Sejak pulang lebih larut dari kantor, Natya memutuskan membawa pekerjaan tambahan dari Ilham ke rumah. Meski sempat tertunda untuk makan malam, ia melanjutkan hingga tak terasa sudah tengah malam.
Tidak biasanya Natya masih terjaga, meski sedikit berjuang menahan kantuk, akhirnya ia dapat menyelesaikan tuntas data yang diminta Ilham.
Natya menghela napas lega dengan sesekali memijat bahu kanan dan tengkuk lehernya. Rasa perih di mata Natya semakin terasa, tetapi ia masih mencoba bertahan sebentar lagi menunggu kabar dari Ilham.
Di tengah keheningan malam, notifikasi dari pesan di handphone Natya berbunyi. Ia langsung segera mengeceknya. Benar saja, ternyata Ilham yang mengirim pesan tersebut.
Ilham T.A ROM
Natya, sudah tidur?
00:03
Tanpa berpikir panjang, Natya membalas pesan tersebut.
Belum. Jadi bagaimana, pak?
00:03
Tidak lama setelah pesan Natya terkirim, handphonenya kembali dering kali ini menandakan panggilan masuk. Tertera nama Ilham.
"Iya, pak?"
“Maaf malam-malam saya telepon. Tapi saya nggak mengganggu, kan?"
"Oh, nggak, pak. Kebetulan saya juga baru selesai buat laporan yang tadi siang bapak minta."
"Nat, saya baru ingat tentang kunjungan besok pagi."
"Tapi sekarang sudah ganti hari." Natya tak bisa menahan tawanya lantaran tidak sengaja melihat kalender duduk di kamarnya.
"Oh?" Ilham terdiam sejenak. "Iya juga sih...." lalu tertawa pelan.
Natya semakin merasa segar saat mendengar suara tawa Ilham berat yang di telepon. Benaknya lantas membayangkan sosok pria itu.
"Pagi ini saya masih ada urusan. Kita berangkat agak siangan aja, ya, kisaran jam sebelas."
"Baik, pak," jawab Natya terkesiap. Ia memiliki waktu istirahat kali ini lebih banyak. "Langsung bertemu di HO, 'kan?" tanyanya memastikan.
“Nggak perlu ke kantor. Nanti saya jemput kamu aja. Rumah masih yang dulu, 'kan?”
Tubuh Natya meremang. Bahkan ia tidak menyangka jika Ilham masih mengingat rumah orang tuanya. Setelah dulu pernah datang sekali, ketika mereka satu kelompok belajar membuat sebuah karya seni.
"Masih, pak," balas Natya sedikit tersipu.
“Ya sudah, sampai bertemu nanti."
Natya menghela napas samar. "Iya, pak."
"Lanjutkan besok aja kalau masih ada yang belum selesai.”
"It's already done, pak."
"Okay kalau begitu, udah lewat tengah malam, selamat beristirahat, Natya."
"Ba---bapak juga selamat beristirahat," balas Natya dengan suara bergetar gugup.
Wajahnya terasa menghangat mendengar ucapan Ilham. Meski mengetaui ini hanya sekedar basa-basi semata darinya. Namun Natya menjadi semakin tak terkontrol sehingga terlalu mudah merasa istimewa.
Usai mendengar suara terputusnya sambungan panggilan telepon tersebut. Ia bahkan tetap terpaku belum juga meletakkan handphonenya yang masih tertempel di telinga. Tiba-tiba terlintas Natya memang belum pernah belajar membuka hati untuk laki-laki lain, seakan waktu habis karena semakin jatuh dalam pesona Ilham hingga kini. Belum lagi perlakuannya yang seperti tadi sangat, melemahkan Natya secara tidak langsung.
Diletakkannya handphone di atas nakas sebelah ranjang. Harus segera beristirahat, ia mulai merebahkan diri pada tempat tidurnya.
Pandangan Natya jauh menerawang langit-langit kamar. Kedua matanya yang semula menahan kantuk justru sirna tergantikan oleh bermacam perasaan. Sosok Arin yang baru saja Natya temui siang tadi ikut terlintas dalam benak.
Ia sendiri memang tak menyangkal bahwa begitu menginginkan Ilham. Namun, Natya masih cukup berpikir jernih. Terlebih ia pun perempuan sama seperti Arin. Jika posisi Natya dan Arin terbalik, ia juga tak ingin kekasihnya direbut oleh wanita lain.
Karena pikiran Natya yang semalam suntuk tidak beristirahat, pagi-pagi sekali kepalanya sedikit berat. Benaknya terus menerus menjelajah membuat tidurnya tidak berkualitas. Tubuhnya pun melemas tak bersemangat.
Jika tidak ada janji, mungkin Natya akan mencoba peruntungannya untuk kembali melanjutkan tidur. Namun, ia harus segera bersiap, mengingat Ilham akan menjemput.
Sack dress berwarna navy di bawah lutut berlengan pendek pilihan Natya yang dipadukan dengan blazer. Juga membubuhkan sedikit loose powder di wajah serta lip cream mauve pada bibir tipisnya.
Pintu kamar Natya terbuka lebar, terlihat ibunya tengah berdiri di ambang pintu. "Mbak, di bawah ada yang jemput kamu."
"Suruh tunggu sebentar lagi, bu." Beruntung saja, Natya bersiap. Lalu bergegas segera bangkit dari depan cermin riasnya. Tak lupa mengecek beberapa barang bawaan di dalam tasnya.
"Itu bos kamu yang sekarang?" Yuliana, ibu Natya, bertanya ingin tahu.
Natya mengangguk singkat. "Kenapa memang, bu?"
"Itu teman kamu yang dulu pernah ke sini, ya?" Yuliana tersenyum tipis. "Nggak asing aja rasanya kayak pernah lihat."
"Iya betul, bu. Dulu pernah ke sini sama teman-temannya mbak." Natya memandang takjub ibunya yang masih mengingat secara detail.
"Wah, ibu nggak menyangka aja bisa kerja sama lagi dengan cara seperti ini."
Ingin rasanya Natya membalas jika ia pun jauh tidak menyangka, tetapi hanya memutuskan untuk tersenyum tipis.
"Sudah siap, 'kan?" tanya Yuliana memandang penampilan Natya.
"Sudah kok." Natya sekali lagi sambil meneliti dalam tasnya.
"Yuk, ke bawah, bosnya mbak lagi ngobrol sama ayah." Yuliana tersenyum memandang putri sulungnya penuh arti.
Tidak ambil pusing, Natya juga tidak akan membiarkan Ilham menunggu lama, bergegas mencium tangan dan pipi Ibunya.
"Aku berangkat dulu ya, bu," pamit Natya.
Yuliana tersenyum simpul seraya mengusap lembut lengan Natya. "Lancar ya, mbak, supaya nggak pulang malam."
Natya tersenyum senang. "Terima kasih, ibu."
Kemudian Natya melangkah menuruni anak tangga disusul dengan Yuliana yang mengekor di belakang. Di ruang tamu, terlihat Ayahnya dan juga Ilham sedang bercengkrama sesekali mereka tertawa kecil.
Dihirupnya napas panjang bersamaan dengan langkahnya yang semakin mendekat. Natya harus tetap tenang. Sepasang matanya lantas menerawang jauh, mengamati penampilan Ilham hari ini. Lalu menyamarkan senyum. Jika setiap hari kerja Ilham selalu mengenakan pakaian formal, kini penampilannya jauh terlihat casual. Dengan style seperti ini, Ilham tampak lebih muda dari biasanya.
Natya yang sudah menghampiri membuat Ilham dan juga ayah mengalihkan tatapan kepadanya. Pandangan Ilham maupun Natya saling bertemu dengan senyuman tipis di wajah masing-masing.
Ilham bangkit dari duduknya. "Ternyata Natya sudah siap. Kalau begitu saya pamit yah, pak." Ia menjabat tangan ayah Natya.
"Disambung nanti bisa berbincang kembali, nak Ilham. Kalian hati-hati," balas Handoyo tersenyum hangat.
Natya menghampiri Ayah lalu mencium tangannya. "Natya berangkat sekarang, yah."
Handoyo masih tersenyum mengusap rambut Natya penuh kasih sayang.
"Ibu, saya pamit dulu," ujar Ilham kepada Ibunda Natya lalu mencium tangannya.
"Iya, nak Ilham." Yuliana tersenyum semakin mengamati. "Kalau tidak sibuk, mampir-mampir lagi ke sini."
Ilham mengangguk lalu tersenyum simpul. "Pasti, bu. Nanti saya main ke sini lagi."
Natya sontak memandang Ilham ketika mendengar jawabannya.
"Ayo, Nat," ajak Ilham seolah tanpa ada masalah.
Masih memikirkan jawaban Ilham yang sangat ringan, Natya akhirnya hanya bisa mengangguk kaku seraya mengikuti Ilham ke luar rumah.
Kedua orang tua Natya mengantarkan Ilham dan putrinya sampai depan teras. Hingga Ilham dan Natya benar-benar memasuki mobil yang sudah terparkir di halaman rumah.
Sebelum Ilham menjalankan mobil, ia sempat menekan klakson sambil tersenyum memandang kedua orang tua Natya di teras.
"Maaf sebelumnya ya, pak, jadi menunggu saya," ucap Natya sungkan. Mengingat ini di luar dari ekspetasi yang awalnya mengira akan siap lebih dulu sebelum kedatangan Ilham. Namun semua kacau karena kepalanya yang terasa berat ketika bangun tadi, sukses menunda segalanya.
Ilham tersenyum kecil. "Nggak masalah, Nat." Kekehannya tidak bisa ditahan. "Tadi ayah kamu kebetulan mau menemani ngobrol. Ternyata beliau seru juga."
Natya yang menatap Ilham secepat mungkin mengalihkan pandangannya. Pesona Ilham terlalu berbahaya untuknya siang ini. "Ayah memang seru kalau teman ngobrolnya pas."
"Nggak bakal bosan ngobrol sama ayah kamu, Nat."
"Ya, mungkin karena pak Ilham sama ayah saya satu frekuensi...." Natya juga tidak begitu yakin, terlebih dengan topik pembahasan mereka. Tidak ingin lebih banyak menduga, ia pun tidak berminat untuk bertanya mengenai hal itu. Membiarkan rasa pensarannya kembali membesar.
"Mungkin..." Ilham tiba-tiba mendengus. "Saya jadi nggak enak kalau ingat dulu. Zaman kita lagi lucu-lucunya, kurang ngajar, serampangan."
Meskipun Natya bisa melihat ekspresi Ilham yang tengah meringis kecil, dari ekor matanya, ia hanya tersenyum tipis tak ingin menjawab apapun. Jika Ilham tidak enak, apalagi dirinya pun lantas dibuat mengingat beberapa momen yang berhasil memancing kekesalan Ilham kepadanya.
Setidaknya, dengan ini suasana sudah tidak terlalu canggung. Setelah suasana hati Natya tidak terlalu bagus. Terlebih, ini semua baru permulaan, ia harus tahan hingga beberapa jam ke depan untuk melindungi diri sendiri.
Tidak ada obrolan lagi di antara keduanya, hanya diisi lagu-lagu dari radio yang tengah Ilham putar.
Kurang lebih memerlukan 95 menit perjalanan, sesampai mereka di outlet, Ilham langsung mengadakan briefing singkat. Tidak membuang waktu lagi karena baik dirinya dan juga Natya memerlukan waktu untuk istirahat di akhir pekan.
Usai memberi sedikit pengarahan, ketika di tengah melakukan pengecekan seperti biasa, Ilham tiba-tiba melangkah menjauh bersamaan dengan dering pada handphonenya tanpa sepatah katapun.
Ilham menyandar santai. Sesekali tersenyum tak jarang pula terkekeh geli dan menimpali sedikit pertanyaan yang dilontarkan si penelepon.
Natya mengulas senyum tipis kepada beberapa petugas di outlet. Yang sebenarnya senyum menahan pahit. Semua yang dilakukan Ilham tak luput dari kedua netranya. Ia bahkan tidak sengaja melihat nama Arin pada layar tersebut.
Untuk kesekian kalinya, Natya merasa terhempas jauh. Teringat hari ini merupakan akhir pekan yang pasti digunakan untuk bertemu dengan pasangan. Natya tidak mau menambah spekulasi. Lebih dari cukup ketika sudah mengetahui garis besarnya saja. Sangat berhasil memperburuk keadaannya saat ini.
*
Dalam perjalanan pulang baik Ilham dan Natya masih betah untuk diam. Terutama Natya yang disibukkan dengan segala keruwetan di benak. Di dalam konsisi yang serba salah.
"Natya, kamu lapar nggak?" Ilham menoleh memastikan. Ia baru teringat sekarang sudah menjelang sore, dirinya dan Natya belum makan siang.
"Nggak terlalu sih, pak," sahut Natya seperlunya meski tidak merasa terganggu. Yang ia inginkan hanya pulang ke rumahnya.
"Eh, ini malam minggu, kamu ada rencana nggak sebelumnya?" Kini, Ilham sering kali menoleh kepada Natya. "Takutnya kalau saya ajak mampir makan dulu, ternyata kamu sudah ada rencana setelah ini."
"Nggak kok, pak." Meski keinginan langsung pulang sampai kamarnya lebih besar. Tapi Natya harus tahu diri mengingat sudah terima beres diantar dan dijemput oleh Ilham.
"Nggak ada rencana jalan? Sama pacar? Teman?"
Natya menoleh Ilham sejenak. "Nggak juga."
Ilham menahan tawa terdengar seperti dengusan. "Kok nggak? Memang nggak punya pacar?" tanyanya semakin penasaran.
"Iya, nggak," balas Natya pelan yang sebenarnya cukup malu.
"Oh, lagi single...." Ilham mengangguk-angguk paham.
"Memang belum punya dari dulu." Natya menghela napas pelan berusaha keras untuk tidak menoleh kepada Ilham. Ia sangat yakin jika kini tengah mendapat tatapan tidak percaya dari Ilham. Hingga status kesendiriannya seakan mengibur.
Selama ini Natya tidak pernah nongkrong ataupun hangout kalau iseng atau untuk menghabiskan waktu luang. Setiap kali keluar dari rumah selalu ada tujuan jelas. Seperti siang ini bersama Ilham.
Lagipula, ketika Natya menyelesaikan sekolah hingga kuliahnya, ia langsung mendapat pekerjaan. Hingga saat ini jam kerjanya sering kali menyita waktu. Ini yang terburuk karena dirinya yang tidak memiliki kehidupan sosial selain di kantor. Seolah Natya sejak dahulu hanya bisa menaruh rasa kepada Ilham. Sebenarnya ia juga tidak yakin, teringat rekan di kantor mayoritas perempuan dan jika laki-laki mereka sudah banyak yang berumah tangga. Mungkin jika ada pilihan lain, Natya akan segera untuk melupakan Ilham secepatnya.
"You must be kidding, right?" Ilham mengeraskan sedikit suaranya tak percaya. "Okay..." Ia tertawa kering. "Nggak perlu bahas pacar deh, kalau gebetan punya, 'kan?"
"Nggak punya." Natya semakin termangu memikirkan kesendiriannya yang belum memiliki kekasih.
Anggap Ilham berlebihan, tetapi gelengan Natya yang pelan menambah rasa tidak percayanya. Membuatnya pun semakin menggeleng bingung. Natya menghabiskan waktunya untuk apa saja selama ini. Bahkan usia mereka sudah lewat dari seperempat abad, dan perempuan ini masih betah dengan kesendiriannya. Ilham benar-benar tidak habis pikir.
"Nat, kamu nggak terlalu selektif pilih pasangan, 'kan?" Ilham masih menekannya dengan pertanyaan seputar kekasih.
"Ya nggaklah. Memang belum ada yang cocok aja." Natya masih belum berani membalas tatapan Ilham.
"Siapa yang tahu kalau kamu juga nggak pernah coba berhubungan. Kamu mungkin terlalu cuek atau pasif sama laki-laki." Sepertinya tidak perlu lagi Ilham jabarkan bagaimana penampilan Natya yang sekarang. Perkataan Arin kemarin tidak ada kebohongan. Natya memang sudah sangat berubah jauh dibandingkan dengan penampilannya yang dulu. Natya yang sekarang bahkan sangat menarik di mata Ilham, tentu saja masuk ke dalam tipenya.
Ilham tak ubahnya seperti yang lain. Natya sering kali mendapat arahan layaknya semua perkataan dari Ilham. Ia terlalu cuek, pasif, pendiam kepada laki-laki. Jika memang Natya tidak suka, belum tentu kaum mereka juga mendekatinya karena ingin menjadikan kekasih. Terlebih, dirinya memang tidak pernah dekat dengan laki-laki. Bahkan teman dekat perempuannya saja bisa dihitung jari. Bagaimana bisa Natya memulai membuka hati jika hatinya sendiri terbuka hanya untuk Ilham saja.
Natya menghela napas panjang. "Belum kepikiran punya pasangan aja sih. Nanti kalau udah waktunya punya, pasti ada aja cara sama jalannya," jawabnya yang mulai memberanikan diri membalas tatapan Ilham.
"Jujur dari hati atau memang belum bisa lupa sama orang sih, Nat?" Ternyata Ilham masih penasaran. "Don't get me wrong, biasanya ... yang udah-udah ... kalau kayak gini karena suka masih ingat seseorang di masa lalu." Ilham mengedikkan bahu tidak yakin Natya seperti salah satu dari mereka yang dimaksud.
Sangat tidak mungkin Natya mengiyakan. Ketika semua ucapan yang Ilham lontarkan memang benar sepenuhnya. Tapi Natya tidak akan menyerah begitu saja, dengan jujur jika masih susah melupakan Ilham sendiri.
"Biar kamu nggak stres, Nat, kita jalan deh ke Kebon Jeruk, cobain es durian," ajak Ilham dengan antusias.
"Yakin, pak?" Natya melirik arlojinya meragu. "Butuh sekitar dua jam loh." Sebenarnya yang tidak yakin dirinya sendiri. Ilham tidak berkencan dengan Arin, kah?
"Yakin, Nat. Mumpung masih sore, saya juga pengin banget makan serabinya."
Penghilang stres yang Ilham maksud tidak seharusnya sampai membuat mereka berkeliling Jakarta. "Tempatnya yang di dekat lampu merah sebelum perumahan permata hijau itu, kan?" tanyanya memastikan.
Ilham mengangguk cepat. "Iya yang itu." Semakin bersemangat. "Kamu mau nggak? Serabinya enak banget, loh. Saya bisa nambah sampai dua kali. Apalagi waktu saya jalan sama Arin, kita berdua habis sampai lima porsi."
"Terserah pak Ilham aja." Tidak ada pilihan lain. Lagi-lagi, Natya diingatkan oleh kenyataan bahwa sosok pria yang disukainya sudah memiliki tambatan hati.
* * *