Gween rindu tempat kosnya, dimana dulu dia menghabiskan waktu sepulang bekerja di sana. Tidur seharian atau menonton drama kesukaannya. Ya, beberapa waktu ini dirinya memang lebih memilih untuk tinggal di sebuah kost yang dekat dengan tempatnya bekerja daripada pulang ke rumah yang tidak seperti rumah pada umumnya bagi Gween.
Meski sudah pindah ke penthouse Jero karena paksaan si b******k itu, tapi Gween masih memegang kunci kamar kosnya karena ia sudah terhitung membayar hingga akhir tahun ini.
Gween ingin mampir untuk sekedar membersihkan kamar kosnya. Wanita itu menyapa beberapa teman yang tak sengaja berpapasan dan bertanya soal kabarnya yang sudah sangat jarang muncul di sana.
Wanita itu menghirup panjang udara kamar yang sudah beberapa hari ini tak dirasakannya. Gween mulai menyapu, membereskan beberapa barang yang tak tersusun rapi di atas meja. Ia juga mengganti sprei dan mengisi kembali air diffuser.
Tak terasa sudah hampir dua jam ia beberes dan merasa tubuhnya lelah sekali. Gween membuka lemari dan menemukan beberapa baju tidurnya yang masih tertinggal di sana. Wanita itu pun memutuskan untuk mandi dan berbaring santai untuk sejenak.
Namun sialnya dirinya malah ketiduran dan tidak menyadari bahwa ponselnya mati karena kehabisan daya. Hingga suara ketukan di pintu kamar kosnya membuat wanita itu terbangun dan buru-buru membuka pintu.
Di hadapannya, berdiri seorang Jero Axford yang memakai kemeja putih dan celana bahan berwarna hitam. Jas pria itu tersangkut di lengannya.
"Mau apa kamu kemari?" tanya Gween sengit. Masih mengingat kelakuan kurang ajar pria itu di resto siang tadi.
Jero merengsek masuk sehingga Gween terpaksa mundur untuk memberi jarak dengan pria itu.
"Ini tempat tinggalmu sebelumnya?" tanya pria itu santai sembari berjalan kian masuk tanpa diminta.
"Ya. Dan kamu belum menjawab pertanyaanku, Bapak Jero yang terhormat," ujar wanita itu menekankan.
Jero mengedikkan bahu dan mencolek meja rias wanita itu untuk mengecek debu. "Kamu tidak ada di penthouse, jadi aku susul kemari."
Gween memutar bola mata malas. "Terkadang aku juga butuh ruang. Rasanya terlalu membosankan tinggal di sangkarmu itu," ucap Gween yang menarik gorden jendela dan melihat lampu kota dari lantai dua kamarnya itu. Tentu tak seindah pemandangan di gedung pria sombong itu tinggal, tapi Gween tetap menyukainya.
"Jadi kamu lebih menyukai tinggal di tempat kumuh ini?" ejek Jero sembari mengangkat jari telunjuknya yang ditempeli debu dari kursi kayu yang ada di kamar wanita itu.
Gween mendengkus dan mendelik samar. "Jika kedatanganmu hanya untuk menghinaku, lebih baik pergi!" gerutu wanita itu yang hanya dibalas dengan lirikan sinis dari Jero saja.
"Kenapa kamu tidak mengusir perempuan itu dari rumah?" tanyanya sembari menjatuhkan b****g di atas sofa dan mengambil remote TV yang tutup baterainya sudah hilang entah ke mana.
"Maksud kamu?" Gween bertanya dengan kerutan di dahi.
"Perempuan murahan itu kenapa tidak kamu usir saja dari rumah? Kenapa malah menerimanya menjadi pelayan?"
"Pelayan baru di penthousemu itu?"
"Ya. Bagiku penthouse itu adalah rumahku," ucapnya santai.
"Ya, benar. Rumahmu bukan rumahku. Jadi, aku tidak punya hak untuk mengatur siapa yang boleh atau tidak tinggal di tempat itu. Lagi pula yang membawanya ke sana adalah ibumu," ujar Gween panjang lebar.
Jero mengangguk angguk sembari melepas kemejanya. "Kalau begitu biar saja dia di sana," sahutnya enteng.
"Mau apa kamu?" Gween mendelik waspada saat pria itu menanggalkan kemejanya dan berjalan menuju kaca jendela hanya menggunakan celana bahan hitam yang menggantung di pinggulnya.
"Orang-orang di bawah sana akan melihat dengan sangat jelas," ujarnya dengan senyum miring di wajah.
"Jangan gila, Jero Axford!" pekik Gween tak habis pikir.
"Why not? Aku sudah gila sejak lama, Gween Calista," jawab pria itu sembari terkekeh santai.
Ia juga mengambil sebuah rokok di sakit celana dan memantik api sehingga asap bergumpal menghiasi hembusan nafasnya.
"Kamu merokok?" Gween menyipitkan mata tajam.
Jero menghembuskan asap itu ke udara. "Hanya sesekali," jawabnya santai.
"Merokok, meminum alkohol, bertato dan bermain perempuan. Kelebihan apa yang ada pada dirimu selain kaya raya?" sindir wanita itu sinis.
Jero tersenyum simpul. "Mampu membuat lututmu bergetar dimana pun dan kapan pun." Suaranya terdengar serak dan sialnya hal itu malah terdengar begitu seksi di telinga Gween yang mulai tak waras.
Gween berdecih kesal. "Bukannya dulu kamu impoten?" ejeknya.
Mata pria itu tampak berkilat, sekilas menunjukkan sebuah luka dan amarah yang bercampur menjadi sebuah kebencian yang mendalam. "Ya, itu benar."
Rasa tak enak menjalar di hati wanita itu, ia tersenyum canggung dan otaknya sibuk mencari pembahasan guna mengalihkan pembicaraan.
"Tak ada wanita yang bisa dipercaya. Setiap kali kami para pria mulai bertekuk lutut pada kalian, maka di sanalah sifat asli iblis betina yang kalian miliki akan keluar."
Gween jelas ingin membantah, tapi suara berat pria itu lebih dulu kembali terdengar. "Kalian merasa seolah jadi ratu dan bisa berlaku semena-mena tanpa takut ditinggalkan. Sayangnya tak semua pria sebodoh itu."
Gween berdehem pelan. "Jangan karena kamu disakiti oleh seorang wanita, maka kamu menganggap semua wanita sama," ucapnya dengan suara pelan.
Jero mematikan puntung rokoknya. "Seorang wanita?" Pria itu membeo geli. "Hal itu dilakukan oleh semua perempuan yang kutemui di hidupku."
Gween menelusuri wajah kelam Jero lewat matanya. "Termasuk ibumu?"
Jero terdiam, menatap lampu jalanan yang terlihat dari jendela. "Kurasa," sahutnya.
Perempuan itu terdiam, ia tak bisa berkata apa-apa. Kasih sayang seorang ibu, Gween yak merasakannya. Jadi, untuk membela ibu Jero pun, mulutnya tak punya kekuatan.
Jero mengangkat dagu Gween dengan jari telunjuk. "Jadi, jangan pernah mengharap akan kuratukan. Karena bagiku tak ada wanita yang pantas menjadi ratu," ujarnya datar.
Gween berkedip sebentar sebelum menjawab dengan tenang. "Aku tidak pernah berharap menjadi ratumu. Tidak ada ratu yang hanya menjadi penghangat ranjang."
Jero menyeringai, mengapit wajah Gween dengan satu tangan. "Bagus kalau kamu menyadari itu," bisiknya sebelum menyambar bibir wanita itu dan melumatnya kasar.
Gween memejamkan mata, menutupi sesak di d**a yang menjalar ke mata hingga memerah dan siap mengeluarkan air mata. Bolehkah Gween berlari saja? Toh di dunia ini dia sudah tak memiliki siapa-siapa untuk dianggap keluarga meski mama dan adiknya masih hidup.
Jero mengusap air mata wanita itu yang mengalir tanpa permisi. Mengecupnya berkali-kali, membuai Gween hingga wanita itu tak mampu untuk melawan hasratnya sendiri.
Jero menggeram, merasa frustasi dengan hasratnya yang selalu tak terbendung jika di dekat Gween Calista. Ia sudah mencari tahu semua tentang wanita itu, dan ternyata fakta yang ada membuat Jero merasa lucu dengan dunia.
TO BE CONTINUED