Keadaan berubah sunyi. Luke, Wisky dan Domino masih penasaran dengan kelanjutan cerita Husel. Mereka mendengarkan dengan baik tanpa menyela sedikit pun.
“Nenek bilang ada tempat khusus yang digunakan untuk berjudi dan mengadu kekuatan. Para pejudi handal akan bertanding memperebutkan sejumlah uang. Di arena pertandingan juga tidak kalah menarik. Mereka yag berani dan mampu mengalahkan sang juara bertahan maka mereka akan mendapat rekomendasi,” jelas Husel mengakhiri ceritanya.
“Rekomendasi apa?” tanya Luke yang belum paham.
“Mungkin saja seperti sebuah jabatan?” tanya Domino. Husel memejamkan matanya lalu bahunya terangkat ke atas. Ia sendiri tidak tahu apa yang dimaksud rekomendasi yang dijelaskan neneknya.
“Kita bisa mengambil kesempatan ini untuk memenangkan pertandingan dan mendapatkan uang. Aku lelah tinggal di pinggir desa,” keluh Husel. Wisky yang tiba-tiba menjadi pendiam terlihat merenungkan sesuatu. Luke yang melihat Wisky melamun pun segera menyenggol lengannya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Luke.
“Ya, aku baik-baik saja.”
Luke kembali meluruskan pandangannya. “Baiklah, sepertinya aku harus pergi. Aku memiliki janji dengan seseorang sebentar lagi.” Luke berdiri lalu pergi dari maskas meninggalkan Wisky dan teman-temannya. Luke segera berlari menuju tempat latihan.
Di atas sebuah batu si Kakek sudah menunggunya. Luke segera menghampiri, tapi tiba-tiba saja kakek itu melempar tongkatnya ke arah Luke. Beruntung Luke bisa meghindar dari serangan yang tiba-tiba.
“Kakek, ini aku Luke. Kenapa kau menyerangku?” tanya Luke kesal. Ia tahu kakek itu buta, tapi ia pasti bisa merasakan kedatangan muridnya.
“Aku tidak menyerangmu, justru aku sedang melatihmu,Luke. Teruslah waspada dengan sekitarmu, jika kau lengah maka kau akan terluka,” nasihat si kakek. Luke mengerti bagaimana cara kakek itu mengajarinya.
“Ah, aku paham. Maaf telah menuduhmu,” ujar Luke. Kakek itu turun dari batu besar. Luke menghampirinya.
“Sekarang ambilkan tongkat yang aku lemparkan tadi. Aku tidak bisa bergerak leluasa tanpa tongkat itu,” ucap si kakek.
Dia yang melempar, tetapi aku yang mengambilnya, batin Luke.
“Jangan mengeluh, lakukan saja apa yang aku katakan,” ujar si Kakek. Luke tersentak. Ia lupa kemampuan istimewa milik si kakek. Dia bisa membaca pikiran dan juga perasaan Luke meski dia buta. Luke masih bingung bagaimana bisa pria itu mengetahui segala hal yang ada di sekitar tanpa melihat. Walau sudah tua, kulitnya mengkriput, tapi Luke masih melihat semangatnya berkobar. Ini terlalu berlebihan dan Luke benci untuk mengakuinya ―untuk sekelas pria menyebalkan seperti si kakek. Dia pria yang luar biasa.
“Baiklah, tunggu di sini jangan ke mana-mana. Aku tidak mau mencari kakek-kakek yang tersesat di hutan,” sahut Luke. Ia bergegas mencari tempat jatuhnya tongkat itu. Namun, anehnya Luke tidak menemukan tongkat milik si kakek.
“Kenapa tidak ada? Aku yakin jatuh di sini,” gumam Luke. Ia terus mencari ke semak-semak yang ada di sekitarnya, tapi ia tak kunjung menemukan.
“Cari terus sampai kau menemukannya,” kata si Kakek yang sudah kembali naik ke atas batu. Ia duduk bersila menghadap ke arah Luke yang sedang mencari tongkat miliknya. Luke memperluas pencarian, walau ia sangat yakin tongkat itu datuh di bawah pohon rindang yang daunnya mulai menguning. Namun, tidak ada jejak sama sekali membuat Luke kebingungan.
“Di mana tongkat itu? Kenapa aku tidak kunjung menemukannya?” gumam Luke. Ia berusaha mencarinya dengan teliti sampai sore hari tongkat itu tak juga ditemukan.
Si kakek tertidur pulas di atas batu besar. Luke rasanya ingin menyerah, tapi ia harus meemukan benda itu secepatnya. Mata hitam itu berubah biru. Pandangan Luke semakin tajam dengan jangkauan yang lebih luas. Luke benar-benar tidak menemukan tongkat di kakek. Berbagai cara sudah ia lakukan, tetapi hasilnya nihil.
Luke merebahkan tubuhnya di atas dedaunan kering. Sebentar lagi matahari tenggelam dan hutan akan menjadi gelap. Pencariannya tidak membuahkan hasil. Luke bahkan sudah sangat lelah untuk melanjutkan pencariannya.
“Uaaahhh.” Suara si kakek yang menguap membuat Luke menoleh. Si kakek sedang merenggangkan tubuhnya di atas batu. Luke berdecih melihat gurunya sedang bersantai di atas batu.
“Kakek tua itu menyebalkan,” gumam Luke. Si kakek lalu bersila sembari mengusap jenggotnya.
“Bagaimana? Apa kau sudah menemukannya?”
Luke menghela napas. Tongkat milik kakek itu gagal ia dapatkan. Luke segera bangkit lalu duduk sembari menekuk lututnya. Kedua tangan Luke menyangga tubuhnya sementara ia menatap langit biru yang ditutupi awan tebal. Sebentar lagi hujan mungkin akan turun.
“Aku be―” ucapan Luke terhenti saat melihat si kakek berdiri sambil membawa tongkatnya. Mata Luke melotot tidak percaya.
“Kenapa tongkat itu ada padamu?” teriak Luke sambil menunjuk tongkat yang dibawa si kakek.
“Eh? Benarkah? Jadi yang aku pegang saat ini adalah tongkat milikku? Bukan sebuah ranting?” tanya si kakek yang ikut kebingungan. Hal itu membuat Luke mengusap wajahnya kesal. Mencari tongkat yang ternyata sudah bersama pemiliknya. Luke merasa dibodohi dan membuang-buang waktunya yang berharga.
“Hahaha, maafkan aku,” ucapnya sembari menggaruk kepala. Luke memalingkan wajanya yang kesal. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap.
“Hei, jangan marah anak muda. Semua yang kau lakukan tidak ada yang sia-sia. Melatih kesabaran adalah yang utama dan kau berhasil tanpa menyerah.” Si kakek turun dari batu besar itu lalu menghampiri Luke yang masih berdiam diri di tempatnya.
“Apa kau ingin bertanya sesuatu?”
Luke menatap si kakek yang matanya terpejam rapat. Terkadang Luke pikir pria itu hanya bersandiwara tentang kebutaannya.
“Siapa nama kakek?” tanya Luke membuat si kakek menaikkan alisnya. Dia pikir Luke akan bertanya tentang pelatihan dan semacamnya.
“Panggil saja aku Master Fuu,” jawab si kakek. Luke bersila menghadap si kakek yang berdiri tiga langkah di depannya.
“Boleh aku bertanya di mana Master berada? Apa dia akan segera kembali?” tanya Luke. Dia merindukan guru mesumnya. Ya, walau pun terbilang m***m, tapi bagi Luke Master lebih baik dari pada si kakek.
“Ketika seseorang pergi bertugas jangan pernah berharap dia akan kembali lagi. Aku tidak tahu apa dia bisa kembali lagi atau tidak,” ujar Maeter Fuu sembari melipat tangannya di depan d**a.
“Berarti dia tidak akan kembali?” gumam Luke merasa sedih ditanggalkan Master. Tongkat Master Fuu menyentuh kepala Luke mmebuat pria itu mendongkak.
“Tidak perlu ada yang disesali. Wajar seorang ksatria gugur di medan pertempuran. Mereka akan bangga telah menjadi penyelamat bagi orang yang mereka lindungi. Suatu hari nanti kamu akan mengalaminya, Nak. Berkorban untuk orang-orang desa dan keluarga yang mencintaimu. Walau kau akan kehilangan banyak hal untuk itu,” ucap Master Fuu membuat Luke tertegun.
Luke menatap kedua tangannya yang masih mulus. Dari sekian banyak orang-orang kuat yang ia temui rata-rata dari mereka memiliki bekas luka.
Ini baru awal, aku harus berusaha lebih keras lagi.
Luke menggenggam kedua tangannya lalu menatap Mater Fuu yang berdiri begitu dekat dengannya.
“Master, tolong ajarkan aku.”
Fuu menyunggingkan senyumnya. Ini akan menjadi awal yang menyenangkan.