Bayi Bermata Biru

1030 Kata
"BONA .....!!!" Bona berlari tergesa-gesa, bahkan dia belum menyelesaikan mandinya. Mendengar teriakan Berlyn dari kamar, gadis itu tergopoh-gopoh menghampiri. "Berlyn astaga, ketubanmu pecah. Sepertinya kau akan melahirkan!" "Awwhh, akhhh ... tapi ini belum waktunya Bona. Masih beberapa Minggu lagi!" "Bodoh, itu hanya perkiraan dokter. Sekarang kau mengejanlah sekuat tenaga, aku akan mencari nenek untuk membawamu ke klinik!" "Cepatlah aku sudah tidak tahan!" Selepas kepergian Bona, Berlyn jatuh duduk di atas lantai begitu saja. Inti perutnya serasa dicabik-cabik, sementara si cabang bayi agaknya sudah tak sabar ingin mengintip dunia. Sedangkan di luar kembang api meletup-letup, memeriahkan pergantian tahun. Ya, tanggal yang bagus bukan? "Akhhh, ayah, mama, ini sangat sakit hikkss!" Berlyn sudah tidak tahan lagi, jika ia menunggu mereka kembali, mungkin anak itu sudah terburu keluar dengan sendirinya. Dia melepaskan celana dalamnya, membuka pahanya lebar-lebar, membiarkan bayi itu yang bekerja sendiri. Susah payah untuk dia mengubah posisinya menjadi jongkok, agar nanti dia dapat menangkup bayinya. Kini Berlyn kembali mengerang, bagian intinya melar selebar kepala bayi yang tengah mencari celah di liang pas-pasan itu. Berkat dorongan tangan, dibantu dengan mengejan kuat, kepala bayi itu sudah berada di luar. Namun, sepertinya dia stuck sampai di sana, sementara badannya masih setia di dalam. "Aaaaaaakkkkk ....!" Sekali lagi dia berusaha dengan sekuat tenaga yang dia punya. Namun rasa sakit itu tak tertahankan, hingga tangannya gemas untuk menarik kepala bayi itu. Ya, dia benar-benar melakukannya. Akan tetapi itu belum mengeluarkan si malaikat, sepenuhnya. Berlyn bahkan tidak mampu melihat ke bawah. Selain takut dengan darah, Berlyn juga belum siap melihat wajah anaknya. "Aaaaaa .... nenek, Bona kumohon kembali lah!" Setelah meraung keras, dia mendengar suara langkah kaki yang terdengar cepat. Ternyata itu adalah Bona dan sang nenek. "Astaga, Nek bayinya sudah kelihatan!" Bona menekap mulutnya, saat melihat sang sahabat yang ternyata tak sanggup melahirkan di rumah sakit. "Cepat ambilkan aku tampah, dan bak air!" Bona segera melakukan perintah Warsih. "Mengejan sekali lagi Nak. Anakmu akan hadir!" "Nenek aku tidak sanggup, ini sakit sekali!" "Ayo Sayang, ikuti nenek. Kau tarik napas dalam-dalam, kemudian buang perlahan dan mengejanlah sekali lagi dengan kuat!" Berlyn berusaha lagi, melakukan intrupsi dari Warsih. Sekali ejenannya suara tangis bayi baru terdengar santar. "Cicitku!" pekik Warsih saat bayi merah itu sudah berada di tangannya. "Huh, huh, huh!" Hanya tersisa suara rintihan kecil milik Berlyn yang terdengar, setelah suara kencang tangis bayinya mereda. "Aaaaaakkk ... welcome baby girl. Nenek keponakanku sangat cantik!" Sedangkan Bona memekik heboh sendiri, di kala ia melihat malaikat kecil milik sahabatnya sudah berada di tangan sang nenek. Bayi yang masih bau darah itu sudah Bona diciumi dengan gemas. Setelahnya, dia bersihkan di dalam bak, kemudian Warsih memerintahkan dia untuk di taruh di wadah tampah beberapa saat. Sementara Warsih sendiri tengah sibuk membersihkan saudara (ari-ari) dari cicitnya. "Minum!" titahnya menyerahkan segalas air untuk Berlyn. Perempuan yang baru saja menyadang sebagai ibu itu, masih menetralkan napasnya. Mengeringkan keringat yang bercucuran di dahi. Bona yang sudah membedong bayi Berlyn, segera ingin dia serahkan untuk diberi asi. Namun apa reaksi sahabatnya? "Aku tidak mau melihat anak itu!" Sakit hati? Tentu saja, bahkan Bona sempat tercengang mendengarnya. "Berlyn kau belum melihat betapa lucunya dia. Ayo lihatlah, dia anakmu!" "Aku tidak mau!" Suara tangisnya kembali terdengar. Bona sangat tahu apa yang ia rasa saat ini. "Berlyn, dia butuh asimu. Aku juga punya d**a, tapi tidak bisa mengeluarkan air s**u!" Suara Bona sudah melemah, menandakan sudah sampai di titik kesedihannya. Ia melihat p******a Berlyn yang basah, bahkan asinya tumpah-tumpah. Namun wanita itu masih mementingkan ego. "Berlyn aku tidak sempat membeli s**u. Tolong untuk saat ini saja beri dia asi, selanjutnya biar aku yang menyusuinya menggunakan dot!" "Ayolah Nak, buang jauh-jauh egomu. Dia anak yang tak bersalah, tak seharusnya kau membenci dia karena kesalahanmu di masa lalu!" Mendengar penuturan sang nenek, Berlyn menangis tersedu-sedu dengan menerima anak dari gendongan Bona. Pertama kalinya ia melihat wajah bayi perempuan yang selama sembilan bulan kurang ini, ia kandut-kandut. Bayi itu tengah mengisap ibu jarinya, dengan mata berkedip-kedip lucu. Ah, hal seperti itu saja sudah membuat hatinya luluh. Kini dengan sukarela Berlyn mengeluarkan buah dadanya untuk memberi asi. "Nenek aku terharu. Lihatlah mereka begitu menggemaskan!" *** Keesokan pagi. Para kuli yang mendengar sang cucu Warsih melahirkan, mereka beramai-ramai menjenguk. Berbeda dengan tetangga yang bergunjing pagi-pagi tadi. Para kuli itu tak pernah mempertanyakan bagaimana bisa seorang perempuan hamil tanpa adanya lelaki. Mereka justru datang memberi pujian dan kata selamat, tanpa mau tahu akar permasalahan apa di balik hamilnya cucu Warsih. Ya, karena mereka sangat menghargai dan tidak ingin menyinggung hati sang majikan. "Nona, anakmu bule sekali!" "Ya, dia sangat cantik!" "Matanya berwarna biru langit!" "Pipinya bulat seperti ibunya!" Bona yang mendengar mereka menyebutkan ciri-ciri fisik sang keponakan, membuat dia jengah. Sementara Berlyn terus tersenyum, walau itu terlihat sangat terpaksa. 'Jika kalian tahu betapa tampan ayahnya, kalian tak akan heran anak ini memiliki ciri-ciri fisik yang bagus. Sayang, bapaknya iblis!' batinnya. "Apa kau sudah beri nama?" "Namanya Bella Ashoka, ya cantik bukan?" jawab Bona. Berlyn langsung melayangkan tatapan maut. "Kenapa kau memutuskan itu secara sepihak?!" "Tapi nama itu bagus!" dukung yang lain. "Ah, betapa jeniusnya aku bisa menciptakan nama. Aku tidak siap terkenal karena bakatku yang menggunung ini haha!" Lihatlah wanita itu berbangga. "Bona, Berlyn sudah memiliki anak. Kau kapan? Aku siap memberimu benih untuk menghasilkan seribu bayi seperti itu!" sahut Rangga. "Benih apa? Benih bunga? Mau kau beri makan apa anakku nanti?" "Bunga!" jawab Rangga sekenanya. "Oh astaga, kau kira anakku lebah!" "Dia mau melamarmu dengan menjual tanah di belakang rumahnya," sahut Warsih terkekeh. "Benarkah?" "Ya, tanah orang!" jawab Jojo tertawa. Hampir Bona ingin merayu Rangga, alhasil ia hanya memberi timpukkan. Semua asik tertawa. Banyak yang menikmati jamuan dari Warsih, ada sebagian pula yang tak beranjak-beranjak memandangi bayi Berlyn. Setelah ia pandang-pandang, wajah putrinya ini memang lebih dominan ke wajah seseorang yang dulu merenggut kesuciannya. Bahkan, mata biru itu sangat mengingatkan hal kelam. Entah, semua seperti kembali menyiratkan kebencian. Jika ego yang akan menang bagaimana dengan nasib anak yang tak berdosa itu. Namun tak bisa dipungkiri, Berlyn sangat menyukai bayi bermata birunya. Walau wajah dia amat serupa, putri yang selama ia kandung itu akan tetap menjadi anaknya. Ya, anaknya saja. 'Dia anakku. Jika aku sudah memutuskan menyayangi dia, maka selama-lamanya dia menjadi milikku. Hanya aku!'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN