Tepat di penutupan hari kerja kantornya, Ilham hanya memeriksa kertas laporan hasil penjualan seluruh outlet, baru saja Ilham cetak dari email yang Natya kirimkan. Pekerjaan Ilham jauh lebih santai dibandingkan beberapa hari sebelumnya, lantaran tidak ada jadwal untuk kunjungan. Ia pun baru saja menyelesaikan meeting dengan seluruh regional operation manager.
Dering handphone milik Ilham berhasil menunda aktivitas. Sontak senyumnya mengembang sempurna saat nama penelepon terpampang pada layar.
“Mas Ilham, mau makan siang sama siapa?"
"Belum tahu nih. Makan siang masih tiga puluh menit lagi."
"Tapi udah ada rencana belum?”
"Nggak ada rencana, aku kayaknya makan di kantin aja."
“Aku ke kantor mas Ilham boleh nggak? Makan siang bareng, yuk!”
Senyum Ilham semakin merekah. "Boleh, boleh." Bahkan tidak bisa menahan kekehan senang. "Tapi kamu memang ada yang ngantar? Aku nggak kasih izin kalau kamu yang bawa mobil sendiri. Cukup waktu itu kamu nyerempet angkutan umum," larangnya merentet.
“Ya ampun, mas, kejadian itu udah lama banget. Lagipula angkutan umumnya aja yang ugal-ugalan."
"Tetap nggak, ya. Kita udah pernah bahas ini, Arin...." Ilham kembali mengingatkan dan tak ingin dibantah.
“Please....” Arin terdengar memohon. "Sekali ini aja, kok. Boleh ya mas Ilham?"
"Jangan ya, Arin sayang. Kalau aku bilang iya, terus kamu nyetir sendiri justru di sini aku bakalan khawatir. Jangan ya, sayang...."
"Ya udah, aku naik taksi aja."
"Okay kalau gitu." Ilham memberi izin sepenuhnya.
"Sampai nanti."
"Kamu hati-hati, aku tunggu."
Ilham tersenyum kecil mengingat Arin, kekasihnya, yang sudah dua minggu belum sempat dia temui. Tiga tahun hubungan mereka berjalan hampir tidak ada pertikaian sama sekali. Arin yang penurut seakan berhasil membangun hubungan dengan Ilham, sehingga lebih tentram. Tak heran, Ilham bisa bertahan dengan Arin selama ini. Mengingat sebelumnya sering kali berganti pasangan.
Tak lebih dari setengah jam, tiba-tiba pintu ruangan Ilham terbuka. "Mas Ilham, serius banget sih," sapa Arin dengan cengiran khas di wajahnya.
Ilham langsung mengalihkan pandangannya dari kertas laporan. "Hei! Kok cepat banget?" Masih terheran, lalu beranjak dari tempat duduknya melangkah mendekati Arin.
"Aku dari rumah mama, makanya cepat." Arin mengecup pipi kiri Ilham, yang di balas pelukan singkat dari pria itu.
Sudah menjadi kebiasaan tiga tahun ini. Ilham tidak lagi terkejut meskipun dari awal juga tidak menolak. Ia mengusap rambut Arin lembut, betapa dirinya merindukan Arin.
"Kumisnya makin tebal aja, mas," ucap Arin seraya mengusap pipi Ilham seraya tertawa kecil.
"Masa sih?" Ilham mengerut tidak percaya. "Padahal baru minggu lalu aku lupa cukur, masa udah tumbuh lagi."
"Nanti dicukur lagi, mas," pinta Arin menunjuk kumis Ilham.
"Memang kenapa?" Ilham tertawa pelan. "Bukannya lebih bagus begini," sambungnya tetap dengan percaya diri.
"Enggak ah, jadi kelihatan lebih tua empat tahun," sanggah Arin sangat tidak setuju.
"Memang aku jadi keliatan tua?" Ilham memastikan. "Ah, enggak kok," ujarnya bermonolog.
Arin menghela napas samar. "Ya sudah, terserah mas Ilham aja. Asal jangan kayak Pak Radennya unyil."
Ilham tersenyum simpul ketika Arin kembali mengalah. "Iya, nanti aku cukur," bisiknya seraya merangkul bahu gadis itu.
"Nah, gitu dong...." Arin tidak menutupi rasa senangnya membalas dengan merangkul pinggang Ilham.
"Mau langsung makan? Enaknya di kantin atau mau makan di luar?" tawar Ilham teringat tujuan Arin datang ke kantornya.
"Di kantin aja, mas. Kasian kalau mas Ilham bolak-balik lagi, kebetulan aku tadi dibawain bekal sama mama," tutur Arin mendongak menatap Ilham yang jauh lebih tinggi.
"Wah, enak kalau gitu." Ilham sepenuhnya bersyukur dengan pengertian Arin. Sebenarnya, ia juga tidak masalah jika harus bolak-balik dan mengantar Arin pulang nanti.
"Kapan mau ke kantinnya?" tanya Arin seraya tersenyum.
"Sekarang, yuk."
Setelah Ilham mengajak, lalu menggenggam jemari Arin. Keduanya melangkah keluar menuju tempat penitipan barang di ujung lorong. Karena jika ingin memasuki ruangan tempat kerja Ilham, terdapat sensor dan sistem keamanan yang cukup ketat. Tidak diperbolehkan untuk membawa barang jenis apapun, kecuali ponsel yang akan lewat pintu khusus.
Suasana kantin tampak belum begitu ramai, Ilham dan Arin memilih meja di posisi pojok kanan tidak jauh dari letak catering berada.
"Mas, om Lesmana ada nggak?" tanya Arin membuka percakapan.
"Kayaknya, nggak ada. Om lagi ada pertemuan di Malaysia sampai akhir bulan ini," balas Ilham seraya membuka kotak bekal Arin.
Arin yang terdiam hanya mengangguk paham.
"Memang kenapa?" Ilham mengernyit penasaran mengingat Arin tidak pernah membahas om-nya secara tiba-tiba.
"Nggak apa-apa, tapi tadi sempat mau nawarin makan siang bareng di sini," jelas Arin melihat bekal bawaan dari mamanya cukup banyak untuk mereka berdua.
"Udah sering kali aku ajak om makan di sini, tapi nggak pernah mau, Rin." Ilham sudah menikmati bekal yang Arin bawa dengan lahap.
"Pelan-pelan makannya, mas," Arin tersenyum kecil memperingati Ilham.
"Ini enak banget, kebetulan aku juga lagi lapar," jawab Ilham jujur tertawa kecil tanpa beban.
Arin terkekeh senang. Tujuan membawa makanan ini memang untuk kekasihnya. Setelah ini ia pasti akan bercerita kepada mama, jika Ilham sangat menyukainya. "Mas Ilham deh yang habiskan makanannya," ucap Arin menatap Ilham penuh sayang.
*
"Mbak Natya, kok nggak nungguin aku?" Sarah menepuk bahu Natya yang sedang mengambil catering. "Tungguin aku, mbak. Kita makan bareng," sambungnya setengah memaksa.
Tak membalas, Natya hanya mengangguk.
Karena hampir menjelang pertengahan bulan, pekerjaan Natya dan Sarah seakan silih berganti tak pernah berhenti. Belum lagi menyita waktu dan merupakan deadline. Hal tersebut membuat mereka hampir saja melewati waktu makan siang.
"Tadi kamu ke mana? Tiba-tiba hilang dari peredaran," ucap Natya penuh selidik kepada Sarah yang baru duduk di hadapan.
"Tadi aku ke toilet dulu." Sarah meringis kecil.
Natya yang mendengus geli tidak mempersalahkan lebih lanjut.
Pandangan Sarah dengan iseng menelusuri kantin. Namun, sontak mengernyit seraya menyipitkan mata, memastikan bahwa dirinya tak salah melihat.
"Mbak Natya, coba lihat arah jam tiga! Itu pak Ilham, kan? Bos kamu lagi sama siapa tuh?" rentet Sarah sudah payah menahan heboh.
Tengah hikmat menikmati makan siang, Natya pun berdecak kesal merasa terganggu. Ingin sekali menggerutu namun tetap akhirnya menoleh mengikuti arah pandang Sarah.
"Oh, pak Ilham." Meskipun ucapan Natya datar, tetapi tidak untuk rasa perih yang memberontak protes di hatinya.
"Itu cewek yang kamu maksud kemarin? Yang telepon itu...." Lagi-lagi Sarah mengingatkan Natya. "Cantik banget. Mana mesra abis."
Natya termangu memandang jauh Ilham dan kekasihnya. Seperti baru kemarin Natya merasakan makan siang berdua dengan Ilham. Kini semakin dirinya disadarkan oleh hal yang jelas nyata. "Iya cantik." Dihirupnya napas dalam. "banget." Natya mengulas senyum. Walau rasanya teramat pahit.
Perut Natya yang baru terisi beberapa suap berubah menjadi penuh saat tak sadar semakin memandangi kedua insan tersebut di ujung sana. Tidak perlu digambarkan secara lengkap, karena mereka tampak begitu bahagia, tertawa bersama dengan tatapan penuh cinta dari keduanya.
"Duh, mbak, ternyata pak Ilham benar punya pacar," ujar Sarah yang sepertinya merasakan hal yang sama seperti Natya rasakan.
"Sarah, lanjutin makannya waktu istirahat kita cuma sebentar."
Sarah berdecak pelan kembali teringat bahwa ia tidak punya banyak waktu lebih untuk memandang dua sejoli itu.
Di setiap kunyahan Natya tersimpan beribu kegundahan. Sempat menginginkan untuk sekali menyapa atau berpapasan kembali dengan Ilham, tetapi ternyata kenyataan yang ada meluluhlantakan perasaan di hati kecilnya.
Terlebih ketika Natya ingat cara Ilham memandang perempuan itu. Melihat itu semua, ia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bergeming di tempat sekaligus menambah lelah dengan kemelut batinnya yang sangat kontras.
"Mbak Natya, dari tadi diam aja. Sariawan kah?" tanya Sarah penasaran karena melihat Natya yang diam sejak kembali dari kantin siang tadi.
Natya tersenyum kecil meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.
"Ngantuk aja. Pusing sedikit juga nih, lihat data pencapaian," jawabnya tentu saja menyangkal. Ia tidak mungkin jujur suasana hati memburuk usai cemburu melihat Ilham dan kekasihnya tadi.
Sarah memandang Natya iba tanpa curiga. "Mau cari kopi dulu nggak kira-kira?"
Jika ada waktu luang di ruang manager area, Natya dan Sarah sering kali turun hanya untuk menyebrang ke coffee shop di depan kantor. Mencari penambah semangat sekaligus melihat dunia luar dengan tujuan meringankan sedikit beban yang keduanya bawa dari dalam gedung.
"Nggak deh...." Natya menyandarkan tubuhnya ke kursi. Meski pandangannya tidak terputus dari barisan angka di layar pc-nya.
"Mbak Natya besok masih masuk, ya?"
Natya menoleh kepada Sarah menatapnya memelas. Teringat ucapan Ilham tempo hari yang akan mengunjungi sisa outlet.
Sarah meringis tak enak. "Padahal besok sabtu bisa dipakai buat leyeh-leyeh. Tapi ternyata masih aja kerja...."
"Yah, mau gimana lagi." Natya menghela napas panjang. Yang sebenarnya lebih susah untuk menahan diri.
"Setengah hari, 'kan?"
Natya mengangguk malas. "Iya setengah hari, tapi tetap aja outlet besok itu jauh banget."
"Semangat dong, nggak sampai malam kok."
Jika sebelum melihat Ilham tengah bersama perempuan di kantin tadi, ataupun sebelum dirinya tahu Ilham bahwa tidak single, mungkin Natya akan sangat bersemangat menyambut besok. Namun, mengingat cinta pertama-nya yang terpendam dan tak akan tergapai, lagi-lagi hanya bisa mengulas senyum getir.
"Lumayan juga mbak, sabtu bersama pak Ilham," bisik Sarah menggoda Natya.
Dengan cepat Natya mendengus keras. "Wah, gila, pacar orang tuh." Tanpa Sarah ketahui, bahkan Natya sudah gila sejak awal. Lantaran ia memang menyukai pacar orang.
Alih-alih tersingung, Sarah justru tertawa lepas. "Selama nggak sama pacar, pak Ilham jadi single."
Natya menggeleng tak habis pikir dengan teori yang diucapkan Sarah. Teringat ia sendiri tidak berminat dengan perselingkuhan. Terlebih bila membahas rekan kerja atau bahkan atasannya.
"Pesanku, hati-hati loh, mbak." Sarah berbisik dramatis. "Tipe laki kayak pak Ilham suka buat jantung berdebar."
Kali ini ucapan Sarah sepenuhnya benar. Bukan hanya jantung Natya yang berdebar kala berada di dekat Ilham. Hingga tingkahnya pun jadi serba salah.
"Kalau nggak berdebar, nggak hidup dong," Natya masih berusaha tenang.
"Bukan debar yang seperti itu." Sarah memanyunkan bibirnya mendadak kesal dengan jawaban Natya.
Tiba- tiba dering telepon kantor di meja Natya berbunyi, menginterupsi obrolan dirinya dan juga Sarah. Rasa malas Natya yang besar tidak membuatnya mengabaikan telepon tersebut. Ia lantas segera menerima panggilan itu.
"Halo, selamat siang, dengan Natya area manager Megatama Mitra, ada yang bisa dibantu?"
"Iya Natya, saya Ilham. Kamu bisa ke ruangan saya sebentar?"
"Oh, pak?" Natya melirik Sarah yang ternyata masih memperhatikannya.
"Sekarang, ya?"
"Baik, pak Ilham. Saya ke sana sekarang." Ucapan Natya dibalas gumaman singkat dari Ilham setelah itu sambungan telepon pun terputus.
"Panjang umur," ucap Natya kepada Sarah seraya meletakkan kembali gagang telepon kantor tersebut.
"Go! Langsung ke atas deh, mbak. Habis ini jangan lesu lagi."
"Ngaco." Natya mendengus geli sambil merapikan pakaiannya ketika baru saja berdiri.
"Kamu 'kan mau ketemu bos cakep. Muka jangan kusut gitu."
Natya menggeleng-geleng tak habis pikir. Setelah itu Sarah tidak membahas lagi justru tengah terkekeh puas. Tanpa menunggu reaksi Sarah yang semakin berlebihan, Natya lantas melangkah keluar, menuju lift berada.
Setelah menaiki 2 lantai, kini Natya sudah berada di depan ruangan Ilham yang tertutup. Setelah mengirup napas dalam lalu diembuskan perlahan, ia mengetuk pintu tersebut. Tak lama terdengar samar suara sahutan bosnya dari dalam.
Natya segera membuka daun pintu tersebut lalu memberanikan diri untuk melangkah ke dalam. Pandangannya disungguhkan sosok perempuan duduk di sofa tengah membolak-balik lembar majalah pada pangkuannya.
Dia yang sempat bersama Ilham di kantin tadi.
"Natya," suara Ilham yang memanggil sekaligus menyentaknya untuk tersadar.
"Iya, pak, ada yang bisa saya bantu?" Meski tidak ada pikiran jelek di benak Natya, panggilan Ilham yang tiba-tiba tidak menghilangkan rasa gugupnya, saat makin mendekati meja Ilham.
"Hari ini saya mendadak ada urusan." Ilham terlihat sibuk membereskan tumpukan kertas di hadapan.
Natya belum membalas atapun menyahuti, justru sibuk memandangi bosnya yang terlihat sedikit tergesah.
"Siang ini kamu handle semua data dari outlet dulu, ya?" pinta Ilham kini menulis cepat di sebuah kertas.
"Ada lagi, pak?" Natya memastikan.
Ilham melirik Natya sekilas. "Ah, iya!" Ia semakin terlihat sibuk membuka-buka beberapa tumpukan map. "Nah, data yang ini...." Ilham menyodorkan map tersebut kepada Natya.
"Saya minta lebih rinci lagi untuk outlet yang paling besar pencapaiannya. Trano outlet saya minta selisih dari kemarin dan jumlah total bulan lalu."
"Baik, pak." Natya mengangguk yakin saat memperhatikan data yang Ilham maksud. Meskipun pekerjaannya akan bertambah banyak karena ini.
"Itu saja saya rasa," ucap Ilham tanpa beban.
Natya tersenyum tipis. Itu saja yang dimaksud Ilham sendiri sudah terlalu banyak menambah kerjaan Natya. Jika kebanyakan orang akan pulang teng-go hari jumat, tapi sepertinya tidak dengan Natya sore ini.
"Terima kasih ya, Nat. Mengenai kunjungan outlet besok, nanti malam saya kabari lagi," ucap Ilham menatap Natya singkat.
"Baik, pak." Natya kembali mengangguk. "Kalau begitu, saya kembali ke ruangan."
Ilham tersenyum kecil seraya mengangguk mempersilakan.
Ketika Natya akan keluar dari ruangan Ilham, pandangannya dan Arin saling bertemu. Arin tersenyum ramah kemudian mengangguk sekilas kepada Natya.
Natya yang sempat bergeming akhirnya membalas senyum tipis. Namun, tanpa diduga Arin beranjak dari sofa kemudian menghampirnya yang masih terpaku.
"Mbak Natya yang sempat satu kelas sama mas Ilham, bukan sih?" tanya Arin ketika sudah di hadapan Natya menelusuri setengah meragu.
"Oh?" Natya mengernyit bingung. Memikirkan bagaimana perempuan yang di hadapannya mengetahui fakta ini. Bahkan tidak ada yang tahu selain Ilham dan juga Natya.
"Santai, Nat," timpal Ilham yang sudah ikut bergabung berdiri di sisi Arin seraya terkekeh kecil. "Kenalan dong, ini Arin, adik kelas kita dulu," lanjutnya menjelaskan.
"Ya?" Masih tidak menyangka bahkan setelah mata Natya membeliak sesaat. Rupanya, ia memang tidak salah dengar.
"Iya, mbak Natya! Ini aku. Udah lama ya nggak ketemu...." ujar Arin tertawa pelan membuat Ilham ikut tersenyum simpul tidak memutuskan pandangan dari kekasihnya.
Seharusnya Natya merasa senang. Lantaran Arin yang mengenalnya bahkan ketika mereka tidak pernah dekat ataupun mengenal baik. Terlebih Arin merupakan siswa populer di kalangan teman seangkatan Natya dulu. Namun melihat Ilham yang tengah memandang Arin saat ini, di penuhi dengan cinta. Semua semakin jelas masuk ke dalam netra Natya. Membuat dirinya semakin tersiksa.
"Oh, iya, Arin. Kamu makin cantik aja," balas Natya seperlunya. Bahkan sudah tidak peduli tentang penilaian Arin terhadap dirinya. Yang Natya inginkan saat ini hanya kembali ke ruangan tempatnya bekerja.
"Ah, mbak Natya bisa aja." Arin mengibas tidak percaya dengan pujian yang Natya ucapkan.
Natya yang menyukai kekasih Arin mencoba untuk tetap netral. Karena memang visual perempuan yang tengah berdiri di sebelah Ilham semakin jauh dari Natya. Jika dibandingkan jelas dirinya tidak bisa sejajar dengan Arin. Terlebih ia memang bukan siapa-siapa.
"Arin sekarang sedang sibuk apa?" tanya Natya mencoba untuk tetap leluasa.
"Aku sih nggak sesibuk mbak Natya sama mas Ilham." Arin menggulum senyuman.
"Wah!" Natya menyamarkan dengusan lelahnya. "Aku doang sih yang ngerasa dikerjain bukan ngerjain kerjaan."
"Ungkapan dari hati terdalam kayaknya," balas Arin yang bermaksud bergurau. "Mas Ilham terlalu banyak kasih mbak Natya kerjaan sih." Arin kemudian menyandarkan tubuhnya kepada Ilham, setelah dirangkul bahunya erat.
"Memang begitu, Nat?" Tanpa terduga Ilham justru ikut bertanya.
Natya yang tengah bergeming menyaksikan kedekatan mereka semakin membisu. Sudah berusaha bertahan lebih melapangkan d**a namun tampaknya tidak cukup berhasil. Berkali-kali hatinya seakan tercubit saat semakin melihat Arin dan Ilham saling menyentuh satu sama lain. Akhirnya, Natya memutuskan lebih memaksakan senyuman di bibir.
"Mbak Natya kapan-kapan boleh lah kita hangout bareng," ajak Arin yang sedikit memahami mimik wajah Natya, memutuskan mengubah topik.
"Next time mungkin." Meskipun Natya sebenarnya tidak ingin meluangkan waktu bersama Arin. Bukan hanya perempuan itu pilihan Ilham, tetapi dirinya pun jarang sekali keluar rumah sekedar jalan. Jika tidak bersama Sarah yang memang pasti sudah terencana atau ketika mengunjungi semua outletnya.
"Benar, ya? Kebetulan aku kerja senin sampai kamis."
"Enak banget empat hari kerja, tiga hari libur," Natya berkomentar lalu mengiyakan singkat.
"Kalau Arin juga sibuk kayak kita, kasian saya dong, Nat. Kita nanti jadi susah ketemunya."
Seketika Natya tertawa lepas, yang sebenarnya meratapi diri. Bukan lantaran ucapan Ilham menurutnya lucu, tetapi semakin heran kenapa rasa suka Natya belum menghilang saat tahu Ilham-nya terang-terangan mencintai perempuan lain.
"Mbak Natya cantik banget kalau ketawa kayak tadi," ujar Arin tiba-tiba membuat Natya memandangnya tidak percaya.
Jadi yang Arin maksud, Natya harus sering menertawakan diri sendiri atau bagaimana. "Semua perempuan memang cantik kok," jawaban sudah Natya pilih yang paling umum. Mengingat Arin yang jauh lebih cantik, tidak mungkin Natya membalas dengan berucap terima kasih.
"Mbak Natya beda banget loh sama yang dulu." Arin masih mempertahankan pendapatnya. "Tanya mas Ilham deh, kalau nggak percaya."
Natya memutuskan tersenyum tipis untuk menghargai Arin. Di sisi lain entah sudah berapa kali, ia mendengar panggilan Arin kepada Ilham semakin berhasil mengacaukan perasaan Natya. Jika tadi hanya terasa tercubit kecil, kini tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Merasakan semua terlalu sesak untuknya.
"Natya nggak perlu kamu puji, Rin. Dia nggak beda jauh sama yang dulu. Masih galak," Ilham menyahuti dengan nada meledek. Tujuannya memang ingin sedikit menggoda Natya, meski penasaran juga bagaimana reaksinya nanti.
Ucapan Ilham yang terbalut dengan lelucon bahkan bisa menusuk rongga d**a Natya. Ini justru membuat pertanda jelas dan besar. Natya semakin memiliki ataupun melihat kesempatan untuk dirinya bersanding dengan Ilham. Sungguh melebarkan pertentangan yang ada. Jika pria itu memandang Natya tidak pernah berubah. Namun Natya masih mengidamkannya tanpa terucap.
"Rin, aku lanjutin kerjaanku dulu, yah. Kalau ada waktu kita bisa cerita lagi," ucap Natya memutuskan untuk mengakhiri.
Arin mengangguk-angguk paham. "Sip deh, mbak." Senyumnya tersungging senang. "Nanti aku minta kontak mbak ke mas Ilham deh."
"Aku keluar dulu, ya. Mari...." ucap Natya melambaikan tangannya kepada Arin. Dan sempat melirik Ilham sekilas masih merangkul kekasihnya.
"Arin, kamu lihat pulpenku, nggak? Di mana, yah?"
Natya tiba-tiba mendengar suara Ilham. Sebelum kakinya keluar dari ruangan, ia sempat menoleh sebentar. Terlihat Ilham tengah kebingungan di mejanya.
"Tadi mas masih pegang, loh, mungkin di meja ketutupan kertas. Carinya pelan-pelan dong, mas." Arin pun tampak menghampiri Ilham.
Tatapan Natya berubah semakin nanar. Ulasan senyumnya pun semakin pahit. Seolah ikut merasakan bahwa di antara Ilham dan Arin bukan lagi karena cinta yang mengeratkan mereka, keduanya juga saling membutuhkan satu sama lain.
Natya sibuk merutuki pemikirannya sendiri. Sekali lagi, ia kesal karena tidak mampu melakukan apapun. Natya ingin menyangkal semuanya dan menjalani hidup seperti biasa, seperti sebelum adanya sosok Ilham.
Sebelum Ilham menjadi bosnya. Sebelum Ilham menjadi begitu sering terlintas di dalam benaknya. Sebelum Ilham memporak-porandakan pikiran dan perasaanya.
Perlu diingat, Natya hanya sekedar manager area Ilham saja. Tidak mungkin ada perubahan tentang status tersebut.
Mungkin memang tak ada tempat di dalam hati Ilham untuk dirinya. Awalnya, Natya kira ketika bertemu Ilham kembali, sekaligus mendatangkan kesempatan untuk dirinya. Ternyata kesempatan yang ia maksud tidak akan pernah ada. Perasaan yang tertanam di dalam hati, seakan memang ditakdirkan hanya bersarang di bagian terpenting Natya saja. Tidak tercipta untuk Ilham ataupun diketahui oleh pria itu.
***