja sampai dia ditangkap dan mendapat balasan yang setimpal atas apa yang telah dilakukannya selama ini pada Olivia. "Baik, ini semakin membingungkan," Kepala Angela Ribella sepertinya mulai kacau saat mendengar pengakuan diri dari Chelsea Beverly. "Apa alasanmu melakukan semua itu? Yang aku tahu, Bobby-lah pelaku dari semua ini, bukti-bukti yang kudapat sangat jelas bahwa dialah satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas segala teror yang menimpa Olivia Memento. Dan kau siapa? Tiba-tiba muncul dan mengakui bahwa kau-lah pelaku yang sebenarnya?" Chelsea Beverly tertawa kecil. "Itulah kenapa hacker sepertimu tidak bisa dibandingkan dengan cracker sepertiku." "Cracker?" Angela dan yang lainnya agak tersentak mendengar sebutan aneh yang Chelsea katakan. "Biar kujelaskan sedikit, hacker adalah orang yang pandai meretas sistem, sedangkan cracker adalah orang yang ahli membobol dan merusak sistem. Sekarang paham perbedaannya? Lalu jika kau tanya alasanku kenapa meneror Olivia, penyebabnya adalah gadis jalang itu pernah mengkhianati dan menyakiti perasaan Bobby, yang sekarang telah menjadi pacarku." Aku menggertakkan gigi setelah mendengar alasannya. "Jadi semua masalah ini berawal dari konflik percintaan remaja?" sindirku dengan mendecih. "Kau pasti bercanda, kan?" "Aku tidak bercanda, Paul Crowder," balas Chelsea Beverly dengan menyebut nama lengkapku, ia menatap tajam padaku. "Lagipula apa bedanya denganmu yang mendirikan organisasi konyol seperti ini hanya untuk menebus dosa-dosa masa lalumu, karena telah merundung, menyiksa, dan menindas orang lain saat di SD dan SMP." Aku langsung membeku saat Chelsea menguak masa laluku di depan semua anggotaku. "Tunggu," Perhatian Chelsea langsung dialihkan ke wajah anggota-anggotaku yang kelihatan bingung. "Kalian sepertinya belum tahu soal masa lalu pemimpin kalian, ya? Bukankah kalian terlalu polos? Baiklah, sekarang, aku minta kalian buka ponsel masing-masing, aku sudah mengirimkan videonya." Kini sebagian besar anggotaku memandang ke arahku lekat-lekat, mungkin mereka ingin memastikan bagaimana reaksiku dalam menanggapi pernyataan dari Chelsea Beverly. Sayangnya, seperti yang kulakukan pada Olivia, aku sama sekali tidak membantahnya, aku lebih memilih untuk tidak mengatakan apapun dan itu membuat mereka keheranan. "Itu tidak benar, kan, Bro?" Joe Johanes mengernyitkan alisnya, ingin mendengar tanggapanku, dia masih tidak percaya pada apa yang dikatakan oleh Chelsea Beverly tentangku. Namun, aku tidak menanggapinya sama sekali. Alhasil, karena tidak ada tanggapan sama sekali dariku, satu-persatu dari mereka mulai membuka ponselnya, mematuhi permintaan dari Chelsea Beverly. Sekarang, aku bisa mendengar suara-suara dari setiap video yang mereka putar di ponsel masing-masing. Jelas sekali video yang mereka lihat sekarang adalah sama seperti video yang kutonton bersama Olivia tadi siang. "Bagaimana menurut kalian?" Chelsea Beverly melangkah masuk ke ruangan dengan tersenyum tipis, saat seluruh anggotaku telah mengetahui masa laluku dari cuplikan video yang ia kirim pada mereka. "Apakah orang bengis seperti Paul Crowder layak mendirikan organisasi semacam ini dan menjadi pemimpin kalian?" Sekarang giliran para anggotaku yang terdiam, mereka masih tidak percaya atas apa yang baru saja mereka lihat dan itu membuat suasana jadi sangat tegang. "Itu memang mengejutkan, tapi kurasa tidak masalah," Tiba-tiba Sebastian Emanuel menimpali perkataan Chelsea Beverly dengan nada yang begitu santai. "Kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu, sama atau bahkan lebih buruk darinya. Yang jadi masalah adalah jika dia tidak mau berubah dan masih senang melakukan hal-hal kejam seperti itu, tapi seperti yang kita lihat, Paul telah berubah. Dia tidak sama seperti dirinya di masa lalu dan kita semua harus mengampuninya." Aku cukup terkesan mendengar ucapan dari Sebastian Emanuel, dia memang tipe orang yang tidak mudah terprovokasi dan itu jelas membuat Chelsea Beverly jengkel. "Kau benar, aku setuju," Kali ini Chelsea Beverly berpura-pura sependapat dengan Sebastian Emanuel, dari gerak-geriknya, dia masih punya banyak amunisi untuk menghancurkan organisasiku. "Tapi apakah pengampunan terhadap Paul Crowder juga berlaku untuk kakak perempuanmu?" Entah kenapa, aku melihat ekspresi tenang dan damai dari wajah Sebastian Emanuel mendadak lenyap saat Chelsea Beverly mengaitkan itu dengan kakak perempuannya. Sepertinya gadis itu mengetahui rahasia yang disembunyikan oleh Sebastian Emanuel dan dia akan membocorkannya sekarang kepada kami semua. "Jangan berani-beraninya kau!" Ini adalah pertama kalinya aku melihat Sebastian Emanuel marah dan membentak seseorang. "Hanya karena dia pernah memperkosamu waktu kecil, dia masih layak mendapatkan pengampunanmu, kan?" Kami semua terbelalak mendengar hal tersebut. "b******k!" Kini Barbara Salvador maju ke depan, mendatangi Chelsea Beverly dan langsung mencengkram kerah baju dari gadis berambut cokelat itu. "Hentikan semua ini atau kau kubunuh sekarang juga!" "Oh ya?" Chelsea Beverly sama sekali tidak takut pada ancaman dari Barbara. "Itu pasti akan menimbulkan kehebohan berskala internasional saat media tahu bahwa Putri Barb dari Kerajaan Inggris yang telah lama menghilang ternyata bersembunyi di sini dan terlibat dalam sebuah pembunuhan." Lagi-lagi, kami semua terkejut pada setiap hal yang diungkapkan oleh Chelsea Beverly. Dia benar-benar mengetahui semua rahasia kami dan sepertinya akan membongkarnya satu-persatu tanpa tersisa sedikitpun. Cengkraman tangan Barbara Salvador melemas dan wajah dari gadis tomboy itu langsung pucat saat mendengar Chelsea Beverly mengungkapkan rahasia terbesarnya pada kami. Saking tertekannya, gadis tomboy itu langsung jatuh terduduk di lantai. Meski aku cukup terkejut pada fakta-fakta yang diungkapkan Chelsea soal Sebastian Emanuel yang pernah diperkosa oleh kakak perempuannya dan Barbara Salvador yang ternyata merupakan seorang putri dari Kerajaan Inggris, tapi jika ini terus dibiarkan, organisasiku akan benar-benar hancur dan bubar. Aku harus menghentikan gadis k*****t itu sebelum dia mengungkapkan rahasia-rahasia lain dari anggota-anggotaku yang tersisa. Sebastian Emanuel dan Barbara Salvador bisa kuanggap telah gugur dan tumbang atas serangan verbal yang dilancarkan oleh Chelsea dengan cara membocorkan rahasia terkelam dan paling tersembunyi dari mereka berdua. Jelas ini membuat situasi organisasiku jadi kacau balau dan tidak terkendali, aku yakin anggota-anggotaku yang lain merasa cemas dengan apa yang akan Chelsea perbuat pada mereka. Aku adalah orang pertama yang rahasianya dibocorkan oleh Chelsea Beverly, tapi aku masih bisa bersikap tenang dalam situasi ini, karena sebelumnya aku sudah dihadapkan dengan reaksi Olivia, sehingga aku tidak lagi merasa khawatir pada bagaimana tanggapan anggota-anggotaku. Nasi sudah menjadi bubur, dan rahasia pasti akan terungkap pada waktunya. Sekarang, yang aku perlu pikirkan adalah bagaimana agar gadis berambut cokelat sebahu ini tidak lagi menyingkap rahasia-rahasia lain dari sisa anggotaku. "Katakan kemauanmu yang sebenarnya hingga melakukan semua ini pada kami? Kau juga pasti punya tujuan tersembunyi, kan?" tanyaku langsung pada intinya pada gadis itu, dan sesuai keinginanku, perhatian Chelsea Beverly mulai kembali teralih padaku. Bagus. Setidaknya sekarang dia fokus padaku, dengan ini aku bisa melindungi anggota-anggotaku yang lain dari gadis b******k ini. "Bukankah sudah jelas?" Chelsea Beverly menaikan sebelah alisnya dan memiringkan kepalanya. "Aku ingin kalian tidak ikut campur pada masalah Olivia, hanya itu saja." "Dan jika kami menolak, kau akan membeberkan rahasia kami pada publik, begitu?" ucapku dengan mendecih padanya. Chelsea Beverly cuma tersenyum dan mengangguk. "Dan apakah kau sebodoh itu menganggap kami tidak bisa melakukan hal yang sama denganmu?" Mendengarnya, Chelsea Beverly agak tersentak. "Memangnya apa yang akan kalian lakukan? Merekam semua ini dengan ponsel kalian? Itu percuma saja, karena sistem ponsel kalian sudah berada di genggamanku, kalian tidak akan bisa memposting apapun tanpa seizinku." "Oh, benarkah?" Mendadak Eleanor Romanes bersuara setelah dari tadi hanya diam saja, dia sedikit tertawa saat mengeluarkan ponsel lain dari payudaranya. "Kebetulan sekali, aku membawa dua ponsel hari ini, sebetulnya ini ponsel adikku, dan kurasa sistem ponsel ini belum tersentuh olehmu" Menggertakkan gigi, Chelsea Beverly jadi sangat jengkel pada Eleanor Romanes yang ternyata membawa ponsel lain di tubuhnya. "Jangan bilang," Eleanor Romanes terkikik dan melanjutkan perkataannya. "Kau tidak pernah memikirkan tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi? Sayang sekali, padahal kau menyebut dirimu sendiri sebagai cracker, kan? Apakah itu hanya bualan semata?" "BERIKAN PONSEL ADIKMU PADAKU!" Dengan gesit, Chelsea Beverly langsung berlari untuk menerjang Eleanor Romanes agar dia bisa merebut ponsel tersebut dari tangan si gadis berambut merah. Namun sayang sekali, BUG! Eleanor Romanes ternyata punya kemampuan bela diri yang cukup tangguh, dia segera melompat dan menendang kepala Chelsea Beverly hingga gadis itu tergelimpang dan terseret ke lantai. "Sebaiknya kau pikirkan matang-matang tentang berbagai kemungkinan buruk, sebelum datang dan berurusan dengan kami, Chelsea," bisik Eleanor Romanes pada Chelsea, yang bisikannya juga terdengar sampai ke telingaku. "Mungkin kau juga masih belum menyadarinya, tapi di mata kami, kau ini hanya seekor tikus kecil yang angkuh." "T-Tikus kecil, ya?" Aku terkesan melihat Chelsea Beverly masih kuat untuk berdiri meski kepalanya telah menerima tendangan yang kuat dari kaki Eleanor, padahal sekarang mukanya sudah sangat lecet, hidung dan bibirnya terluka parah membuat darah segar sedikit mengucur di sana. "Ya, mungkin benar, aku hanyalah tikus kecil, tapi aku bukan tikus sembarangan. Aku adalah tikus kecil predator, yang akan mencabik-cabik tubuh kalian semua." "Hoo? Benarkah? Aku sampai takut mendengarnya." ledek Eleanor Romanes dengan berpura-pura ketakutan. "Sekarang kau mau apalagi? Membongkar rahasiaku? Maka bongkarlah sekarang, karena aku tidak peduli soal itu." "Kalau kau mengizinkan, maka baiklah," Chelsea terkikik-kikik saat dirinya sudah berhasil untuk kembali berdiri tegak di depan kami. "Dibalik kevulgaran dan kebinalanmu, kau ini sebenarnya hanyalah gadis lemah yang tidak punya kekuatan jika berhadapan dengan keluargamu." Eleanor Romanes hanya diam saja mendengar hal itu. "Mungkin kalian semua tidak tahu," Kini pandangan Chelsea dialihkan pada semua orang di ruangan ini. "Tapi gadis yang kalian anggap m***m dan nakal ini, berasal dari keluarga yang sangat religius. Ayahnya bahkan seorang pastor di gereja besar kota kita, dan saat berada di rumahnya, dia bukan lagi orang yang kalian kenal. Aku penasaran bagaimana reaksi orang tuamu saat mengetahui putri mereka ternyata adalah gadis yang b***t di sekolah." "CUKUP, CHELSEA!" Kami semua tersentak saat Nicholas Smith tiba-tiba berteriak keras, membuat semua perhatian teralih padanya. "Apa untungnya kau melakukan semua ini? Agar dipuji oleh pacarmu karena kau telah berjuang keras melindunginya? Itu pemikiran yang sangat bodoh!" "Jika memang itu alasanku, kau mau apa!?" seru Chelsea Beverly dengan memelototi Nicholas Smith. "Aku tidak akan melakukan apa-apa, hanya saja, kau jadi terlihat sangat menyedihkan," Mendengar omongan itu, Chelsea cukup terguncang dalam sesaat. "Kau mungkin berpikir kau ini seorang pahlawan yang membela pacarmu, tapi di mataku, kau seperti perempuan yang diperbudak oleh laki-laki, itu mengingatkanku pada sistem patriarki yang sepertinya masih mendarah daging di kepalamu." "JANGAN BAWA-BAWA GENDER ATAU SISTEM PATRIARKI PADA MASALAH INI!" Itu sangat gila saat Chelsea Beverly membalasnya dengan teriakan yang tidak kalah keras. Nicholas Smith kelihatannya telah menekan area yang sangat sensitif pada jati diri seorang Chelsea Beverly. Entah kenapa, aku jadi semakin tertarik untuk menyaksikan pertengkaran hebat ini di antara mereka. "Tunggu, patriarki itu apa!?" Dengan polosnya, Cherry Rosemary mengacaukan suasana dengan malah bertanya di tengah-tengah atmosfir yang sangat menegangkan ini. Nicholas Smith melirik ke arah Cherry dan menghela napasnya. "Patriarki adalah sistem sosial di mana laki-laki dianggap lebih superior dari perempuan. Dan bukan hanya laki-laki, tapi banyak juga perempuan yang mengagung-agungkan sistem busuk itu, contohnya seperti yang kau lihat sekarang," jawab Nicholas Smith merespon pertanyaan dari Cherry dengan menunjukkan jari telunjuknya pada Chelsea Beverly. "Dia mungkin belum sadar, tapi dia adalah perempuan bodoh yang masih menganut sistem patriarki." "Berisik!" pekik Chelsea Beverly saking kesalnya. "Jika kau masih tidak mau diam! Aku akan melaporkan pada kepala sekolah dan polisi setempat, soal pekerjaan keluargamu yang merupakan seorang bandar n*****a! Jika mereka mengetahuinya, kau dan keluargamu akan ditangkap!" Lalu bola mata Chelsea mendelik ke arah Cherry. "Kau juga jangan bertingkah seakan-akan kau ini gadis imut yang lemah, padahal nyatanya kau ini seorang atlit gulat bawah tanah yang menjijikan!" Rahasia Nicholas Smith dan Cherry Rosemary baru saja terungkap. "Dan kau Angela!" Kini Chelsea Beverly memelototi Angela Ribella dengan tajam. "Berhentilah menganggap dirimu bagian dari kami, karena robot humanoid sepertimu, sampai kapanpun tidak akan pernah setara dengan manusia sungguhan!" Di bagian ini, kami semua terguncang. "T-Tidak! Itu tidak benar! Itu—" omongan Angela Ribella langsung dipotong oleh Chelsea Beverly. "Jangan mengelak! Kenapa kau tidak pergi saja meminta bantuan pada Alexander!? Bukankah dia itu penciptamu!?" Ini sudah semakin gila. Kepalaku benar-benar meledak sekarang. Aku masih tidak percaya kalau Angela Ribella ternyata robot dan penciptanya adalah Alexander Coldish, si lelaki tinggi berkulit gelap. "Astaga!" Violetta Beganville memekik. "Hey! Apa itu benar!?" Joe Johanes berseru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN