Memasuki pergantian bulan di setiap pembukaan tanggal, Natya selalu disibukkan dengan barisan angka profit dari penjualan berbagai produk dan juga obat-obatan.
Seperti pagi tadi, membuat Natya melewatkan sarapannya. Seakan waktu tidak ingin menunggu dan memberikan kesempatan untuk Natya. Tiba di kantor lebih awal, Natya langsung menelusuri data terbaru dari seluruh outlet tanggung jawabnya. Terlebih akan ada pergantian regional operasion manager, sebutan untuk bosnya. Yang memang akan berubah setiap tahun, hal tersebut tidak serta merta membuat pekerjaan Natya lebih ringan.
Setelah tiga jam berkutat dengan barisan angka, akhirnya Natya selesai mengalkukasikan target untuk selanjutnya yang harus dicapai. Ia menghela napas panjang bersamaan dengan menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. Kedua mata Natya seakan lebih kering dari biasanya, memutuskan untuk memejamkan mata sejenak.
Bulan ini genap tahun ketiga untuk Natya menjabat sebagai manager area. Jika dahulu di bulan pertama berkerja, Natya merasakan kewalahan dalam merancang strategi pada teamnya dibagian marketing, semakin lama bekerja, sampai kini membuat Natya lebih sabar untuk menghadapi kesulitannya. Meski tidak sepenuhnya bisa dianggap ringan. Namun, berkat semakin tinggi jam kerjanya, semakin bijak pula Natya untuk mendengarkan setiap keluhan dari anak buahnya.
"Mbak Natya, sudah selesai rencana target sementaranya?"
Pertanyaan dari Sarah rekan kerja yang sudah cukup akrab dengan Natya, membuatnya terkesiap lantas menegakan badan kembali.
"Baru selesai." Natya tersenyum meski tiba-tiba merasakan pening. "Akhirnya...." Helaan napas Natya terasa lebih ringan. Saat kembali menunjuk barisan kolom pada pc-nya. Kemudian tidak sengaja melihat jam digital pada meja kerjanya. Membutuhkan waktu hampir empat jam untuk menyelesaikan ini semua. Padahal target yang berhasil dikalkulasi tadi, tidak akan terpakai besok pagi. Target penjualan ini hanya sebagai bayangan atau tolok ukur untuk regional manager memberikan yang sesungguhnya.
"Kelihatan sih." Sarah meringis lebar kepada Natya yang tampak suntuk.
"Muka aku kusut banget ya, Sar." Natya semakin mengeluh.
Sarah masih meringis kali ini dengan mengangguk singkat. "Tapi masih looks pretty, kok."
"Halah!" Natya mendengus geli.
Belum sempat Natya melanjutkan, manager area rekannya terlihat tergesah mendatangi kubikel Natya dan juga Sarah yang bersebelahan.
"Ada apa, mbak?" tanya Natya sedikit was-was. Melihat raut wajah rekannya begitu terdesak.
"Sorry ya, ganggu sebelumnya ... Mbak Natya sama mbak Sarah diharap untuk segera ke auditorium."
Meski Natya hanya mendengarkan, tetapi tidak menutup raut kegelisahannya.
"Kira-kira kenapa, ya?" timpal Sarah penasaran dengan tak kalah gelisah.
"Aku juga kurang tahu, mbak, biar nanti bapak GM yang menjelaskan," ucap Intan tak yakin. "Kalau bisa segera ya, selagi belum terlalu hectic."
"Baik, mbak. Terima kasih infonya." Natya segera bergegas membereskan meja kerjanya setelah Intan meninggalkan kubikelnya. Ia tak lupa membawa handphone serta notes berisikan materi penting.
"Kamu sudah siap, mbak?" Sarah sudah bangkit berdiri dari duduknya tengah memperhatikan Natya yang tengah menatap layar pc-nya.
"Sudah, yuk, kita ke sana," jawab Natya yang baru selesai menulis deretan angka di notesnya.
Ternyata bukan hanya Natya dan Sarah yang beri amanat untuk segera ke ruang audit. Beberapa rekannya pun sudah melangkah menuju ruang yang sama seperti tujuan Natya. Sarah lantas bergabung dengan beberapa rekan itu. Sedangkan Natya memilih untuk mengekori saja.
"Nggak biasanya ada pertemuan mendadak, ada apa nih?" ujar Sarah ternyata masih penasaran, sekaligus mencari informasi. Meski tak menutupi kegelisahan, ketika mulai memasuki lift untuk menuju ke lantai atas.
"Nggak tahu persis sebenarnya. Tapi tadi sempat dengar pak Reno ngobrol sama pak Liem intinya ada pertukaran area." Salah satu dari mereka menyahut.
"Serius?! Ah, yang benar kamu....." Sarah terbeliak menahan suaranya supaya tidak histeris. "Wah, jangan diganti dulu! ROM aku baik banget, nggak pernah nuntut banyak, pengertian juga."
Beberapa rekannya kembali menyahuti setuju.
Sedari tadi Natya yang hanya mengekori dan tentu saja meyimak, penuturan Sarah dan juga beberapa rekannya. Tetapi belum menarik baginya untuk mengeluarkan pendapat atau sepatah kata pun.
Sebenarnya Natya tidak terlalu mengambil pusing jika benar adanya pergantian area sekaligus ROM yang belum genap 1 tahun nanti. Karena memang tidak ada masalah untuknya,ia sendiri sudah beberapa kali mengalami hal seperti ini. Toh, pergantian dua hal tersebut memang wajar dan pasti akan terjadi. Mendengar hal tersebut membuat kegelisahan yang sempat Natya rasakan berangsur menghilang.
"Kata bapak-bapak GM juga, kali ini akan ada ROM baru. Masih kerabat dekat sama Pak Lesmana yang punya LM Group."
"Apa mungkin mau perkenalan juga?" Sarah mencoba menebak.
"Itu sih pasti. Kalau bukan karena itu para manager area nggak mungkin kumpul ke sana."
Natya mengangguk samar setelah mendengar perkiraan rekannya.
"Tapi aku tetap takut sama ROM baru. Kayak yang sebelumnya saja, suka seenaknya kalau ngasih perintah. Apalagi yang ini, masih kerabatnya petinggi."
Bukan asal menduga, Natya melontarkan pendapatnya pun dari pengalaman sebelumnya. Mendapat ROM baru seperti halnya mempersiapkan kesabaran lebih, serta mental yang lebih fleksibel. Jika memang boleh berharap, kali ini Natya tidak ingin mendapatkan ROM baru lagi.
Wajah Sarah terlihat pias saat mendengar langsung dari mulut Natya. Seniornya yang super kalem ini memang sudah lebih berpengalaman mengikuti pergantian area dan ROM, dibandingkan dengan manager area yang lain. "Boleh nggak sih nolak pergantian area sama ROM nanti?"
"Kalau yang itu nggak perlu ditanya. Aku juga cuma bisa berharap aja, mbak."
Natya tersenyum kecil mendengar keluhan tersebut. Saat ini memang hanya bisa berharap. Setidaknya itu yang lantas terpikir oleh Natya ketika memasuki auditorium.
*
Sering kali Natya mendengar bahkan membaca petikan bijak dari berbagai macam sumber, teringat tentang, Tuhan tidak akan memberi hal yang kita inginkan. Tuhan memberi apa yang kita butuhkan. Kurang lebih seperti itu yang selalu terlintas dalam ingatannya, ketika hampir setiap kali menemukan hal tak terduga.
Sarah dan sisa manager area lantas meninggalkan Natya yang tersisa di tempat ini. Tengah terpengkur dalam kesendiriannya. Natya bahkan masih mengingat jelas perkataan bapak Lesmana yang ternyata turut hadir tadi. Kemudian menyampaikan beberapa hal penting . Di antara hal tersebut, berhasil membuat Natya terkejut. Bahkan hingga kini dirinya masih tak percaya.
"Saya membenarkan jika akan ada Regional Operation Manager baru bergabung di perusahaan ini. Menurut kesepakatan bersama, ROM baru akan lebih mudah untuk mengatur strategi dengan manager area yang sudah berpengalaman. Maka dari itu, saya putuskan bapak Ilham akan berkerjasama dengan Ibu Natya mulai besok."
Reaksi pertama yang sempat Natya tunjukan tadi tentu hanya tersenyum dengan sangat terpaksa. Untuk menolak lalu berterus terang pun Natya tidak sanggup karena tentu saja ia masih membutuhkan pekerjaan ini. Belum lagi, ia tidak menyiapkan sebuah sanggahan ataupun pembelaan sebelumnya. Kembali mengingat hal itu Natya semakin mendesah pasrah. Berkali-kali merutuki diri.
Sibuk mengarungi kemelutnya, Natya sampai rela menunda makan siang demi menunggu kedatangan ROM barunya. Mungkin Natya akan memberi kelonggaran hingga 15 menit lagi. Perutnya harus segera diisi karena sejak pagi tadi ia bahkan belum memakan sesuatu.
USetelah melihat jam pada layar ponsel lalu diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan. 5 menit waktu yang tersisa untuk ROM itu. Jika belum juga menunjukan batang hidungnya dalam batas waktu yang Natya tentukan, dengan terpaksa, ia akan turun ke bawah untuk makan siang.
Tak lama setelah itu, pintu kaca auditorium terbuka. Tampak seorang pria berpakaian formal tengah menutup pintu kembali.
Yakin sepenuhnya jika pria itu merupakan ROM baru, Natya sontak bangkit menanti pada posisi berdirinya. Dengan memandang sekaligus menilainya, Natya amat yakin bahwa Sarah pasti akan langsung menyukai ROM ini, jika saja ikut melihat saat ini. Kumis tipis, potongan rambut masa kini nan klimis, menggenakan pakaian slim fit. Perpaduan yang semakim menarik saat langkahnya terus memangkas jarak mendekati Natya.
"Selamat siang, ibu Natya Raharjeng?" sapa pria tersebut yang ternyata memiliki suara bariton dengan mengulurkan tangannya.
Natya mengangguk kecil seraya lantas menerima ajakan berjabat tersebut. "Selamat bergabung, pak Ilham." Untung saja, Natya masih hapal mengenai nama ROM baru yang srmpat pak Lesmana sebutkan.
"Saya belum resmi bekerja hari ini."
"Oh, iya, pak. Pak Lesmana sudah memberitahu dari awal, kalau mulai besok pak Ilham baru masuk ke kantor." Natya masih memandang ROM-nya yang baru dengan seperlunya.
Ilham hanya mengangguk-angguk serius. Namun, tidak bisa untuk menahan tawanya meski terdengar pelan.
Pandangan Natya terlihat begitu bingung saat menatap ROM-nya yang baru. Bahkan terheran lantaran dirinya sama sekali tidak merasa melucu ataupun melawak sebelumnya.
"Sorry, sorry, tapi memang nggak tahan untuk ketawa."
"Apa ada yang lucu, pak?" tanya Natya tidak dapat menutupi rasa herannya ketika mendengar jawaban aneh tadi.
"Jadi, anak pak Handoyo apa kabar?" Ilham tidak bisa menunda lebih lama sapaannya kali ini.
"Maaf?" Pikiran Natya mendadak kosong. Ia bahkan tidak mengerti untuk bereaksi seperti apalagi. Memikirkan dari mana Ilham mengetahui nama bapaknya. Meski tak menghalangi Natya untuk diam-diam terpikir tentang sosok Tata. Namun, hal yang baru saja terlintas, sontak Natya tepis. Salahkan dirinya yang memang sedikit merindukan sosok Tata.
Kali ini, Natya lebih memberanikan diri untuk menatap bos barunya. Meski menurut Natya sendiri pria di hadapannya kali ini tampan, bahkan sangat tampan, tetapi tidak sama sekali berpikir jika dia adalah laki-laki yang Natya rindukan. Walaupun wajah mereka ada sedikit kemiripan, terlebih pada bentuk wajah dan rahangnya. Namun, Natya semakin tidak yakin dan merasa itu hanya halusinasinya saja. Karena memang dirinya sudah lama tak berjumpa dengan Tata. Terlebih, terakhir kali mendapat kabar, Tata melanjutkan studynya ke Brussel tujuh tahun yang lalu.
"Bingung, ya?" Ilham terkekeh kalem. "Ini memang gue yang udah berubah ganteng banget atau karena makin tua, ya?" Ilham meringis memandang Natya yang justru semakin aneh melihatnya.
Kenyitan Natya semakin dalam layaknya pikiran. Hingga membuat pria itu berdecak geli lalu tertawa sampai matanya menyipit.
"Natya, ini gue yang dulu sering lo tagihin duit kas!" Ilham meyakinkan Natya meski susah payah, tetapi ia cukup terhibur. "Sebenarnya, gue udah nggak kaget. Siapa lagi Natya Raharjeng kalau bukan bendahara galak di high school dulu."
"Eh?" Meski penuh dengan keraguan, Natya mencoba untuk menebak. "Tata, ya?" Jika tebakannya salah, ia tidak terlalu malu nantinya.
"Ilham Tata Alam," jawab Ilham mengangguk cepat. "Akhirnya lo ingat, ya, Nat."
Kedua mata Natya nyaris terbelalak disaat keraguannya berubah nyata. Beberapa reaksi sempat terlintas, akhirnya Natya memutuskan untuk tersenyum kecil. Meski detak jantungnya berubah menjadi cepat.
"Kok nggak kaget, sih?" Suara Ilham menyiratkan ketidaksukaan lewat candaan. "Atau kenangan gue yang pasti buruk banget."
Natya mendengus samar masih mencoba menetralkan debaran dadanya. "Ya, terus mau gimana?" sahutnya tenang. "Berhubung sekarang lo jadi bos gue, nggak enak aja mau komentarnya."
"Jadi karena jabatan aja nih?" Ilham masih menggoda Natya.
"Iya." Natya meringis pelan. "Ini berhubung masih perkenalan, gue mau minta maaf loh kalau dulu suka nyakitin lo, ya. Takut aja kalau nanti lo suruh aneh-aneh."
Tidak berucap apapun, Ilham hanya tersenyum simpul terlihat lebih tulus. "Memangnya lo mau bilang apa waktu baru ketemu sama gue lagi?"
Saat ini yang terlintas di dalam ingatan Natya hanya memutarkan setiap kejadian yang ia lakukan bersama dengan Tata. "Hah?" sahut Natya yang tidak sepenuhnya fokus.
"Ini lo berubah kalem atau gimana?" Ilham menggeleng tak percaya mengingat kelakuan Natya dulu cocok disebut preman.
Tentu saja karena Natya teringat akan perasaannya kepada Tata. Meski kini, ia cukup sadar diri bahwa tak lagi sederajat dengan Tata-nya, yang sudah tidak ada lagi. Sudah terganti dengan sosok Ilham yang terlihat lebih dewasa, tengah berdiri di hadapannya saat ini.
Sesaat setelah itu keheningan menyelimuti mereka. Terlebih pandangan Ilham masih menelusuri Natya dari atas kepala hingga ujung kaki. Pandangan Natya sudah terputus sejak awal ketika mendapatkan tatapan menilai dari Ilham. Tatapan intens itu cukup membuat Natya lebih kesulitan menghirup napasnya.
"Jadi, berapa lama kita nggak ketemu?" ucap Ilham masih menatap Natya lekat.
Pertanyaan tersebut membuat Natya kembali memandang Ilham yang lebih tinggi darinya meskipun singkat. "Delapan tahun, mungkin?"
"Delapan tahun?" ulang Ilham kembali mengingat masa-masa beranjak dewasanya dulu. "Lama juga ya ... waktu itu kita masih lucu-lucunya."
Natya menghela napas berat. Ini semakin membangun batasannya di antara mereka. Namun, ketika Natya ingin mencoba untuk membuka hati, lantas terbayang sosok cinta pertamanya yang membuatnya berakhir dengan kesendirian lagi.
"Oh ya, Nat, untuk besok siang, kita akan berkunjungan ke tiga outlet di daerah BSD dan Alam Sutera. Sekalian lihat situasi di sana."
"Baik, pak," ucap Natya terkesiap.
"Profesional, ya?"
Natya mengangguk cepat. "Harus profesional."
"Kalau di luar jam kerja, santai aja ya, Nat," balas Ilham terdengar amat tenang.
Kini, Natya kembali mengangguk dengan seulas senyum tipis.
"Deal?" Kemudian Ilham mengajak Natya untuk berjabat tangan.
Tidak lantas membalas uluran tangan Ilham, Natya justru bergeming sejenak menatapnya. Padahal di awal sebelum ini Natya dengan mudah menerima uluran tangan Ilham. Namun, setelah mengetahui Ilham yang di hadapannya merupakan Tata-nya, rasa dari genggaman tangan Ilham seakan menjalar hingga ke relung hati Natya.
Karena yang pasti, Natya merasa bahwa sentuhan ini bukan hanya sekedar jabat tangan biasa. Hal ini merupakan pertanda jika perasannya kepada pria tersebut tidak pernah padam. Seakan tak lekang di dalam benak meski sudah 8 tahun terlewati. Sentuhan pertama setelah selama ini berlalu, kembali mendebarkan hanya untuk Natya.
* * *