9. Gelora

1010 Kata
Gween dengan susah payah berusaha membaringkan tubuh Jero pada sebuah sofa panjang yang ada di ruang kerja pria itu dan tak lupa mengatur suhu ruangan. Ia tak mengerti mengapa Jero bisa tiba-tiba selemah ini, padahal tadi dia terlihat begitu bugar dan masih sempat berdebat dengan dirinya. Rasanya jika dilihat saat sehat, pria itu seakan tak pernah sakit Perempuan itu merasakan tubuh Jero hangat dan keringat sebiji jagung bermunculan di dahinya. Gween berinisiatif melepaskan kedua sepatu pria itu dan membuka kancing kemeja pria itu meski dengan ragu-ragu. Gween hendak berlari ke dapur dan mengambil air untuk mengompres Jero, tapi pria itu malah menahan tangan Gween dengan sisa-sisa tenaganya. Membuat wanita itu duduk di samping Jero, berlapis karpet sambil mengusap peluh pria itu dengan tisu. Jemari Gween bergerak pelan untuk menyisir rambut pria itu yang tampak berantakan. Wajah tenang dan damai yang Jero tunjukkan saat ini sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang biasa selalu memasang wajah angkuh dan sombong. Jika saja pria itu bisa bersikap lebih manusiawi sedikit saja, mungkin kata sempurna cocok disematkan di belakang namanya. Kantuk mulai menyerang Gween dan ia tak bisa lagi melawannya ketika jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Keesokan harinya, Gween terbangun ketika matahari sudah mulai muncul di ufuk timur dan hal itu tentu saja membuat dirinya melompat kaget bercampur panik sehingga tidak menyadari bahwa saat ini dirinya berada di sebuah kamar luas yang dominan dengan warna abu-abu. "Aku sudah menelpon bosmu untuk izin hari ini." Suara berat nan serak dari arah balkon membuat wanita itu kian berjengit kaget. Ingatannya berputar dengan cepat di mana dirinya tertidur di ruang kerja pria itu dan malah terbangun di kamar luas milik Jero. "Apa yang terjadi?" tanyanya panik pada diri sendiri memeriksa pakaiannya dari atas hingga bawah. Jero memutar bola mata malas melihat hal itu. "Jangan berlagak seperti gadis perawan," gerutunya. Gween mendongak dengan delikan jengkel. "Apa perempuan perawan saja yang berhak menjaga dirinya? Kalau yang tak perawan, diperkosa masal pun tak masalah?" desis Gween emosi, tersinggung dengan cemoohan pria itu. Jero menghembuskan asap rokoknya ke udara sebelum mematikan puntung itu. "Aku tidak berkata seperti itu. Kenapa kamu terlalu sensitif?" "Bukan aku yang sensitif, tapi kamu yang tidak punya hati." Jero terkekeh, kakinya melangkah dengan santai ke hadapan Gween. "Hatiku sudah mati, Gween, membusuk bersama semua ketololanku di masa lalu," ujarnya sembari mempermainkan beberapa helai rambut wanita itu. Gween mendongak dan dapat melihat dengan jelas sorot tajam itu berubah menjadi percikan api yang membuat perempuan itu tak bisa lari kemana-mana ketika Jero menarik tengkuknya dan memberikan ciuman panas di sana. "Jerro ... nghhh ... akuu ...." "Aku sudah berbaik hati memberi waktu agar kamu terbiasa denganku," bisik Jero tepat di telinga wanita itu. "Jadi, tidak ada alasan lagi bagimu untuk mengulur waktu," imbuhnya. Gween memejamkan mata dan berusaha untuk tetap waras, dia benci tubuhnya yang seolah menerima dengan lapang d**a ketika tangan pria itu mulai bergerilya di setiap inci kulitnya. "Jangan menahan tubuhmu. Aku tahu kamu juga setengah mati merindu sentuhanku." Pria itu menjilat sudut telinga Gween yang merupakan titik sensitif wanita itu sehingga ia semakin belingsatan dan spontan mengalungkan tangan di leher pria itu. Jero tersenyum simpul mendapat respon yang dia mau. Pria itu mendorong dengan lembut hingga mereka jatuh ke atas ranjang yang empuk tanpa melepaskan ciuman mereka satu sama lain. Jero yang tadinya masih sedikit merasa lemas, kini seolah tenaganya dipompa kembali dengan kobaran api yang siap membakar keduanya. Hasrat mereka kian memanas, bahkan Gween kini tak segan membalas sentuhan Jero yang mati-matian menahan sengatan gelombang setiap kali jari lentik wanita itu bergerak ringan di atas kulitnya. "Aku benar-benar ingin memasukimu, menghentak dengan hebat diiringi desahan sensual dari bibirmu," geram pria itu sembari menjilati pangkal leher Gween. "Do it!" Suara serah Gween yang menggelitik gendang telinga pria itu meruntuhkan semua pertahanannya. Ditariknya wanita itu menuju pinggiran ranjang dan dengan cepat melempar semua helai kain yang menghalangi tubuh keduanya menyatu sempurna. Jero tak sabar, ia seperti orang yang kehausan di tengah teriknya matahari. Pria itu menyatukan diri, melebur bersama suara lirih Gween yang semakin tak mampu mengendalikan diri. Mereka berburu dengan tempo, waktu dan gelombang dahsyat yang membuat ruangan semakin panas. Aroma keringat menyengat, seirama dengan ritme Jero yang semakin meningkat untuk mencapai puncak gairah untuk yang entah ke berapa kalinya. Keduanya ambruk dalam gelombang cinta yang datang memporak-porandakan keduanya. Di lain tempat, Geisya sedang berusaha untuk menghubungi kekasihnya. Menurut informasi yang ia dapat dari teman-teman pria itu, dia sudah kembali ke Indonesia beberapa hari yang lalu. Geisya berpikir bahwa Dandi ingin memberi kejutan padanya sehingga tidak memberi kabar ketika pulang ke Indonesia. Tapi hari ini wanita itu mulai tidak sabar karena ini sudah lebih satu minggu dari kabar yang ia dapat waktu itu. Namun ia tak kunjung dapat menghubungi pria itu. Padahal, semua akun sosial media Dandi sudah ia hubungi. Geisya berdecak kesal dan beranjak menuju kamarnya. Wanita itu hendak bersiap-siap untuk mendatangi apartemen kekasihnya yang dulu mereka tinggali bersama. "Kamu mau kemana?" Suara Talia terdengar di belakang Geisya yang sedang mengotak-atik ponselnya untuk memesan taksi online. "Nemuin Dandi," sahut wanita itu sembari memandangi stiletto miliknya. Jelas saja ia tak bisa memakai benda kesayangannya itu karena saat ini ia berjalan saja masih butuh bantuan kruk untuk menyangganya agar tidak terjatuh. "Mama temani, ya? Kondisi kamu masih belum stabil," bujuk wanita paruh baya itu yang begitu khawatir melihat anak gadisnya hendak pergi dalam kondisi seperti itu. Geisya berdecak saat memandang kruk yang ada di sebelahnya. "Mama suruh Gween pulang lah, biar bisa anter jemput aku kemana-mana. Kalau sama Mama nanti bisa nyasar." Talia duduk di samping wanita itu. "Kalau dia anter jemput kamu, yang cari uang buat kebutuhan kita dan pengobatan kamu siapa?" Geisya mendengkus kesal. "Dandi pasti nanggung semuanya kok nanti, makanya ini aku mau nemui dia." "Iya, Mama percaya kok. Jadi, sekarang biar Mama yang temani kamu dulu ya?" bujuk wanita itu lagi. Geisya mengangguk dan berjalan pelan menuju teras depan untuk menunggu taksi yang dipesannya datang. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan pujaan hatinya, sang kekasih yang sejak dulu sangat gencar mendekatinya bahkan ketika Geisya masih memiliki pacar waktu itu. To be Continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN