Tetesan air mengenai wajah Luke yang masih memejamkan matanya. Ia sedikit terusik dengan seseorang yang membangunkan dirinya menggunakan air. Luke membuka matanya,sinar matahari yang menembus dedaunan pohon membuat ia tersentak. Tempat ini bukan gua yang penuh batu kecil tetapi di hutan dekat sungai Patana. Tempat Luke sering latihan bersama Master.
“Akhirnya kamu sadar.” Tiba-tiba sosok lelaki tua berjenggot muncul di depan wajahnya. Luke menjerit lalu menjauhkan diri dari kakek itu. Ia merasa tidak asing dengan wajah si kakek. Namun, ia lupa pernah bertemu di mana.
“Kakek siapa? Kenapa aku ada di sini?” tanya Luke sembari melihat sekitarnya. Ia harus memastikan lebih teliti kalau dirinya berada di hutan bukan di gunung.
“Aku telah menunggu dua hari dua malam karena kau tak kunjung datang.Sekarang kau datang dan bertanya kenapa kau ada di sini?”
Kakek itu berjalan tepat ke batu besar tempat biasanya Master berdiri menunggu Luke. Kakek itu melompat ke atas batu lalu bersila sembari memegang tongkatnya. Luke baru menyadari bahwa mata kakek itu terpejam, tapi yang anehnya kakek itu tidak kesulitan dalam berjalan.
“Aku memang buta, kau tidak perlu menatapku seperti itu,” ucap si kakek membuat Luke kaget. Kakek yang satu ini bukan sembarang kakek. Luke bisa merasakan aura yang berbeda ketika bersama pria tua itu. Jenggot panjang berawarna putih, ikat kepala warna hitam di dahinya membuat Luke tidak asing.
“Etoo… apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Luke. Ia melipat kakinya, duduk bersila menghadap pada kekek itu. Luke teringat dengan ucapan Master jika ada temannya yang akan melatih Luke.
Apa pria ini orangnya? batin Luke sembari menatap lekat si kakek.
“Kita memang pernah bertemu, tapi itu tidak penting. Aku akan bertanya pa―”
“Tunggu dulu,” potong Luke. “Kau belum memberitahu diriku kenapa bisa ada di sini? Semalam aku tidur di gua yang ada di gunung. Kenapa pagi ini aku berada di sini?” tanya Luke.
“Kau sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu sendiri, bagaimana dengan diriku yang menemukan dirimu pingsan dekat sungai,” jelas si kakek. Luke semakin bingung dengan situasi yang ia hadapi.
“Apa kau bertemu dengan Manson?” tanya kakek membuat Luke mendongkak.
“Kau tahu tentang pria itu? Ya, aku bertemu dengannya semalam.”
Kakek itu melompat turun mendekati Luke. Ia tersenyum tipis sembari menarik-narik jenggot panjangnya.
“Itu artinya kau beruntung. Dia mengembalikan dirimu ke desa.” Luke semakin penasaran dengan pria misterus itu. Walau Luke mendapat informasi tentang Manson semalam, tetap saja rasa penasarannya dengan pria itu belum terobati. Luke ingin tahu lebih banyak tentang Manson.
“Dia Alpha yang kuat. Selama bertahun-tahun ia berhasil menakhlukan hampir setengah kawasan Graviti. Dia petarung yang disegani. Siapa pun yang masuk ke daerahnya tanpa izin maka jangan harap mereka dapat pulang hidup-hidup.”
Luke mengerjapkan mata berkali-kali. Ia merasa bersyukur telah selamat dari pria bernama Manson. Ia kembali mengingat kejadian semalam ketika ia bicara pada pria itu. Dia termasuk pria yang hangat dan tegas. Luke tidak merasa ketakutan berlebih saat bersama pria itu duduk di depannya untuk pertama kali.
Entah apa yang Manson pikirkan ketika bertemu dirinya saat itu yang jelas Luke hanya melihat mata itu penuh mimpi. Manson pria yang tidak pernah melepaskan mimpi apapun resikonya.
“Jadi apa kakek yang akan menggantikan Master?” tanya Luke. Sekarang ia sudah mengingat kakek tua itu. Dia orang yang sama yang telah mengobati Luke.
“Master? Hm… nama yang bagus untuk pria i***t seperti dirinya,” gumam si kakek yang belum diketahui namanya oleh Luke.
“i***t?” gumam Luke. Jika si mater yang hebat dikatakan i***t bagaimana dengan dirinya yang merupakan murid dari pria itu? Luke memalingkan wajahnya kesal. Tentu dia lebih parah dari kata i***t.
“Justru kau lebih hebat darinya,” kata si kakek membuat Luke kembali menatap pria itu. Seolah bisa membaca pikiran Luke hanya bisa mengagumi dalam diam.
“Kakek aku takut padamu. Kau seperti seorang peramal yang baru turun gunung,” kata Luke membuat si kakek terbahak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana penampilan peramal yang baru turun gunung.
“Tidak ada peramal setampan diriku, hahaha.” Kakek itu terbahak lagi membuat Luke mengangkat satu alisnya.
Dia buta, kenapa bisa tahu kalau dirinya tampan? batin Luke.
Suara tawa itu segera mereda membuat Luke tersentak. Ia pikir kakek itu tahu apa yang ia pikirkan saat ini. Luke coba mengenyahkan pikiran itu. Ia segera mengalihkan perhatiannya pada sungai.
“Hah….” Kakek itu menghela napas. “Itu semua tidak penting lagi, sekarang pulanglah. Temui aku besok siang. Kau butuh istirahat, tubuhmu kotor jadi bersihkan terlebih dahulu,” ujarnya.
Luke menyadari keadaannya sama seperti semalam. Tubuhnya kotor juga beberapa luka yang diobati Luis sudah mengering. Luke tersenyum tipis mengingat gadis manis itu. Ia menundukkan pandangannya saat mengingat sosok Luis.
“Tentu aku akan―” Luke terdiam saat tidak melihat si kakek di depan matanya. Luke berdiri berharap bisa melihat sosok kakek itu sekali lagi, tapi tak sedikit pun bayangan yang terlihat. Kakek misterius itu membuat Luke selalu kebingungan.
“Sudahlah aku mandi saja.”
Luke segera membasuh tubuhnya di sungai. Air yang dingin membuat tubuh Luke menjadi lebih segar. Wajahnya yang penuh dengan tanah kini kembali bersih. Rambut panjang kini basah. Sungai Patana yang jernih membuat Luke betah berlama-lama di dalam air.
“AAAA!”
Teriakan itu membuat Luke menoleh. Di seberang sungai ada seorang gadis memunggungi dirinya. Luke yakin gadis itu melihatnya mandi.
“Hei, siapa kau?” ujar Luke. Namun, gadis itu berlari ke tengah hutan. Luke yang penasaran pun segera naik ke atas lalu mengejar gadis tadi. Sayangnya, Luke kehilangan jejak. Gadis itu pergi dan tidak terlihat lagi.
“Padahal aku hanya ingin berkenalan,” gumamnya. Luke memutuskan untuk pulang setelah pakaiannya kering. Di perjalanan pulang ia kembali disuguhi pemandangan yang tak ingin ia lihat ―Wisky kembali dipukul oleh ayahnya.
“Pergi dan cari hewan buruan yang banyak. Jangan hanya tinggal dan bermalas-malasan,” kata pria berotot besar, tapi berpostur lebih pendek dari Luke. Melihat Wisky yang babak belur Luke pun menghampiri setelah pria dewasa itu masuk ke rumah.
“Kau baik-baik saja?” tanya Luke sembari mengulurkan tangannya. Wisky meringis lalu menatap tangan dan wajah Luke bergantian. Mengetahui keraguan Wisky membuat Luke tersenyum tipis. Ia tahu Wisky pasti akan menolaknya lalu pergi dengan kemarahan. Namun, kali ini berbeda, Wisky menerima uluran tangan Luke lalu berdiri berhadapan dengannya.
“Kau terluka, Wisky. Ikutlah denganku ke rumah. Ibu akan dengan senang hati saat tahu temanku berkunjung,” kata Luke. Wisky tidak langsung menjawabnya. Ia terdiam memegangi memar di tangannya. Luke bisa melihat bekas kebiruan yang berusaha Wisky tutupi.
“Kalau kau tidak mau juga tidak masalah. Aku harus pulang,” kata Luke lalu berbalik, tapi Wisky meraih ujung pakaiannya membuat Luke kembali menatapnya.
“Aku ikut denganmu,” kata Wisky membuat Luke cukup kaget. Ia segera mengangguk lalu mereka berjalan bersisian. Luke merasa canggung untuk bicara pada Wisky. Setelah berbulan-bulan mereka tidak bersama mencari rusa di hutan.
“Kenapa kau masih baik padaku, Luke?” tanya Wisky setelah mereka menghabiskan setengah perjalanan. Luke menoleh lalu mengarahkan kembali pandangannya ke depan. Ia sendiri tidak tahu kenapa begitu kasihan pada Wisky. Namun, jika ia mengatakan hal itu pada Wisky mungkin mereka akan berakhir dengan pertengkaran.
“Tidak alasan untuk aku membenci dirimu. Kamu bukan musuhku untuk apa saling membenci?” Luke tersenyum lagi. Ia belajar banyak dari Master. Latihannya untuk bersabar ternyata membuahkan hasil. Terlebih Master pernah mengatakan bahwa mereka―Wisky, Domina, Husel― bukanlah lawan Luke.
“Tapi aku sudah berbuat jahat padamu, Luke.” Jawaban Wisky terdengar seperti penyesalan di telinga Luke.
“Ya, aku tahu untuk itu aku tidak mau membalasnya. Balas dendam seperti lingkaran yang tak berujung. Aku tidak ingin hal kecil seperti itu berlarut-larut.”
Luke menghentikan langkahnya di depan sebuah rumah kayu sederhana. Ia merasakan kedamaian ketika menginjakkan kaki di halaman rumah yang ditumbuhi banyak rumput teki yang tingginya 10 sentimeter. Hujan membuat rumput liar tumbuh lebih cepat.
Wisky berjalan di belakang Luke, ia takut dirinya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Culler. Namun, anggapan itu berubah ketika Megi membuka pintu lalu memeluk Luke dengan mata berair. Di belakangnya ada Efan yang merasa senang anak mereka pulang dengan selamat.
Wisky menyunggingkan senyum tipis merasakan kehangatan keluarga Luke. Keluarga yang akan menyambutnya ketika pulang dan mengantarnya saat pergi. Perasaan yang tidak pernah Wisky rasakan selama ini. Lama ia terdiam memperhatikan Megi yang menangis sembari memarahi Luke yang tidak pulang semalam. Wisky bertanya-tanya ke mana Luke pergi saat hujan lebat kemarin?
“Nak, masuklah,” ujar Megi lembut membuat Wisky tersadar dari lamunan. Luke sudah terlebih dahulu masuk bersama Efan. Wisky menganggukkan kepalanya lalu melepas sepatu boots coklat yang melindungi kakinya. Kehangatan ia rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di lantai kayu rumah sederhana Luke. Berbeda sekali dengan rumahnya yang terasa dingin walau api unggun berkobar menerangi ruangan yang gelap.
“Tanganmu terluka biar aku obati. Duduklah bersama Luke dan suamiku di meja makan aku akan menyusul setelah mendapatkan obat untukmu,” kata Megi. Ia kemudian keluar rumah membuat Wisky merasa tidak enak hati. Wanita yang bukan ibunya itu sangat perhatian membuat Wisky tidak bisa berkata-kata.
“Ibu memang seperti itu. Dia sangat perhatian pada semua orang.” Wisky menatap Luke yag ada di depannya. Luke mengangkat sebuah botol sambil tersenyum.
“Ayo bergabung dengan ayah.”
Wisky membalas senyum Luke. “Tentu saja. Aku ingin tahu bagaimana makan malam yang sering kau santap.”
Wisky merangkul pundak Luke yang lebih tinggi darinya.Luke membalas merangkul pundak Wisky lalu berjalan bersama menuju meja makan.
Luke kau beruntung memiliki keluarga yang peduli padamu, batin Wisky.