Gween terbangun saat perutnya terasa kosong dan cacing di dalamnya berdemo meminta nutrisi. Wanita itu melirik jam yang menunjukkan pukul dua siang.
Gween memiringkan tubuh dan menemukan sebuah catatan kecil di samping bantal beserta sebuah black card yang dulunya juga pernah ditinggalkan pria itu di kamar hotel.
"Khas pelac*r sekali," gumam Gween mengejek dirinya sendiri.
Wanita itu mengambil kartu tersebut dan memandangi dengan senyum miris. Pasalnya karena benda itu dia ada di sini, sebagai pemuas n*fsu laki-laki b******n yang katanya tak b*******h dengan wanita lain.
Gween membaca secarik kertas yang berisi pesan dari Jero.
Pesan makanan setelah kamu bangun, aku ada urusan dan kemungkinan tidak pulang malam ini.
Wanita itu menggeleng dan berdecak tak percaya. Padahal belum ada dua puluh empat jam pria itu sakit dan Gween harus membopong badannya yang lemas itu. Tapi kini dia seolah kembali sehat dan bugar seperti sedia kala.
Mengenyahkan pikiran tentang pria itu, Gween berinisiatif memesan makanan seperti perintah Jero sebelum ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Wanita itu merasa gerah dan badannya lengket sekali, dan sialnya bau cairan pria b******k itu seolah menempel di seluruh tubuhnya. b******n!
Tak membutuhkan waktu lama, Gween segera menarik kaos kebesaran milik pria itu yang ada walk in closet miliknya lalu berjalan keluar menuju dining room.
Baru sampai di living room, Gween mendengar suara berisik dari arah kitchen. Wanita itu menduga bahwa Mommy Jero kembali datang dan ternyata benar, tapi kali ini wanita paruh baya itu tak sendiri melainkan membawa seorang wanita muda yang memakai seragam maid berwarna putih hitam.
"Wah kamu sudah bangun?" Wanita itu menyongsong kedatangan Gween dengan wajah sumringah. "Oh, iya. Kamu tadi pesan makanan ya? Ini udah Tante suruh Salia susun di atas meja," imbuhnya menunjuk ke arah makanan yang sudah terhidang.
Gween mengerutkan dahi. "Salia?" tanyanya tanpa sadar karena merasa tak asing dengan nama itu.
Perempuan berbaju putih dan rok hitam yang memakai celemek senada itu berbalik dan memberikan senyum tipis pada Gween. Sangat berbanding terbalik dengan sikapnya di restoran beberapa waktu lalu.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Gween sengit. Bahkan ia tak sadar dengan kerutan di dahi Mommy Jero yang kaget dengan perubahan suara wanita itu.
Salia sedikit membungkuk tanda hormat. "Maafkan kehilafan saya, Nyonya. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Saya sudah dipecat dan tidak tahu harus bekerja dimana lagi untuk menghidupi kedua orang tua saya yang sudah lansia," ujarnya dengan wajah melas dan air mata yang nyaris menetes di pipi.
"Kalian punya masalah sebelumnya?" Mommy Jero menebak dengan tepat.
Gween menoleh dan menggeleng pelan. "Hanya masalah kecil," jawab wanita itu kalem.
"Kamu merasa keberatan? Tante bisa hubungi agent-nya dan mengganti dengan yang baru," tawar wanita paruh baya itu.
"Oh, gausah, Tante," sela Gween. "Lagipula ini kan penthouse pak Jero," imbuhnya.
"Tapi kenyamanan penghuninya juga wajib diperhatikan," sahut Nyonya Axford seraya mengerling.
Gween tersenyum kikuk, dalam hati begitu takut wanita paruh baya di hadapannya ini berpikiran bahwa dirinya memiliki hubungan lebih dengan putranya.
Namun Gween juga tak mampu menjelaskan posisinya di sini yang hanya sebagai pemanas ranj*ng Jero saja. Terlalu sulit dijelaskan dan Gween memilih diam dan membiarkan waktu yang mengungkap semuanya.
Di lain tempat, Geisya tengah meraung dan membanting barang yang ada di apartemen Dandi. Wanita itu menangis seperti orang kesetanan di hadapan sang Mama yang berusaha keras untuk menenangkannya.
Tadi Dandy juga ada di sana, tapi tak sendirian. Melainkan bersama seorang wanita yang sibuk menggoyangkan tubuhnya di atas ranj*ng untuk memuaskan pria itu.
Rasa terkejut keduanya tak berlangsung lama, karena dengan cepat mereka menarik pakaian untuk menutupi diri.
Geisya mengamuk dan hendak menjambak rambut perempuan itu yang ia ketahui adalah seorang selebgram yang selalu menuai sensasi.
Namun perempuan yang terbiasa membuat masalah dengan siapapun itu tak merasa gentar dan balas menjambak Geisya yang langsung membuat Tania panik karena anak kesayangannya itu belum pulih betul.
Sehingga Dandy dan perempuannya itu memutuskan untuk pergi dari tempat itu sebelum mendapat banyak masalah karena Geisya yang meraung seperti orang gila.
"Aku harus menghancurkan mereka, Ma. Mereka harus mati!" teriak Geisya dengan rambut berantakan dan wajah merah padam.
"Ya ... ya ... ya! Tapi tenangkan dirimu dulu. Kamu tidak akan bisa membalas perbuatan mereka jika terus mengamuk seperti ini."
Geisya menoleh dan mendelik di depan sang Mama. "Telpon Gween, Ma. Aku ingin berobat ke luar negeri! Aku ingin cepat sembuh dan membalas orang-orang itu!" ujarnya penuh tekad.
"Ya, Mama akan memanggil Gween untuk mengurus semuanya," ucap Talia berjanji.
Sesampainya di rumah, Talia langsung mengabulkan permintaan Geisha dengan menelpon Gween berulang kali dan meminta wanita itu untuk segera datang ke rumah.
Hingga tak berselang lama, anak sulungnya itu sudah tiba dengan wajah diam tanpa ekspresi. Bagaimana tidak? Ia diteror saat mereka perlu dan dicampakkan begitu saja saat tak dibutuhkan lagi.
Talia tak mau repot-repot menanyakan kabar wanita itu dan langsung menyampaikan maksud tujuannya yang ingin meminta Gween untuk mencarikan dirinya uang demi mengobatkan Geisya sesuai keinginan putri bungsunya itu.
"Dua ratus juta?" Gween mendelik dan membela dalam waktu bersamaan. "Mama pikir aku mendapatkan uang itu sebanyak itu dari mana?" tanya wanita itu tak habis pikir.
Geisya yang duduk sambil memainkan ponselnya mendongak guna menatap sang kakak. "Waktu itu saja kamu bisa. Kenapa sekarang tidak bisa?" tanyanya tak suka.
"Astaga, Geisya! Waktu itu saja aku mencarinya dengan mengorbankan harga diriku!" teriak Gween hilang kesabaran.
"Lalu sekarang apa susahnya? Kamu tinggal menjual dirimu lagi!" sambar Geisya enteng.
Bagaikan tersambar petir Gween mendengar ucapan sang adik. Tangan perempuan itu spontan terangkat dan hendak menamparnya, tapi Talia lebih dulu mencekal tangan Gween.
"Kamu ingin membunuh adikmu?! Luka di kepalanya belum sembuh betul!" bentaknya dengan delikan tajam.
Gween mundur sempoyongan, menatap dua perempuan itu nanar. "Lalu yang kalian lakukan ini apa tidak membunuhku?"
"Jangan berdrama! Kalau saja Papa masih hidup, Aku tidak akan meminta bantuanmu! Dan kamu pikir, siapa yang membuat Papa mati?" sahut Geisya tajam.
Gween menggeleng kencang. "Bukan aku yang membuat papa pergi. Aku --"
"Kamu! Itu semua karena kamu!" tukas Geisya membentak. "Karena sikap manja dan cengengmu itu sehingga papa harus mati demi menuruti keinginan sialanmu, Gween Calista!" teriak Geisya lagi. Kali ini, kata-katanya tepat menusuk ke jantung wanita itu. Seolah mampu menghentikan detak jantung Gween saat itu juga, apalagi melihat sang mama membuang muka yang artinya setuju dengan ucapan Geisya.
TO BE CONTINUED