Perjalanan pulang yang cukup berat bagi Luke. Luka gores di tangannya tak terasa sakit sedikit pun. Wajahnya babak belur seluruh tubuhnya bermandikan tanah. Luke sudah terbiasa dengan penampilan kotornya setelah berlatih dengan Master. Ia akan mandi di sungai jernih yang ada di dalam hutan sebelum pulang. Namun, kali ini sedikit berbeda. Luke memutuskan untuk beristirahat sejenak memikirkan sesuatu yang membuat hatinya gundah.
Masih ada beberapa hari sebelum Master pergi. Luke terduduk di bawah pohon berdaun lebat. Akar-akar menggantung, buahnya kecil begitu juga dengan daunnya kecil berjumlah banyak, tapi batang pohon itu sangat besar. Luke menatap lekat pohon teduh itu.
Pikirannya berkelana jauh membuat Luke termenung beberapa saat. “Bagaimana bisa pohon sebesar ini memiliki daun yang kecil?” pikir Luke.
Suara ranting patah membuat Luke waspada. Ia segera bersembunyi di balik pohon. Ada seorang pria datang. Rambutnya panjang beruban. Tongkat kayu di tangannya menuntun pria itu berjalan. Luke pikir dia buta. Perlahan Luke mulai keluar dari tempat persembunyiannya. Kakek tua itu terdiam membuat Luke terpaku di tempatnya.
“Apa yang kau lakukan anak muda?” tanya si kakek tanpa menoleh. Luke tersentak karena keberadaannya diketahui si kakek buta. Luke meragukan penilaiannya pada kakek itu.
“Aku?―menunjuk diri sendiri― Aku hanya beristirahat,” jawabnya singkat. Kakek itu berjalan ke bawah pohon lalu duduk bersila. Luke ragu untuk mendekat. Pria tua yang terlihat lemah itu sangat misterius. Luke harus berhati-hati padanya.
“Kemarilah, aku obati lukamu,” ujarnya.
Luke tersentak karena si kakek tahu luka gores yang ia dapatkan dari latihan. Terlebih yang membuat Luke heran adalah kakek itu tidak sedikit pun menatapnya.
“Kenapa kau tahu?” tanya Luke penasaran. Ia mulai merasakan bahaya. Kakek tua itu tersenyum tipis. Tongkat yang sejak tadi di tangannya kini ditancapkan ke tanah. Seketika angin kencang berhembus membuat Luke menutup wajahnya dengan satu lengannya. Luke yakin kakek itu bukan orang sembarangan.
“Duduklah.” Kakek menunjuk tempat untuk Luke duduki dekat tongkatnya. Walau ragu, Luke perlahan melangkah mendekat dan duduk bersila di depan kakek tua itu.
“Ulurkan tanganmu,” perintahnya. Luke mengulurkan tangannya. Hanya dengan menyentuh tangannya semua luka di sekujur tubuh Luke menghilang. Ia tercengang dengan keajaiban yang dilakukan pria itu.
“Siapa kau?” tanya Luke. Pria itu terlalu tenang membuat Luke semakin curiga.
“Aku hanya seorang pengembara. Hampir semua daerah di kawasan Graviti sudah kujelajahi. Hampir semua benua sudah kusinggahi. Banyak ras dan kehidupan yang aku temui,” ujarnya membuat Luke terdiam.
Sepertinya dia tidak waras.
Luke berusaha mendengar setiap ucapan kakek itu. Sampai akhirnya matahari mulai meredup membuat Luke harus bergegas pulang. Luke berdiri membuat kakek berhenti bicara. Angin kebali berhembus ketika Luke memundurkan langkahnya. Daun kering terbang tertiup angin yang membawa hawa dingin. Sebentar lagi akan memasuki musim dingin.
“Terima kasih untuk dongengnya, tapi aku harus segera pulang.” Luke menatap kakek itu lekat. Ia jadi khawatir kalau kakek itu tersesat.
“Di mana rumah kakek? Aku akan mengantarmu pulang.”
Kakek itu terdiam, tatapannya lurus ke depan. Luke yakin kakek itu tidak sedang menatapnya. Kedua tangan keriput yang memiliki banyak luka gores hitam itu bertumpu pada tongkat kayu. Mata kakek itu perlahan terpejam.
“Memiliki kekuatan besar tidak akan berguna tanpa memiliki teman,” ucapnya membuat Luke tersentak. Kakek tidak menjawab pertanyaan Luke, tapi justru mengatakan sesuatu yang membuat Luke menyadari sesuatu. Dia tidak memiliki teman.
“Apa maksudmu?” Kedua tangan Luke mengepal. Semua temannya menghindar dan tidak mau bergaul dengan dirinya yang lemah.
“Kau kesepian, Nak. Rasa benci akan menguasaimu jika kau mengisi hatimu dengan kekosongan. Teman akan mengisi kekosongan di hatimu,” ujarnya. Luke terdiam, kepalanya tertunduk. Ia teringat akan teman-temannya yang kabur ketika Luke berhasil menangkis semua serangan mereka. Luke tertawa sinis lalu mengangkat kembali kepalanya.
“Mereka tidak akan mengakui diriku sampai kapan pun jika aku lemah. Aku harus menjadi pria yang kuat untuk dapat pengakuan mereka.”
Kini giliran sang kakek yang tertawa. Luke sendiri tidak yakin dengan ucapannya. Selama ini ia tidak tahu bagaimana rasanya memiliki teman yang mau menerimanya. Ia hanya menjadi orang lemah yang sering diremehkan. Luke sangat membenci dirinya yang payah.
“Suatu hari kau akan mendapatkan teman sejati. Berusahalah untuk mendapat pengakuan dari mereka. Obati kekosongan di hatimu sebelum kekosongan itu membuat hatimu diliputi kebencian,” ujar si kakek.
Luke memalingkan wajahnya. Hari semakin gelap dan dia belum sempat membersihkan diri. Megi dan Efan akan khawtair jika ia belum pulang sampai matahari tenggelam.
“Aku tidak punya waktu untuk itu. Aku harus pulang.”
Luke akhirnya meninggalkan kakek itu sendiri. Ia berlari untuk bisa sampai di rumah dengan cepat. Luke meraba dadanya. Ia mulai menyadari kekosongan itu ada. Ia mulai merasa kesepian. Tangan Luke kembali mengepal, rahangnya mengeras saat teringat semua temannya pergi.
Apa salahku? Kenapa mereka tidak mau berteman denganku? Aku tidak pernah menyakiti mereka.
Luke menghentikan larinya saat melihat sekelompok anak muda sedang berjalan beriringan. Mereka tertawa lepas membuat Luke merasa semakin terpuruk. Sekelompok anak itu melewati Luke begitu saja tanpa ada sapa.
“Sial,” gumam Luke. Ia kembali berlari sekuat tenaga tanpa berhenti sedikit pun. Kenyataan bahwa hanya dirinya yang tidak memiliki teman satu pun.
“Luke!” teriak Megi saat Luke berlari ke kamarnya.Tidak seperti biasa, sang anak tidak menyapa terlebih dahulu. Megi menduga ada sesuatu yang terjadi pada putranya.
“Apa aku boleh masuk?” tanya Megi dari ambang pintu. Luke berdiri di tengah kamar memunggungi pintu. Ia tengah menatap jendela kamar yang terbuat dari kayu berukir. Megi dan Efan adalah pengerajin kayu, setiap karyanya memiliki nilai seni yang indah. Luke mengangguk pelan.
Megi mengusap punggung lebar Luke. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada anaknya, yang jelas Megi tahu cara membuat Luke tenang.
“Ibu….” Luke berbalik. “Kenapa tidak ada yang mau berteman denganku?” ujarnya. Megi tersentak mendengar pertanyaan Luke. Anaknya sudah besar, dari bentuk fisik Luke dan teman-teman di sekitarnya tentu berbeda. Tubuh tinggi pria itu mungkin menjadi penyebabnya karena Megi dan Efan memiliki tinggi tubuh rata-rata.
“Mereka hanya perlu waktu untuk menerimamu.” Luke menepis tangan Megi yang menyentuh tubuhnya.
“Apa salahku? Mereka selalu meremehkan kemampuanku, Bu. Apa aku salah ingin menjadi kuat untuk memperlihatkan pada mereka bahwa aku tidak lemah.”
Magi tersenyum tipis. Wajah tampan Luke yang kotor membuat Megi tanpa sadar mengusapnya. Dia sangat menyayagi Luke seperti anak sendiri. Megi bisa tahu apa yang Luke rasakan.
“Nak, jadilah kuat untuk melindungi mereka, bukan untuk memamerkan kemampuanmu. Banyak orang kuat dan hebat di luar sana, tapi mereka tidak menyadari bahwa mereka dikatakan kuat karena masih ada orang yang lemah.” Megi meraih tangan Luke yang mulus tanpa bekas luka. “Ketika kau ingin melindungi seseorang maka kau akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kau akan memiliki tujuan hidupmu sendiri.”
Luke terdiam mendengar ucapan Megi. Ia menundukkan kepala lalu menyadari lantai kayu yang terpijak kini telah kotor. Luke lupa membuka alas kaki ketika masuk ke rumah. Tatapan Luke mengarah pada sang ibu. Ia harap Megi akan memaafkan perbuatannya kali ini.
“Maaf, lantainya kotor.”
Megi tersenyum. “Tidak masalah, kau bisa membersihkannya setelah makan malam.” Senyum Megi membuat Luke menyadari bahwa ia sedang mendapat hukuman membersihkan lantai.
***
Pagi ini Luke sudah bersiap pergi ke hutan. Sepatu lusuh berwarna coklat yang kotor kini kembali bersih setelah semalam ia menggosoknya. Tas kain berisi bekal dan air pun sudah tersedia di dalam tasnya. Hari ini dia akan bertemu dengan guru barunya.
Luke berdiri membersihkan celana belakangnya yang kotor. Ia akan bersiap pergi, tapi teriakan Efan membuatnya menoleh.
“Luke bisakah kau membantu ayah? Bawalah pesanan ini ke desa, temui bibi penjual barang antic dekat pintu masuk desa.” Efan memberikan sekarung kerajinan tangan yang sudah ia perbaiki. Selain membuat kerajinan kayu, Efan dan Megi terkadang memperbaiki barang yang rusak.
“Tentu, ayah.” Luke menerima karung itu. Ia pikir ringan, tapi ternyata sangat berat. Ayahnya yang tidak lagi muda harus menggendong barang berat ini setiap harinya ke desa. Luke tersenyum tipis melihat wajah ayahnya yang kelelahan.
“Terima kasih, Nak,” ujarnya.
Luke bergegas ke desa sebelum ia terlambat menemui Master. Ia mempercepat jalannya walau napasnya mulai terengah. Ketika ia melewati sebuah rumah berdinding kayu dan beratap jerami langkahnya terhenti. Suara barang jatuh diikuti teriakan seorang pria terdengar hingga keluar. Luke memutuskan bersembunyi di balik semak-semak yang tumbuh mengelilingi rumah itu.
Ia mengintip dari balik semak-semak. Seorang pria tua tengah menyeret anaknya keluar dari rumah. Luke tersentak melihat perlakuan ayah temannya yang kejam.
“Sekali lagi kau gagal menangkap rusa lebih baik kau tidak pulang,”ujar pria itu sebelum masuk ke dalam rumah. Luke ingin keluar dari tempat persembunyiannya untuk melihat keadaan Wisky. Namun, ia mengurungkan niat saat melihat Wisky berdiri menatap ke arah pintu. Pria itu berubah menjadi seekor serigala lalu pergi meninggalkan rumah. Luke jadi paham mengapa Wisky sering menangkap rusa bersama Domino dan Husel.
Dalam perjalanan ke desa Luke terus melamun. Selama ia dekat dengan Wisky tidak sedikit pun pri itu terlihat sedih. Ia sangat bahagia. “Aku akan membuat kalian menerima diriku,”gumam Luke.
Setelah mengantar barang ke desa Luke akhirnya sampai di hutan tempatnya berlatih dengan Master. Di atas batu besar Luke melihat sang Master tengah bersila sembari menutup matanya. Luke pikir Master sedang bertapa, tapi ia salah. Sang Master sedang tidur. Dengkuran halus terdengar ketika Luke berada di dekatnya.
“Kau sudah datang?” ucap Master membuat Luke tersentak. Bagaimana Master tahu keberadananya sedangkan dia tertidur. Perlahan mata yang dikelilingi kulit keriput itu terbuka. Luke baru menyadari keunikan cara tidur sang Master.
“Apa tadi kau tidur?” tanya Luke membuat sang Master menguap. Tidak perlu menjawab pun Luke sudah mengerti.
“Kenapa kau terlambat?” tanya Master. Satu kakinya kini menjulur ke bawah sementara tangannya terlipat di depan d**a.
“Aku harus pergi ke desa untuk mengantar barang.” Luke maju dua langkah. “Apa kita akan latihan fisik lagi hari ini?” tanya Luke. Master menggeleng.
“Aku harus memberitahumu sesuatu yang penting sebelum pergi.”
Senyum Luke mengembang. Jarang-jarang sang Master memberitahu informasi yang penting. Wajah Luke berseri membuat senyum Master mengembang.
“Pergilah ke Gunung Tengah yang ada di Utara. Carilah sebuah batu besar yang berisi petunjuk tentang guru barumu,” jelas Master.
“Benarkah? Apa aku bisa mendapatkan guru yang lebih hebat darimu?” tanya Luke, matanya berbinar senang saat Master mengangguk sambil memejamkan matanya. Semangat Luke membara, ia tidak sabar ingin berjumpa dengan guru barunya.
“Boleh aku tanya sesuatu?” Master membuka matanya.
“Kenapa aku harus pergi ke Gunung Tengah?” tanya Luke. Ia tidak tahu banyak tentang gunung itu. Luke hanya tahu bagian Utara desa Moonstone adalah pegunungan yang memiliki air terjun yang jernih. Selain itu banyak bunga-bunga langka tumbuh di gunung tersebut.
“Karena itu adalah syarat darinya. Kau harus melewati banyak tantangan untuk bisa menjadi muridnya. Aku yakin kau tidak keberatan,” ujar Master membuat Luke memekik senang.
“Aku akan melakukannya.”
“Kalau begitu pergilah. Datanglah sebelum matahari terbenam. Waktumu tidak banyak, Luke.”
Baru saja sang Master selesai bicara, Luke sudah berubah menjadi seekor serigala. Ia melompat tinggi naik ke sebuah batu besar lalu mengaum. Luke menoleh pada sang Master lalu pergi setelah mendapat restu.
“Anak yang polos,” gumam sang Master sambil menggeleng kepala. Tiba-tiba ia tertawa keras yang membuat seseorang yang sejak tadi bersembunyi di balik batu keluar dari tempatnya. Tongkat kayu mendarat di kepala Master membuatnya kesakitan.
“Kau membohongi muridmu sendiri,” ujar pria tua bertongkat.
Master mengusap hidungnya dengan telunjuk. Ia berdiri gagah di atas batu besar yang ia duduki sejak tadi.
“Dia perlu pemanasan sebelum bertemu denganmu.” Master melompat turun. “Bukakah kita bisa menikmati waktu bersantai di pemandian? Hei, kawan sudah lama kita tidak bersenang-senang.” Master menyenggol lengan kakek bertongkat itu.
Keduanya tertawa, mengerti apa yang sedang direncanakan sang Master. “Jangan membuat para wanita menunggu lama, hahaha.” Kakek bertongkat itu tertawa keras. Sudah lama ia tidak pergi ke pemandian bersama sahabatnya. Master memutar bola mata melihat reaksi sahabat seperjuangannya.
“Sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana cara orang buta sepertimu bisa melihat kemolekan tubuh wanita.” Lagi. Tongkat kayu itu mendarat di kepala sang Master. Tatapan sengit dilayangkan pada sahabatnya, tapi itu percuma karena sang sahabat tidak bisa melihatnya.
“Aku punya cara sendiri untuk melihat dunia. Jangan remehkan kemampuanku.”
Master merangkul pundak sahabatnya. “Kita bisa menikmatinya seharian tanpa gangguan dari Luke. Hahaha.”
Keduanya tertawa bersama lalu pergi saling merangkul pundak masing-masing. Mereka bahkan tidak memikirkan Luke yang sedang menyusuri hutan untuk bisa sampai di pegunungan.