"Ja-Jadi ... kau itu seorang penjaga baru, ya?" Aku menatap mata Gebby, wanita berjubah kuning yang mengaku sebagai seorang penjaga di depanku.
Aku sebenarnya tidak mengerti mengapa mama mengirimkan penjaga untuk mengawasiku, aku hanya berpikir kalau itu terlalu berlebihan. Ya, aku tahu kalau semua yang telah aku dan teman-temanku lakukan pada mama tempo hari sangat keterlaluan, mungkin itu penyebabnya mama menurunkan lima penjaga untuk menjadi pengawas kami berlima.
Namun, aku sangat takut kalau Gebby akan melakukan sesuatu padaku, entah mengapa, perasaanku mengatakan bahwa wanita itu sangat berbahaya untukku.
Dilihat dari penampilannya, walau Gebby mengenakan jubah kuning yang kebesaran, dia memiliki rambut cokelat bergelombang yang cantik, dan juga, dia pun mempunyai bola mata yang indah, warnanya hitam legam seperti keheningan malam.
Selain itu, Gebby memiliki postur tubuh yang ideal, dia seperti model yang sering kulihat di majalah perpustakaan, aku merasa kalau wanita itu mempunyai aura yang begitu memikat lawan jenis.
Mungkin dia selalu digila-gilai oleh banyak pria karena kecantikannya yang sangat mempesona. Tapi anehnya, Gebby terlihat murung, dia tidak seceria temanku, Liona. Padahal Gebby memiliki wajah yang cantik, tapi mengapa dia selalu menekuk mukanya seperti memikirkan banyak masalah.
"Susy," Gebby memanggilku dari kursinya, suaranya yang begitu halus memecahkan keheningan sesaat. Aku lantas menegakkan kepalaku, memandang wajahnya yang cantik dengan cepat. "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."
Aku meneguk ludah, kenapa Gebby tiba-tiba ingin bertanya sesuatu padaku? Dari nada bicaranya saja, sepertinya aku akan mendapatkan pertanyaan yang rumit. Aku harap, Gebby tidak memojokkanku, karena aku selalu gugup jika berbicara dengan orang asing.
"Ap-apa itu?" Seperti biasa, aku menimpalinya dengan terbata-bata. Mataku kudelikkan pada muka Gebby.
"Apa tujuanmu melakukan pemberontakan pada Mama?"
Pertanyaan itu mengejutkan jantungku, aku belum siap untuk menjawabnya, maksudku, dengan sifat gugupku ini, aku takut menjawab sesuatu yang salah atau melenceng. Jika aku semena-mena menjawab, bisa saja Gebby melaporkan hal ini pada atasannya, yaitu mama. Tapi, di lain sisi, aku ragu untuk membeberkan tujuanku melakukan pemberontakan pada mama.
Kalau aku salah sedikit saja, itu akan berpengaruh pada nasib teman-temanku. Apa yang harus kukatakan sekarang? Aku bingung.
"A-Anu ... umm, aku tidak mengerti mengapa kau bertanya hal itu padaku, tapi jika itu menyangkut tentang ... pemberontakan, aku masih belum bisa menjawabnya."
"Mengapa kau tidak bisa menjawabnya?"
Mendadak, Gebby kembali menembakkan pertanyaan lainnya padaku, seolah-olah, dia sudah menyiapkan banyak peluru untuk membunuhku dengan pistolnya itu dan aku masih belum siap untuk mati.
Seluruh kupu-kupu yang beterbangan di ruangan ini terus berseliweran memutari kami berdua, membuatku sedikit lebih baik saat mataku menangkap hewan-hewan cantik tersebut.
"Ak-Aku tidak bisa menjawabnya karena aku memang tidak mampu."
"Apa maksudmu?"
Sudah kuduga, bahkan dia menimpali jawabanku dengan kecepatan tinggi, mulut Gebby sepertinya sudah dilatih untuk berbicara cepat dan tepat.
"Maksudku, aku ... aku--"
PLAK!
Aku terjatuh dari kasur karena sebuah tamparan kencang dari tangan milik Gebby, lantai yang dingin tersentuh kulitku, aku terkejut atas perlakuan kasarnya padaku.
Aku mengusap pipi kiriku yang barusan tertampar oleh Gebby, sakit sekali, sepertinya pipiku telah memerah. Selain itu, Gebby melangkahkan kakinya, berjalan anggun mendekatiku.
"Padahal, aku sudah menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan pada gadis mungil sepertimu, tapi aku terpaksa melakukan hal keji itu padamu karena jawaban-jawaban kosongmu itu."
"Ke-kenapa?" Aku takut, tubuhku gemetaran, apa yang akan dia lakukan padaku. "Ma-Maafkan aku ... Gebby."
BUAG!
Gebby menendang kepalaku hingga pelipisku terbanting ke lantai, hidungku mengeluarkan cairah darah, rasa sakit mulai membuncah di kepalaku.
"Gadis lugu sepertimu memang tidak ada gunanya untuk kuawasi, kau seharusnya mati saja, Susy," Gebby mengambil gelas berisi s**u hangat dan menumpahkan air susunya pada rambutku, akhirnya pakaianku basah. "Biar kuberitahu satu hal padamu, Susy. Dunia itu kejam, lebih kejam dari apa yang baru saja kulakukan padamu, jika kau tidak bisa bertahan, kau pasti mati."
Mataku terbelalak, kata-katanya, raut wajahnya, dia jahat sekali. Aku tidak percaya kalau wanita yang baru saja tersenyum padaku adalah manusia super kejam.
"Ber-berhenti mengatakan apapun, Ge-Gebby."
Walau suaraku bergetar, aku masih mampu menimpali perkataan kasarnya.
Mendengar hal itu, Gebby langsung menjambak rambutku. "Kau tadi bilang apa, Susy?"
"Sa-Sakit! Gebby!" Gebby menyeringai mendengarnya, dia seperti iblis yang siap menyiksaku.
Kini, hatinya tidak peduli pada apa pun lagi, dia sudah tidak memikirkan rasa sakit orang lain. Mungkin yang dia lakukan saat ini karena perintah mama.
"Susy, mengapa gadis lemah sepertimu ingin menentang Mamamu sendiri?" Gebby melepaskan jambakannya dan berjalan mendekati meja, dia mengambil sesuatu di laci meja, dan ternyata dia mengeluarkan sebuah palu. "Apakah, kau hanya ikut-ikutan saja? Karena teman-temanmu telah memberontak pada Mamamu dan kau pun ingin mengikuti mereka? Begitu maksudmu? Heh, kalau memang benar, itu artinya, kau hidup tidak menggunakan prinsipmu sendiri, Susy."
Kedua mata Gebby merah menyala, dia menyeringai sambil memainkan-mainkan palu yang ada di tangan kanannya.
Air mataku mengalir, menetes-netes di lantai, aku takut sekali. Aku ingin pergi dari ruangan ini, bahkan kupu-kupu yang ada di tempat ini langsung mengerubungi tubuh Gebby, seolah-olah dia lah yang mengendalikan hewan-hewan kecil tersebut.
"Ka-kau benar, aku hanya mengikuti mereka saja," Aku menjawabnya dengan sesenggukan. "Itu karena--"
"DASAR BODOH!"
Tiba-tiba Gebby membentakku dengan kedua mata yang melotot kejam padaku. Sungguh, melihat ekspresinya saja membuatku takut, siapa pun, kumohon, tolonglah.
"Ternyata memang benar, kau hanyalah gadis polos yang tidak tahu apa-apa! Dengar ini, Susy, tidak ada gunanya kau mengikuti mereka! Mereka hanyalah orang-orang gila yang bermimpi untuk membunuh Mamamu, Wanita yang telah membesarkanmu! Apa kau diam saja melihat saudara-saudaramu akan membunuh IBUMU SENDIRI!"
Hening sesaat.
"Ma-Maaf menyela, tapi, apakah tadi kau berkata kalau teman-temanku itu ... gila?" Aku menatap mata Gebby, entah mengapa, mendengar teman-temanku dihina, hatiku sangat sakit.
Gebby menyeringai senang. "Ya! Aku tadi memang menyebut mereka itu GILA! Karena mereka memang gila! Seharusnya, kau tidak perlu bergabung bersama me--"
BELEDAG!
Palu yang ada di tangannya lepas dan melayang, kemudian memukul kepalanya sendiri hingga bocor. "Ak-aku tidak akan memaafkan siapa pun yang telah menghina ... te-teman-temanku."
Dan akhirnya, Gebby ambruk, dia pingsan, terbaring di lantai dengan darah mengalir dari kepalanya.
Sebenarnya, dari dulu, aku bisa mengendalikan berbagai benda dengan pikiranku, aku mempelajarinya dari buku lusuh yang kutemukan di perpustakan, tapi aku belum membicarakannya pada semua orang, yang mengetahui hal ini hanyalah mama.
Kupu-kupu yang barusan mengerubungi Gebby langsung berhamburan mendekatiku, mereka semua terbang memutariku, mataku masih memandang tubuh Gebby yang tergeletak di depanku.
"Ma-Maafkan aku ... Gebby."
☆☆☆
Marcell P.O.V
"Kau pikir, dengan segala ancaman yang kau lontarkan padaku, aku akan patuh begitu saja padamu, Tuan Benriya?"
Saat ini, aku berada di sebuah ruangan gelap yang hanya ada aku dan lelaki berjubah hitam saja, kami berdua telah banyak bercakap-cakap hingga dia mengancam akan membunuhku jika aku tidak mematuhi perintahnya, tapi sayang sekali, aku bukanlah anak yang patuh begitu saja pada orang asing.
Karena itulah, aku pun mulai menyerangnya dengan kata-kata tajamku. Aku tersenyum dingin dengan membetulkan kaca mataku yang mengendur.
"Aku kagum pada keberanianmu, Marcell Sugara, kau berbeda dengan teman-temanmu, kau memiliki potensi untuk menjadi orang yang hebat, karena itulah, kehebatanmu harus diasah olehku."
Lagi-lagi, Benriya mengatakan hal-hal menjijikan itu padaku, aku tidak peduli pada potensiku atau kehebatanku, lagipula, aku tidak mau kemampuanku diasah oleh orang yang baru saja mengancamku.
"Jangan bicara omong kosong lagi, Tuan Benriya, kau seharusnya berpikir dua kali dalam menghadapiku satu lawan satu, karena jika kau kalah, kau akan kujadikan sebagai babuku untuk selamanya."
Aku akan terus berusaha untuk membuatnya takluk dengan perkataanku, senjataku hanya satu, yaitu kata-kata. Karena itulah, aku akan terus menyerangnya dengan kata-kata.
"Babumu? Sepertinya itu menarik, sudah lama aku tidak pernah menjadi seorang sampah."
Aku tersenyum mendengarnya. "Bukankah saat ini pun, kau sudah menjadi seorang sampah? Maksudku, kau kan seorang babu dari Mamaku? Itu artinya, kau sampah 'kan?"
Benriya terkejut mendengarnya.
"Aku benar 'kan? Kalau kau sudah menjadi seonggok sampah dari tangan Mamaku?" Aku mengejeknya dengan menampilkan senyuman tipis bermodalkan ekspresi dingin, aku suka sekali menghujat orang yang telah mempermainkanku.
Penjaga yang membawaku ke ruangan ini bernama Benriya, mengenakan jubah hitam walau aku sendiri tidak peduli mengapa dia mau memakai pakaian norak seperti itu. Rambut dari penjagaku berwarna cokelat cerah dan memiliki mata perak, kurasa dia termasuk ke dalam kaum bangsawan. Karena mama pernah berkata padaku dulu, jika kau bertemu seseorang bermata perak, jangan coba-coba mengejeknya, karena dia adalah seorang bangsawan.
Namun apa yang baru saja kulakukan? Haha, lucu sekali. Aku jadi terdengar seperti anak nakal yang tidak mematuhi nasehat orangtua, tapi jujur saja, aku tidak peduli pada ucapan wanita iblis itu. Semua yang telah dia berikan padaku selama ini sudah kubuang, mau itu berbentuk kasih sayang maupun benda.
"Jarang sekali ada anak muda sepertimu berani melawanku, sebelum aku datang ke sini, aku berpikir akan membosankan jika hanya menjaga anak ingusan yang tidak berguna, tapi ternyata dugaanku meleset, di sini terdapat anak yang membuatku tertarik, dan itu tidak lain adalah kau, Marcell Sugara."
Benriya menunjukku menggunakan jari telunjuk dari lengan kanannya, dia tersenyum simpul mencoba menghangatkan suasana yang mencekam ini. Selain tidak nyaman berhadapan dengan orang seperti Benriya, aku juga tidak suka berdiam diri di ruangan remang-remang begini, penglihatanku bisa terganggu.
Ya, seperti yang kalian tahu, kedua mataku sudah tidak bekerja secara normal dari aku kecil, itulah mengapa mama memberikanku kaca mata agar memudahkanku untuk melihat. Tapi tetap saja, jika berada di tempat gelap, mataku kadang rabun beberapa saat dan itu sangat menjengkelkan.
"Berhentilah memuji-mujiku dengan wajah palsumu itu, Tuan Benriya, aku tahu persis seperti apa hatimu itu." Aku kembali menimpali ucapannya dengan senjata pamungkasku. Aku suka melihat wajah seseorang yang terkejut karena terkena seranganku.
"Aku sangat terhormat apabila kau menerangkan bagaimana kondisi hatiku saat ini, Marcell?"
Aku tersenyum kecil. "Kau kosong, hatimu hampa, bila diibaratkan, kau seperti sebuah kardus yang isinya kosong melompong, begitulah kondisi hatimu saat ini, Tuan Benriya."
Dari melihatnya saja, aku hampir tertawa, Benriya kaget mendengar penjelasanku. Dia seperti dihantam oleh balok besi setelah menyadari hal itu, dan aku menyukainya.
Itu sangat menghibur.
"Jika penjelasanmu itu memang benar, aku menghargainya, kau memang hebat, Marcell, dalam pertemuan pertama saja, kau sudah mengetahui bagian-bagian terlemah dari lawanmu, itu membuatku menjadi semakin tertarik padamu."
Menjijikan.
Kata-katanya membuatku jijik, dia seperti seorang pria yang tergila-gila pada wanita cantik, dan itu membuatku ingin muntah. Mungkin dia berpikir kalau kecerdasanku ini lebih bagus dari semua anak-anak di Antaroza, tapi sayangnya dia salah, masih ada anak yang dapat mengalahkanku.
Namanya Niko.
Mungkin dia terlihat nakal, bodoh, ceroboh, dan aneh, tapi semua orang masih belum mengetahui keunggulan dari bocah itu, dan jujur saja, pengakuanku memang benar walau aku benci mengakuinya.
"Sudah cukup basa-basinya, Tuan Benriya! Katakan saja apa maumu, aku sudah bosan berlama-lama di tempat suram ini bersama orang aneh."
Benriya menghela napasnya, dia sedang menenangkan pikirannya dan mulai berbicara. "Seperti yang kubilang, aku di sini bertugas untuk memberikanmu sebuah siksaan pedih, aku tahu itu terdengar tidak sopan, tapi maaf, aku sudah dibayar oleh wanita itu dan tentu saja aku tak dapat menolaknya."
Aku mendecih, rupanya mama masih belum puas untuk menekan kami, bahkan dia meminta cecunguk-cecunguk dunia luar untuk mengatasi kami. Mungkin aku bisa membuat penjaga di depanku kewalahan, tapi bagaimana dengan mereka? Niko, Merki, Susy, dan Liona? Aku pikir mereka pasti akan tertindas oleh para penjaga k*****t ini.
Yah, tidak ada cara lain selain menuntaskan Benriya terlebih dahulu, dan jika itu berhasil, aku akan membantu mereka. Aku harap ini tidak memakan waktu yang lama karena aku mulai merasa khawatir pada nasib mereka semua.
"Kedengarannya menarik, kebetulan, aku sudah lama tidak pernah merasakan siksaan pedih dari Mama, mungkin kau bisa melakukannya karena kau seorang pria dewasa yang tangguh, benar 'kan, Tuan Benriya?"
Aku akan menarik penjaga ini ke dalam perangkapku, bagaimana pun caranya, aku akan memenangkan pertarungan ini. Aku tidak bisa membiarkan dia menyiksa fisik dan mentalku, karena aku sedang buru-buru.
"Sungguh pujian yang sangat mengesankan, lagi-lagi, aku merasa terhormat bisa dipuji oleh anak hebat sepertimu, Marcell." Tidak buruk juga membuatnya melayang karena mendengar pujianku, karena aku sudah menyiapkan sesuatu untuknya.
"Bagaimana kalau kita bermain sebuah permainan, Tuan Benriya?"
Benriya mengkerutkan alisnya, dia tidak mengerti mengapa aku berkata begitu. Mungkin dia bingung karena aku malah mengajaknya bermain, tapi tenang saja, Benriya, aku tidak akan mengecewakanmu.
Karena permainan yang akan kita lakukan cukup dahsyat.
"Permainan? Aku kurang mengerti, tapi permainan apa yang akan kau lakukan bersamaku, Marcell?"
Aku mengembuskan napas sejenak, kemudian menyeringai kecil. "Jika kau penasaran, aku akan menyebutkannya, tapi kuharap kau jangan kaget, karena permainan ini terdengar sederhana, tapi cukup mematikan."
Benriya mengangguk paham atas penjelasanku. "Tolong sebutkan nama dari permainan tersebut, Marcell."
Aku tersenyum.
"Adu ... kecerdasan." kataku dengan percaya diri, menyunggingkan senyuman cerah pada Benriya. "Jadi, apa kau mau bermain denganku?"
Benriya pun tersenyum, namun senyumannya lebih dominan pada kesan meremehkan. Sepertinya dia sedang meremehkanku.
"Kalau begitu, dengan hormat, aku akan menerima ajakanmu, Marcell, aku tidak tahu kenapa kau ingin bermain sebuah permainan sebelum sesi penyiksaan, tapi aku akan melayanimu. Mungkin itu membuat pikiranmu teralihkan dari penyiksaan pedihmu sebentar lagi."
Dia menakut-nakutiku? Konyol sekali, mana mungkin aku membiarkan pria bodoh sepertimu menyiksaku, itu tidak akan pernah terjadi, k*****t.
"Aku ingin kita mempertaruhkan sesuatu yang penting dalam permainan ini, agar yang menang dapat keuntungan," Aku mulai merangkai kata-kata manisku. "Kau tahu 'kan? Sebuah permainan akan terasa membosankan jika tidak ada yang ditaruhkan?"
Kedua mata Benriya berkilauan, sepertinya dia tertarik mendengar tawaranku, itu bagus, teruslah berjalan menuju perangkapku, tikus bodoh.
"Jika itu yang kau inginkan, aku bersedia mempertaruhkan semua yang kumiliki pada permainan ini."
Aku menyeringai senang.
"Dan aku akan mempertaruhkan seluruh organ tubuhku dalam permainan ini, bagaimana? Apa kau sepakat, Tuan Benriya?"
Benriya mengangguk, dia benar-benar telah masuk ke dalam perangkapku. Ternyata mudah sekali membodohi orang dewasa, aku pikir akan sulit, tapi dugaanku salah.
"Baiklah, permainannya dimulai, Tuan Benriya."
Niko P.O.V
Aku terkejut saat Starrick mengeluarkan pisau dari kantong jubahnya, dia tertawa terbahak-bahak melihatku ketakutan.
"HAHAHA! Sudah kubilang 'kan? Kalau kau membiarkan rambutmu dipotong olehku, kau tidak akan mendapatkan kekerasan dariku, tapi apa boleh buat, kau malah membuatku terpaksa melakukannya, Niko. HAHAHA!"
Starrick mengelus-elus gigi pisau miliknya, dia juga mengasah benda itu pada tembok untuk memastikan apakah pisaunya masih tajam atau tumpul, tapi kelihatannya, benda itu sangat tajam, tembok yang digoresnya saja langsung retak berhamburan, membuatku meremas celanaku karena ngeri melihat hal itu.
"Kau mau melakukan kekerasan pada anak berusia 12 tahun?" Aku kesal bercampur takut, dia benar-benar berhasil membuatku gemetaran, ini gawat, dari nada bicaranya saja, dia sepertinya akan membunuhku.
Sialan! Sialan! Sialan!
Aku tidak mau berakhir seperti ini! Ini tidak adil! Mengapa dia ingin membunuhku, padahal aku masih anak-anak, seharusnya dia mengerti perasaan bocah sepertiku, setidaknya biarkan aku tumbuh sedikit lagi.
Karena aku masih ingin bertemu dengan orang tua asliku.
"Ba-baiklah, aku akan membiarkanmu memotong rambutku sesukamu, Starrick, tapi kumohon, biarkan aku hidup."
Mendengarnya, tawa Starrick yang menggelegar seperti halilintar pun pecah di ruangan berpintu banyak ini. "HAHAHAHA! Ini sangat-sangat-sangat seru! Tidak ada penyesalan aku bertemu denganmu, Niko! Kau telah menghiburku! Membuat hari-hariku menjadi bersinar! Itu semua karena pancaran kelucuanmu, NIKO! HAHAHA!"
Sialan, aku benci ditertawakan, itu membuatku kelihatan bodoh walau aku memang begitu. Lihat saja, Starrick, aku akan membalas perlakuan memalukan ini padamu, tunggu saja.
"Jadi, di mana kita melakukan pemotongan rambutnya, Starrick, apa kau mau memasuki salah satu pintu-pintu aneh itu?"
"HAHAH! Tidak perlu! Tidak perlu! Kau sudah tahu 'kan? Kalau semua pintu yang ada di ruangan ini semuanya hanyalah ilusi semata, jadi lebih baik kita melakukannya di sini saja, sekarang, kau duduk saja di atas kasur, aku akan memotong rambutmu dari belakang dengan hati-hati!"
Gigiku bergemeletuk kesal.
"Ayo lakukan secepat mungkin, Starrick."
Starrick mengangguk dengan bersemangat. "HAHA! Tentu saja, Niko."
Dan aku mulai memejamkan mataku.
"Ke-kenapa aku ada di sini? Dan siapa kau?"
Ketika aku bangun, tiba-tiba saja aku menemukan diriku berada di ruangan balet bersama seorang wanita berjubah ungu yang tengah mengunyah buah anggur di lantai, saat dia tahu aku bangun, wanita itu menatapku dan tersenyum girang, dia langsung berdiri dan melambaikan tangan padaku.
"Jadi kau sudah bangun ya? Bagaimana tidurmu, Alberto? Apakah nyenyak? Mimpi apa kau barusan? Jangan bilang kalau kau mimpi basah seperti anak-anak cowok? Kikikikik!"
Aku terkejut ketika dia menyebut namaku dengan nama belakangku, aku merasa dia sengaja memanggilku begitu agar aku marah, karena aku benci dipanggil dengan sebutan 'lion' dan 'alberto', kesannya seperti lelaki dan aku benci itu.
Bukan hanya itu, tingkah dan cara bicara dari wanita itu sangat menjengkelkan, sepertinya dia selalu mengincar kelemahan orang dan mengejeknya dengan rentetan pertanyaan tidak penting.
Sebenarnya, dia siapa?
"Jawab pertanyaanku! Siapa kau dan kenapa aku berada di ruangan balet bersamamu! Di mana teman-temanku yang lain!"
Wanita berjubah ungu itu terkikik-kikik mendengar pertanyaanku, dia terlihat menyembunyikan sesuatu dariku.
"Wah, meski kau itu punya wajah cantik dan tubuh yang ideal, tapi cara bicaramu kasar sekali pada wanita lemah sepertiku? Kikikik! Jangan-jangan, mulutmu itu dapat mencabik-cabik kulitku dan meretakkan tulangku? Kau membuatku takut, Alberto. Kikikikik!"
Lagi-lagi dia mengatakan hal-hal yang terdengar tidak penting, sebenarnya apa sih yang dia pikirkan? seharusnya dia menjawab pertanyaanku dengan baik dan benar, tapi hasilnya dia malah balik bertanya dengan kata-kata sampahnya.
Aku kesal sekali mendengarnya bermain-main dengan pertanyaanku, lantas, aku langsung bangun dari posisi dudukku dan berdiri berhadapan dengan wanita berjubah ungu tersebut dengan memasang eskpresi murka.
"Aku tidak mengerti mengapa kau menjengkelkan sekali, tapi aku akan mengampunimu, maka dari itu, sekarang tolong jawab pertanyaanku dengan baik, siapa kau sebenarnya?"
"Aku di sini hanya seorang penjaga yang diperintah oleh Mamamu, namaku Clara! Aku suka anggur! Aku suka cowok tampan! Aku juga suka dirimu, Alberto, kikikikik!"
Clara menjawabnya sambil menari-nari ria, dia berputar-putar di lantai licin itu dengan lihai, dia sangat agresif dan terlalu aktif. Mungkin Clara tipe orang yang suka banyak bergerak dan berbicara, dilihat dari penampilannya saja, dia sangat cantik dibandingkan diriku.
Tapi tunggu dulu, tadi dia bilang penjaga? Dia itu seorang penjaga yang diperintah oleh mama? Lalu mengapa aku dan dia berada di tempat ini? Apakah mungkin aku telah melupakan detik-detik ketika aku dibawa ke sini? kepalaku bisa-bisa pecah jika terus memikirkan hal ini.
Apa sih yang membuat keadaan di sini semakin runyam? Bukankah aku seharusnya ditahan di penjara bawah tanah bersama mereka? Ngomong-ngomong, aku penasaran apakah Niko, Marcell, Merki dan Susy juga bernasib sama sepertiku? Atau mungkin hanya aku saja yang nasibnya sial karena bertemu dengan seorang penjaga yang menjengkelkan ini?
Sudah kubilang, kepalaku bisa retak dan pecah kalau terus mencemaskan hal-hal yang tidak kumengerti, aku harus bagaimana untuk menghadapi situasi yang membingungkan ini?
"Hey, Nona Pirang berwajah murung, mengapa mukamu bisa semenyedihkan itu? Sudah-sudah, jangan banyak pikiran, kau bisa curhat pada Clara yang lucu dan humoris ini, lo? Kau tidak boleh menyembunyikan perasaanmu, Alberto yang manis, aku tahu! Aku tahu! Kau pasti sedang kebingungan 'kan karena dirimu bisa berada di ruangan ini bersama wanita imut sepertiku? Kikikikik!"
Sebenarnya, aku muak mendengar ucapannya yang mengundang amarah, tapi aku tidak boleh terpancing, Clara memang sengaja memancingku untuk marah dan mengamuk, entah untuk tujuan apa dia melakukan itu. Ataukah mungkin dia memang begitu, selalu mempermainkan lawan bicaranya sesuka hati sampai dia merasa puas? Sudah kuduga, bakal gawat jika aku terus bersama orang itu.
Apalagi aku dikenal pemarah oleh anak-anak Antaroza, karena aku memang gadis yang paling tidak bisa menahan amarah, bahkan sekarang pun gigiku sedang bergemeletuk kesal, dan perasaan benci mulai mengalir ke seluruh tubuhku, ayolah, jangan meledak.
"Apakah mulutmu itu bisa didiamkan sebentar?"
Clara tertawa riang mendengarnya, dia malah meloncat-loncat kegirangan mendengar pertanyaan itu terlontar dari mulutku, dia seperti seseorang yang sudah menunggu aku berkata begitu.
"Kikikikikik! Aku suka dirimu yang kebingungan, Alberto, aku suka sekali! Wajahmu mirip sekali seperti seekor babi yang menguik! Kikikik! Lucu! Lucu! Lucu! Aku suka! Aku suka!"
BUAG!
Secara reflek, aku langsung berlari kencang dan menghantam hidungnya sampai Clara terpental menabrak tembok hingga hancur, aku tahu ini mengejutkan, tapi apa boleh buat, kini amarahku sedang meledak-ledak bagaikan api yang berkobar-kobar.
"Aw! Aw! Aw! Itu sakit, tahu! Kau jahat sekali, Alberto? Kau mau membuat hidungku ini bengkok ya? Jahat sekali! Jahat sekali! Aku tidak menduga kau akan memukul wanita cantik dan humoris ini dengan begitu kasarnya? Apa mungkin kau itu atlet tinju atau semacamnya? Ih, kau membuatku takut! Kikikikikik!"
Mataku terbelalak, aku kaget saat Clara kembali berdiri dan keluar dari kepulan asap, dia malah masih sehat-sehat saja setelah menerima hantaman keras dari tanganku, apa ini? Mengapa dia masih bisa bertahan?
Apakah dia itu memiliki tubuh sekuat armor? Atau apa? Dua kali aku dibuat bingung oleh keadaan ini, sebenarnya apa sih yang telah terjadi selama ini? Mengapa ada wanita yang masih hidup setelah terkena pukulanku? Itu tidak wajar!
"Ke-kenapa kau masih--"
"Sssst! Jangan tanya-tanya hal-hal yang aneh, Alberto sayangku, aku tahu, kok, kau pasti kaget melihatku masih bisa berdiri dan meloncat-loncat begini? Iya 'kan? Kikikik! Kau mudah sekali ditebak ya? Baik-baik, aku akan menjelaskannya! Jadi duduk yang rapi, ya? Anak-anak? Kikikikik!"
Ini benar-benar tidak masuk akal! Aku harus tahu apa penyebabnya dia masih bisa bertahan, agar pikiranku tidak terus-terusan bingung.
Clara mulai menjelaskan dengan mengembungkan pipinya manja. "Tubuhku kuat, lo! Apa kau penasaran mengapa begitu? Rahasianya adalah! Aku rutin meminum s**u tiga kali dalam sehari! Itulah rahasianya! Kikikikik!"
Sudah kuduga, dia pasti menjawab dengan tidak serius, aku harus membuatnya mengatakan yang sejujurnya mengenai itu!
"Aku kesal sekali mendengar kata-katamu yang tidak serius itu! SEKARANG! Kau harus menjawabnya dengan SERIUS! Clara!"
Clara menyeringai melihat kemarahanku.
"Wah, gawat! Gawat! Gawat! Sepertinya gadis manis yang ada di depanku akan berubah menjadi babi berhidung besar? Tidaaaaak, aku takut menghadapinya! Siapa pun! Tolonglah! Aku takuuuuut! Kuharap ada pangeran gagah berani yang menolongku dari terkaman babi nakal itu! Kikikikik!"
Aku terdiam sesaat, tubuhku gemetaran karena amarah yang meledak-ledak di dalam hatiku.
"Babi ... berhidung ... besar, kau bilang?"
Aku tersenyum ramah pada Clara dan kemudian,
BUAG!
Kembali menghantamkan rasa kesalku pada wajahnya sampai dia terlempar kembali menabrak dinding yang telah hancur tersebut, bahkan ruangan balet sudah tidak seindah sebelumnya karena kehancuran yang disebabkan oleh pukulanku.
Tapi, aku tidak peduli!
Aku harus menghancurkan Clara! Pikiranku sudah fokus pada wanita menjengkelkan itu!
"Itulah akibatnya jika kau tidak menjaga ucapanmu, Clara."
Kepulan asap hasil hancurnya dinding itu membuatku tidak bisa melihat keadaan dari Clara sekarang, aku harap wanita itu terluka dan pingsan, agar aku bisa puas untuk sementara.
Aku sangat jengkel mendengar perkataannya yang benar-benar mengesalkan! Dia sangat mahir merangkai kata-kata ejekan yang terdengar halus pada lawannya, tapi mendengar dia mengejekku dengan sebutan 'babi berhidung besar' sudah tidak akan kuampuni lagi.
"Kikikikik! Seperti yang Mamamu bilang, kau itu pemarah sekali, ya? Liona Alberto?"
Merki P.O.V
"Oh, sekarang aku ingat, kau itu salah satu dari lima penjaga yang dipanggil oleh Mama, 'kan?"
Arbastilo, seorang pria berjubah biru yang barusan mengaku dirinya itu seorang penjaga padaku, menganggukan kepala setelah mendengar ingatanku.
"Kau benar, aku adalah seorang penjaga yang dikhususkan untuk mendisplinkan dan mengatur tingkah lakumu, di sisi lain, aku juga penasaran pada pendengaran tajammu, dan di atas itu semua, sebenarnya, aku malas bekerja menjadi seorang penjaga, oh, aku belum mengatakannya, ya? Aku ini sebelumnya seorang pemain sirkus yang dapat berjalan di atas tali di hadapan ribuan penonton, seperti itulah, latar belakangku, Merki Dracolas."
Aku tersenyum simpul mendengarnya, selain itu, aku juga masih bingung, mengapa aku berada di dapur?
"Ya, terima kasih atas jawabannya, Kak Arbastilo, ngomong-ngomong, mengapa kau memilih tempat ini untuk sesi hukumanku?"
Arbastilo yang memiliki alis tebal tersenyum kecil. "Dapur adalah tempat yang cocok untuk melaksanakan sesi hukumanmu, Merki."
"Cocok? Maksudmu?"
"Alasannya, karena ini adalah tempat yang penuh dengan kelemahanmu, Merki Dracolas."