Matahari tak malu lagi untuk menampakkan sinarnya. Panas terasa paling menyengat di hari ini, tak lantas membuat Ilham dan Natya berhenti saat melakukan kunjungan outlet tanggung jawab mereka yang ke empat kali.
Setiba pada outlet yang berada di kawasan pusat perbelanjaan, Ilham dan Natya bergegas membedah lemari display. Lemari kaca untuk tempat obat-obatan, multivitamin, produk skin care, dan kosmetik harus terlihat bersih terbebas dari debu. Pengecekan dilakukan secara menyeluruh. Bahkan hingga ke dalam ruang penyimpanan pun tak luput mereka telusuri.
Setelah memeriksa seluruh bagian ruangan, Ilham memberi sedikit motivasi kepada seluruh personil di outlet. Sedangkan Natya ikut mendengarkan dan dengan setia mendampingi Ilham.
"Produk baru sudah kamu pelajari belum?" tanya Ilham saat tak sengaja melihat box supplement daya tahan tubuh yang rilis belum lama ini.
"Sudah, pak." Apoteker yang mengekori Ilham dan Natya lantas menjawab.
"Sudah pernah keluar belum?" Natya menimpali.
"Sudah, bu. Dua hari yang lalu."
Jawaban tersebut sontak membuat Natya tersenyum puas.
"Kalau keluar lagi kamu kasih note tambahan di bawah laporan. Sepertinya ini bakalan jadi produk fokus kita ke depan."
"Siap, bu."
"Memang produk yang sudah terlampaui penjualannya sebelum ini apa?" Ilham mendadak bertanya kepada Natya.
"Supplement juga, pak. Bedanya yang itu untuk menstabilkan kadar kolesterol. Sekarang sudah pesat pengeluarannya dari beberapa bulan terakhir." Natya menjelaskan berdasarkan informasi yang tiap hari manager area ikuti.
Meskipun pandangan Ilham masih menelusuri bagian supplement dan multivitamin, tetapi pendengarannya terfokus pada penjelasan Natya.
"Pendapatan akhir bulan lalu outlet ini berapa?" Kini Ilham menoleh sesaat pada Apoteker senior.
"Kisaran sembilan puluh empat juta, pak."
"Naik." Natya tersenyum simpul. "Bonus sudah masuk ke rekening masing-masing, 'kan?"
"Sudah, bu!" Pertanyaan Natya tadi langsung disambut seruan serempak. Membuat Ilham yang masih diam menyimak mengulas senyum senang.
"Bonusnya sebagian buat beli supplement, 'kan?" tanya Natya yang sebenarnya tengah bercanda.
Namun tidak ada sahutan dari beberapa karyawan outlet.
Natya tersenyum tipis. "Saya lagi komsumsi supplement baru. Dilihat dari ingredientsnya bagus."
Sang Apoteker justru tersenyum masam. "Kita di sini pakai produk yang lain, bu. Rasanya sayang buat beli supplement setengah juta."
"Dia sih, bu, mending buat beli pensil alis dua B daripada beli supplement," sahut rekan si Apoteker.
"Kalau kamu sakit, kamu nggak bisa beli pensil alis," balas Natya sambil terkekeh geli.
"Saya juga minum kok, tapi supplement yang harganya sedikit merakyat."
Natya mengangguk-angguk pelan. "Kalian harus jaga kesehatan, jangan sampai sakit."
"Baik, bu," balas dari Apoteker tersebut.
"Saya datang lebih cepat dari biasanya. Jadi, kisaran pertengahan bulan depan saya baru bisa ke sini lagi, ya."
"Siap, bu Natya...." Kembali mendapat jawaban dari petugas outlet.
"Sama pak Ilham lagi nggak, bu?" tanya Apoteker sambil berbisik.
"Coba kamu tanya sendiri." Membuat pandangan Natya memperhatikan Ilham yang tak jauh darinya. Meskipun tanpa jas dan kemejanya pun sudah ada gulungan di lengan, tidak sama sekali mengurangi kadar ketampanan pria itu.
"Masih single nggak sih, bu?"
Pandangan Natya lantas terputus. Mendapat pertanyaan seperti itu mendadak menggeleng ragu. "Saya nggak pernah tanya."
"Kok bisa ada regional manager ganteng begitu, ya...." Apoteker dengan terang-terang memandangi Ilham lekat. "Kayaknya nggak mungkin single sih." Meski menggumam Natya dengar dengan jelas.
Senyum Natya yang semula tertarik di wajah, perlahan memudar bersamaan dengan Ilham yang mendekatinya.
"Ada yang harus disampaikan lagi nggak ya, bu Natya?" tanya Ilham seakan sudah bosan memandangi display box multivitamim.
"Saya rasa sudah cukup," jawab Natya cepat. "Pak Ilham, mau pergi sekarang? Berhubung ini sudah jam makan siang." Bahkan Natya pun sedikit terkejut usai melirik arlojinya.
"Boleh. Tapi mampir ke food court dulu. Takut nggak sempat makan kalau jalan langsung ke head office."
Nayta mengangguk singkat langsung menyetujui.
Setelah berpamitan dengan beberapa Apoteker, Ilham dan Natya lantas menaiki ekskalator untuk menuju lantai tempat makanan.
"Natya, kamu mau ikut saya atau punya pilihan lain?" Ilham kembali bertanya kali ini menatap Natya sepenuhnya.
"Pak Ilham mau makan apa siang ini?" tanya Natya yang sebenarnya bingung lantaran belum tahu menu apa yang harus dipilih.
"Saya lagi pengin bakmi."
Natya terdiam sejenak menimbang. Bakmi terdengar tidak buruk di saat tidak punya pilihan pasti. "Yasudah, saya ikut bapak saja."
"Kalau kamu mau makan yang lainnya, nggak apa-apa, Nat. Nanti kita ketemu lagi di sini." Ilham mengingatkan posisi mereka di dekat ekskalator lantai tiga.
"Saya juga suka bakmi. Nggak ada masalah," sanggah Natya jujur, tetap ingin mengikuti Ilham.
Ilham tertawa pelan sebelum kembali melangkah ke gerai bakmi yang dimaksudnya tadi.
Natya mengulum senyum saat tahu hanya gerai biasa yang Ilham pilih. Mengingat ada banyak gerai yang lebih baik menurutnya. Tetapi Natya tidak akan mengajukan komplain untuk pertama kalinya makan bersama Ilham di gerai bakmi sederhana.
Jam makan siang membuat hampir seluruh outlet makanan di food court terlihat padat. Tidak terbayang jika Natya memutuskan makan siang dengan pilihan sendiri, pasti ia tidak jadi mengisi perutnya.
"Kamu mau pesan apa? Biar saya yang pesan." tanya Ilham kepada Natya yang tengah melihat papan menu.
"Iya, pak." Natya lantas membuka shoulder bag-nya kemudian mengeluarkan dompet. Belum sempat membuka dompet tersebut, Ilham lagi-lagi berucap, "pakai uang saya dulu aja, Nat."
Natya mendongak memastikan lagi pendengarnya.
"Jadi kamu mau pesan apa?" tanya Ilham tak sabar.
"Paket bakmi yang sekaligus ada minumnya," jawab Natya cepat.
"Itu aja?" Ilham dengan sabar memastikan.
Natya mengangguk. "Terima kasih sebelumnya."
"Sekarang kamu langsung tunggu di sana saja, ya." Ilham menunjukan spot pilihannya kepada Natya.
"Baik, pak." Lantas Natya mekangkah dengan lebar menuju tempat yang Ilham pilih.
Dari tempat duduk, Natya dapat melihat Ilham tengah memesan. Meski tampak hanya punggung dalam pandangannya, tetapi cukup untuk membangun rasa senang Natya hari ini. Ia tak pernah membayangkan sebelumnya bisa makan bersama dengan Ilham, lebih tepatnya berdua.
Kali ini, Natya sebaiknya harus menekan rasa bahagia lebih dalam. Mengingat ucapan sang Apoteker di outlet tadi sepertinya benar.
Ia dan Ilham memang telah cukup lama terpisah, lalu mereka dipertemukan kembali dengan keadaan dan posisi yang berbeda. Di mana Ilham kini menjadi atasan Natya. Jika dahulu Ilham pun tidak pernah single dalam waktu lama, Natya semakin tersadar ketika Ilham kembali jelas tidak membuatnya mengetahui semua tentang pria itu.
Natya menghela napas panjang lalu bertumpang dagu memandang punggung Ilham dari kejauhan. Buktinya, sejak dulu hingga saat ini keadaan Natya tidak pernah berubah. Hanya dapat melihat Ilham dalam diamnya.
Saat Ilham membalikkan badan, sontak memutus pandangan Natya kepadanya.
Natya perlahan menegakkan badan ketika Ilham berjalan semakin mendekati.
Ilham duduk persis di hadapan Natya seraya meletakkan nomor meja.
"Sudah saya pesan, tunggu sedikit lama kata pramusaji karena banyak pesanan masih antre."
"Iya." Natya mengangguk singkat. "Boleh saya lihat struknya, pak?"
"Buat apa?" tanya Ilham bingung seraya mengeluarkan handphonenya dari dalam saku celana.
"Pesanan saya tadi harganya berapa...."
"Gampanglah kalau urusan itu," ucap Ilham terdengar sangat ringan. "Sekarang tunggu makanannya aja."
Natya bergeming menatap bingung Ilham yang sudah fokus dengan handphonenya. "Jangan, pak Ilham, saya nggak enak. Biar saya ganti saja, ya?" Ia tidak ingin jika Ilham yang membayar pesanan Natya sepenuhnya.
"Udah nggak apa-apa." Ilham justru tertawa pelan.
Membuat Natya menahan denyutan keras di d**a. Jika ia memang mengaku menyukai Ilham, rasa sukanya kian bertambah berkali-kali lipat ketika melihatnya tertawa seperti tadi.
"Ini bukan pakai uang kas, kok." Ilham meledek Natya secara tidak langsung.
Natya yang tengah menahan berbagai pergolakan batin berusaha untuk tertawa, meskipun akhirnya terdengar kering. Ia semakin tidak enak kepada Ilham saat ini.
Meski hati Natya sempat berbunga namun tidak mampu menahan rasa gusarnya. Tatapan intens Ilham pada layar handphone membuatnya kembali berspekulasi bahwa pria itu benar-benar berada di dalam suatu hubungan.
"Laporan penjualan kemarin belum kamu kasih ke saya ya, Nat?" Ilham tiba-tiba bertanya seraya menatap intens Natya.
Natya yang sontak terkesiap mendadak mengerjap.
"Kapan kamu mau kasih laporannya ke saya?" tanya Ilham sedikit menuntut.
"Semalam sudah saya buat, tapi datanya belum saya print."
Ilham mengangguk-angguk.
"Sebentar ya, pak." Natya lantas membuka handphonenya.
"Saya minta laporan siang ini ke seluruh personil dulu." Lantas sibuk hingga tak sadar mengerutkan kening.
Ilham yang masih mengamati Natya tengah serius, mengulas senyuman tipis. Teringat pada momen ketika Natya seperti itu di saat tengah menghitung soal fisika yang menurut Ilham mudah.
"Laporan data semalam...." Natya yang mendadak mendongak, seakan mempertemukan manik netranya bertubrukan dengan milik Ilham.
Rasa hangat seolah langsung mengalir mengikuti peredaran darah hingga tampak di kedua pipi Natya. Semburat merah jambu tak terhindari dan tak dapat dicegah. Ketika Natya tanpa sengaja memelihat Ilham menatapnya begitu lekat.
"Biar saya lihat." Ilham yang tampak biasa meminta handphone Natya.
"Oh---" Natya tersenyum tipis seraya memberikan handphonenya pada Ilham.
"Kode outlet yang di mall ini di urutan ke berapa?" Meski Ilham tidak mengalihkan pandangannya pada layar ponsel milik Natya.
"Kolom kedua." Natya masih betah melihat Ilham tanpa sepengetahuan yang tengah sibuk, merekam jelas semua garis wajah pria di hadapannya itu. Menenangkan berhasil memacu degup jantung Natya berdetak lebih cepat.
Ilham hanya bergumam tetapi wajahnya puas, meski belum membalas tatap dari Natya.
Natya menahan senyuman tipis di bibir. Tetap berusaha keras menekan lebih buncah euforianya.
"Coba, saya lihat laporan penjualan tiga belas outlet siang ini," pinta Ilham kali ini memandang sekilas pada Natya.
"Boleh, pak." Natya segera bangkit sedikit membungkukan badannya, supaya lebih mendekat kepada Ilham.
Ketika akan mengubah layar handphone, tanpa diduga Ilham pun lebih mencondongkan badan pada dirinya. Masih menatap layar ponsel milik Natya menelusuri barisan angka.
Melihat Ilham yang sesekali tampak mengerutkan kening, Natya justru semakin bergeming menatap Ilham jauh. Bahkan Wangi dari Ilham, sudah memenuhi indera penciuman Natya. Perpaduan dari spices, citrus, sage semakin memikatnya.
Sebelum akhirnya tersadar jika jarak wajah Tata versi dewasa terlalu dekat dengan Natya. Momen ini tidak akan pernah terjadi dalam benaknya sekalipun. Ia semakin bingung harus gugup atau bersyukur.
Tiba-tiba Ilham mendongakkan wajah.
Pikiran Natya lantas terasa kosong. Teramat tenang bahkan bisa meredam suara ramai di tempat makan siang ini.
Keduanya saling memandang dalam jarak yang sangat dekat. Tatapan mereka melekat satu sama lain. Karena terlalu larut dalam suasana, waktu pun seakan terhenti sejenak.
Kedua insan manusia telah melebur bersama dalam tatapan. Seolah lebih menyatu dalam satu hati yang bercampur aduk dengan perasaan yang berbeda.
"Mas, mbak, ini pesanannya," suara Pramusaji membuyarkan baik Ilham maupun Natya.
Ilham langsung memutuskan kontak lebih dahulu dan menegakkan badan dalam duduknya teramat kaku.
Sontak Natya pun kembali duduk pada kursinya. Walaupun tubuhnya sedikit meremang, setidaknya kali ini ia harus bersikap lebih tenang.
Tanpa sengaja ekor Natya melihat Ilham tengah mengaruk tengkuk yang pasti sebenarnya tak gatal.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, mas, mbak?" ucap Pramusaji menahan senyum maklum.
"Terima kasih," balas Ilham tersenyum canggung.
"Maaf, karena sudah menunggu lebih lama," ujar Pramusaji tersebut sungkan.
Ilham dan Natya tersenyum tipis menandakan tidak masalah bila waktunya sedikit terbuang. Terutama Natya cukup menikmati seluruh rangkaian proses tadi.
Tak ada pembahasan, keduanya makan siang dalam diam. Hening tak ada satu kata pun di antara mereka. Entah apa yang Ilham atau Natya tengah rasakan masing-masing.
Sampai Ilham sudah menghabiskan setengah porsi bakminya kemudian mendapatkan telepon masuk.
"Iya, Rin?" Ilham lantas menerima panggilan telepon tersebut tanpa ragu.
"Mas Ilham lagi di mana?"
Meski kondisi tengah ramai, Natya masih mampu mendengar samar suara wanita dari ujung telepon.
"Aku lagi makan siang. Nanti aku sambung lagi yah kalau sudah sampai kantor," jawab Ilham lembut kemudian menutup teleponnya.
Natya yang masih mengunyah makanan, semakin tersadar harus ke mana membawa perasaannya. Secepat ini diberi petunjuk yang seharusnya Natya sudah bisa menebak dari awal.
Usai menyudahi percakapannya di telepon, Ilham menoleh menghadap Natya.
"Nat, outlet yang kita belum kunjungi berapa lagi?" tanyanya.
"Tersisa satu, pak."
"Kita kunjungi lusa saja yah, hari Sabtu. Saya besok ada pertemuan sama pihak dari Anugerah Sans Prima untuk pembahasan produk baru," jelas Ilham.
Natya hanya mengganguk sopan. Tak berucap apapun. Ilham mulai menyantap makanannya dan Natya meneruskan kunyahan. Namun, pikirannya sibuk memikirkan perasaan yang dipenuhi tanda tanya.
*
Sampai di lobby kantor pusat, Ilham dan Natya bergegas memasuki lift bersama. Namun harus berpisah lantai karena mereka akan menuju ruang kerja masing-masing.
"Mbak Natya!"
Setiba di kubikel, Natya langsung disambut Sarah dengan heboh. "Gimana kunjungannya hari ini? Semua bagus? Si bos yang baru baik, nggak?" rentetnya sangat penasaran.
Alih-alih menyahuti dengan semangat, Natya justru menghela napas panjang. Ia sangat lelah hari ini. Terlebih setelah perlawanan batinnya.
"Kok begitu responnya?" Sarah mengernyit heran.
"Lelah rasanya." Natya menelungkupkan tubuh di atas meja.
"Tapi selesai semua, kan?" Sarah tidak puas melihat responnya.
Dengan tenaga yang tersisa, Natya kembali menegakkan badan. Ia menggeleng lalu berdecak lirih. "Sisa satu outlet lagi. Pak Ilham kayaknya lagi kejar target. Masih awal bulan sudah hampir selesai kunjungan ke tiga belas outlet."
Sarah meringis mendengar Natya yang terdengar mengeluh. "Aku kira mbak udah selesai kunjungan. Hari ini paling lama, sampai aku makan siang sendiri."
"Lusa kantor libur tapi aku masih harus ke outlet terakhir yang paling jauh."
"Bos baru lagi on fire atau memang kayak gini?" Sarah bermaksud menggumam namun masih cukup keras.
"Nggak ngerti deh," sahutnya malas. Suasana hati Natya memang sangat berbeda jika dibandingkan awal tadi.
"Mbak Natya benar capek banget, ya?"
Natya menggumam seraya menyalakan pc di hadapannya.
"Tapi ngomong-ngomong...." Sarah menjeda seraya tersenyum menggoda kepada Natya. "Rasa capeknya baru kerasa sekarang atau udah dari tadi, mbak?"
"Maksudnya gimana?" Natya mendengus geli mengerti jika saat ini Sarah tengah meledeknya.
"Maksudku, kali aja, tadi nggak terlalu kerasa capeknya. Berhubung ada pak Ilham di samping mbak." Sarah terkekeh tanpa bersalah.
"Sembarangan." Natya pun tak dapat menahan tawa pelan. "Ya ... memang kenapa kalau ada pak Ilham?" kilahnya.
"Mungkin bisa pijat-pijatan," balas Sarah asal.
"Makin asal ngomong." Natya lantas segera memusatkan diri pada pc-nya, berhubung pekerjaannya sudah menanti sejak tadi.
Tiba-tiba Sarah kembali berseru, "eh, mbak, mbak Natya!"
"Apalagi?" sahut Natya seperlunya meskipun tidak sepenuhnya kesal.
"Lebih enak kerja sama siapa, mbak? Bos kamu yang sekarang atau sebelum ini?"
Natya terkekeh pelan. Pertanyaan ini bahkan tidak sama sekali pernah terlintas di benak. Bos Natya yang sebelum Ilham menurutnya sendiri sangat baik. Jika membahas Ilham banyak sekali yang Natya harus sembunyikan rapat-rapat.
"Jawabnya kelamaan. Pasti mbak Natya lagi mikirin pak Ilham."
"Kenapa jadi pak Ilham?" Natya mengernyit heran.
"Pak Ilham 'kan mempesona. Apalagi kumis tipisnya itu...."
Natya hanya tersenyum kecil. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Sarah.
Sarah memberengut kesal ketika pertanyaan tak terbalas. "Kok malah senyum?"
"Ya, aku juga bingung...." Natya mendesis lirih. "Lagipula kamu tahu apa tentang mempesona?"
"Yaelah, mbak, aku yakin kamu juga tahu yang kumaksud." Sarah mencebikan bibirnya.
"Jangan bahas pak Ilham, bahas yang lain aja." Natya mulai mencoba lebih menekan perasaannya paling dalam. Mengingat laki-laki itu memiliki kekasih.
"Ah, kenapa gitu?"
"Dia nggak single," ungkap Natya.
"Yang benar, mbak?" tanya Sarah setengah tak percaya. Meski ia tidak terkejut, berhubung wajah bos baru rekannya memang tidak cocok untuk menjadi single.
"Tadi ada cewek telepon di jam makan siang," ungkap Natya.
Sarah tidak bisa menyembunyikan decakan pelan. "Iya juga, sih ... Nggak mungkin potongan laki macam pak Ilham nggak punya cewek."
"Kenapa kamu? Kayak kecewa gitu?" tanya Natya membalas meledek.
"Ya, kagum saja gitu. Pak Ilham ini biasa aja, tapi kok bisa menawan gitu, enak dilihatnya. Apalagi kalau udah senyum ... lemas deh aku," ungkap Sarah memuji terang-terangan.
Meskipun Sarah jujur kepada Natya, yang otomatis menambah deretan saingan, tetapi tidak membuatnya berpikir tentang hal yang memberatkan. Ia hanya terkekeh tanpa sadar mengangguk kecil.
"Setuju kan, mbak?" tanya Sarah tersenyum simpul.
"Aku nggak bilang setuju," elak Natya langsung.
"Yang benar, nih?" Sarah menggoda Natya habis-habisan saat melihat kerlingan aneh di wajah seniornya itu.
Tidak mengelak ataupun jujur, Natya hanya akan tersenyum tipis. Meski ia merasa banyak sekali arti yang sudah diberikan kepada Sarah. Namun sepertinya tidak ada satupun yang terjelaskan.
Memikirkan sosok wanita yang menjadi kekasih Ilham sekaligus memperkecil keberadaan Natya. Jika dari awal ia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk merasakan lebih dekat dengan Ilham atau Tata-nya, kini kenyataan lebih terasa pahit untuknya.
Jujur, Natya memang sempat berharap sejak pertemuannya dengan Ilham beberapa hari yang lalu. Akan tetapi setelah mengetahui jika ada wanita yang menghubungi Ilham tadi, harapannya seakan layu. Terlebih Natya masih ingat betapa lembutnya Ilham ketika membalas telepon tadi.
* * *