Gween masuk ke dalam restoran tempat ia bekerja dengan langkah gontai. Masih jelas terngiang bagaimana Mama dan adiknya melontarkan kata-kata menyakitkan yang benar-benar mengguncang hati Gween yang mendengarnya.
Sembilan tahun yang lalu usia Gween genap tujuh belas tahun, ia merengek pada Papanya untuk membelikannya kado. Sang Papa yang baru saja pulang dari kantor hanya tergelak dan menuruti permintaan anak sulungnya.
Ia pergi ke sebuah toko kue dan membelikan kue ulang tahun yang sangat cantik untuk Gween. Sayangnya kue itu belum sempat ia berikan kepada sang putri karena saat perjalanan kembali ke rumah, pria paruh baya itu mengalami kecelakaan.
Jelas, Gween merasa amat sangat bersalah. Ia hancur dan sampai membenci hari ulang tahunnya sendiri. Tapi bukan berarti dirinya mau disebut sebagai pembunuh sang Papa karena yang ia tahu kala itu saat mereka membutuhkan begitu banyak biaya untuk pengobatan Papanya, Talia malah lebih memilih mengeluarkan uang untuk menyekolahkan Geisya di sekolah favorit impian gadis itu.
Talia berpikir untuk apa ia mengerahkan seluruh tabungan yang ada untuk pengobatan suaminya yang nantinya belum tentu hasilnya. Bisa saja setelah uang mereka habis, nyawa pria itu pun tetap tak tertolong.
Gween marah besar kala itu, tapi ternyata Geisya dan sang Mama jauh lebih murka dan mengatakan mereka kehilangan sang Papa karena ulah Gween dan mengharuskan perempuan itu untuk menggantikan posisi sang Papa sebagai tulang punggung keluarga.
"Melamun aja, Bun? Ada masalah hidup apa?" Seorang wanita dengan apron berwarna biru muda menegur Gween yang melamun ruang loker.
Sebentar lagi adalah shift kerjanya, dan ia malah melamun di sini seperti orang t***l.
"Hidup aku selalu dipenuhi oleh masalah kayaknya," decak wanita itu sembari meletakkan tas kecil ke dalam lokernya.
Wanita bernama Leoni Grania itu mencibir sembari bersedekap. "Apalagi masalah hidup kamu? Bukannya kamu udah open BO?" tanyanya santai.
Gween menggeplak kepala wanita sialan itu dengan mata mendelik tajam.
"Sakit, b***h!" geramnya yang tak dihiraukan oleh Gween.
"Mampus!" ujarnya sinis sembari berjalan keluar dari loker.
Leoni dan Gween bersahabat sejak mereka sama-sama di bangku Sekolah Menengah Atas. Dan kini mereka kembali bertemu di sini meski dengan jabatan yang tak sama. Jelas saja, Gween tak punya waktu dan biaya untuk melanjutkan jenjang pendidikannya karena ia sibuk bekerja untuk membiayai hidup keluarganya.
Dan Leoni kini sukses menjadi Chef terkenal yang bahkan sering diundang di acara-acara televisi.
"Ngomong-ngomong kamu sama pak bos pacaran ya?" tanya wanita itu santai, tepat di belakang tubuh Gween yang mendelik kaget dan langsung berbalik ke belakang.
"Sembarangan! Nanti kalau ada yang mendengar bagaimana? Bisa jadi bahan gosip anak-anak di sini!" decak wanita itu menggeram.
Leoni tertawa mengejek. "Palingan kamu jadi bulan-bulanan masa."
"Sinting!" gerutu wanit itu.
Gween belum menceritakan tentang hubungannya dengan Jero yang berlanjut setelah dirinya menjual kehormatannya pada pria itu. Leoni hanya tahu Gween nekat mengikuti jejak salah seorang teman yang lebih dulu bekerja pada Mami Flo.
Ngomong-ngomong tentang Mami Flo, Gween belum mendapat titik terang tentang keberadaan wanita licik itu yang sudah membuat Gween harus membayar uang dua miliar yang dilenyapkannya.
Terakhir kabar yang didapat oleh wanita itu bahwa Mami Flo menghilang setelah apartemennya didatangi oleh beberapa pria berbaju hitam yang memiliki banyak tato di tubuhnya. Entah ke mana menghilangnya wanita penyalur jasa haram yang digunakan Gween itu.
"Kita kedatangan tamu penting di VIP room." Salah seorang hosstess memberitahu Gween yang masih memegang nampan kosong.
Wanita itu mendapat tugas untuk mengantarkan appetizer ke VIP yang temannya sebutkan tadi. Sebisa mungkin mereka memberikan service terbaik karena tak jarang para pejabat maupun pengusaha yang melakukan pertemuan di sana akan kembali datang dan menjadikan restoran mereka sebagai tempat penjamuan berikutnya.
Dua orang pria tegap berseragam hitam berdiri di dekat pintu dan tak menoleh atau tersenyum sedikitpun ketika Gween lewat di hadapannya.
Gween menggeser pintu dan mendorong food trolley masuk ke dalam ruangan dimana beberapa pria dengan jas parlente sedang duduk memutari meja oval yang bersampingan dengan dinding kaca. Pemandangan kota nampak jelas dari tempat duduk mereka. Desain mewah dan mahal begitu menguar meski restoran ini belum genap dua tahun di buka secara resmi.
Maka dari itu, kedatangan pejabat kota dan para pengusaha di restoran ini begitu di syukuri. Bahkan Reza sendiri terkadang muncul untuk memperkenalkan diri juga menjamu langsung mereka.
"Jika pihak tersebut terbukti menghalangi, maka kita bisa mendesak pemerintah kota untuk turun tangan menangani." Suara berat bak penguasa itu menjalar di telinga Gween yang seolah sangat familiar dengan kekejamannya.
Wanita itu mendongak, dan benar saja. Seorang Jero Axford sedang duduk dengan angkuh dan menjelaskan sesuatu dengan serius di hadapan beberapa orang yang memfokuskan atensinya kepada pria itu.
Gween menelan ludah susah payah. Sialan! Kenapa pria b******n itu memilih tempat kerja Gween sebagai lokasi pertemuannya dengan para pria parlente ini.
Namun biar bagaimanapun, Gween harus tetap profesional dan menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Berusaha berjalan meski kakinya rasanya hampir bergetar, Gween meletakkan satu persatu hidangan pembuka itu di hadapan tamu penting itu.
Gween menata sebaik mungkin, meski jarinya terasa begitu dingin dan hampir kebas karena sedikit lagi dirinya akan menata hidangan pembuka di hadapan pria itu.
Dengan jantung berdegup kencang, yang entah apa penyebabnya karena seharusnya dia tak perlu setegang ini. Hei, pria itu hanyalah seorang Jero Axford dan mereka bisa berjumpa hampir setiap hari. Tapi ngomong-ngomong Gween merasa ketampanan si b******n itu bertambah berkali-kali lipat saat dia sedang serius bekerja seperti saat ini.
Tapi sialnya, Gween baru menyadari keberadaan seorang wanita seksi yang dari tadi berdiri di samping pria itu dengan rok span merah di atas lutut yang hampir membuat bokongnya melompat keluar karena terlalu sempit.
Gween sedikit membungkuk dan meletakkan hidangan di hadapan Jero. Gila! Pria sialan ini benar-benar gila saat dengan sengaja meremas bok*ng Gween tanpa menghentikan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut brengseknya.
"Perwakilan kota juga sudah mengirim orang mereka, kita tinggal memantau dan menunggu hasil saja," tutupnya yang mendapat decakan puas dari berbagai pihak.
Sementara Gween ingin sekali menyumpal mulut pria itu dengan serbet yang ada di tangan. Apalagi saat dirinya tak sengaja melirik Jero yang tengah menatapnya sambil tersenyum miring sebelum menyesap wine pelan. Jelas sekali pria itu sedang menertawakannya. Sialan!
TO BE CONTINUED