Dua bulan berlalu tak terasa sudah Bona dan Berlyn menemani Warsih dengan penuh keharmonisan. Keduanya selalu menjadi penghibur, benar-benar menjadikan wadah tertawa wanita tua itu. Namun, untuk kali ini berbeda. Di balik sikap humoris yang mereka tunjukkan, keduanya saling memendam rahasia.
"Bagaimana caraku mengatakan semua ini pada, Nenek?" tanya Berlyn yang tengah berada di dalam dekapan Bona.
"Biar aku yang mengatakannya secara perlahan!"
"Aku takut, takut sekali mengecewakan nenek, Bona. Untuk bagian ini aku tidak pernah bercerita padanya!"
Bona beberapa kali mengusap air mata perempuan itu. Ya, dia tengah menangisi nasibnya. "Merahasiakan kehamilan sama saja seperti kau menyembunyikan bangkai. Serapat apa pun pasti akan tercium baunya. Perutmu akan membesar, Berlyn!"
"Aku akan menggugurkannya!"
Mendengar itu, Bona menjauhkan tubuh Berlyn dari dekapan. Menatap dia dengan penuh amarah. "Apa otakmu berada di sikut, hah? Ide gila dari mana itu?"
"Aku benci anak ini!"
"Hey, yang pantas kau benci itu ayahnya bukan benihnya! Dia tak bersalah Berlyn. Ayolah pakai logikamu kali ini, aku tidak akan setuju untuk rencanamu!"
"Nenek akan menerima dengan baik, jika pun kita diusir aku siap mencari tempat tinggal lain. Aku justru merasa kalau nenek tahu dia akan murka karena cicitnya kau bunuh!"
"Berlyn, jika kau tidak menginginkan anak itu. Setidaknya lahirkan dulu dia ke dunia, biar aku yang mengurusnya nanti. Kandunganmu sudah 4 Minggu sekarang, kau hanya perlu menunggu 8 bulan lagi!"
Mendengar ucapan demi ucapan dari Bona, Berlyn semakin merasa gusar. Bukan tak menginginkan kehadirannya, hanya saja wanita itu sangat membenci ayah dari anak yang dikandungnya.
"Aku hanya takut mengingatnya lagi, apalagi saat aku melihat wajah anak ini nantinya!"
***
Warga sekitar terutama para pemuda yang bekerja di kebun Warsih, mereka berbondong-bondong mempertanyakan tentang kehadiran dua gadis di rumahnya.
Selama dua bulan ini, mereka memang sengaja untuk tidak berkeliaran dulu di sekitar. Di beberapa hari lalu, Warsih baru memerintahkan mereka untuk ikut ke kebun dan ya, semua orang terpaku. Pasalnya, cucu dari pemilik kebun itu sangatlah cantik.
"Nek, butuh mahar tanah berapa hektare untuk meminang cucumu?" tanya seorang pekerja yang bernama Rangga. Dia adalah seorang kuli pengangkut bunga.
"Tanah siapa yang kau jual, hah?" balas Warsih.
"Tanah orang yang ada di belakang rumahku, Nek!"
Semua kuli yang berada di kebun beramai-ramai menertawakan. Di kala itu, ada satu pekerja yang menghampiri Warsih dan bertanya, "Nek apa kau mau mengekspor bunga ini ke kota sebrang? Kemarin aku memasarkannya melalui online, ternyata ada yang tertarik dan dia menawarkan benefit yang jauh lebih besar dari royalti penjualan kita!"
"Siapa?" tanya Warsih.
"Petinggi dari keluarga besar Gudara. Aku sempat menanyakan untuk apa. Ternyata nyonya Gudara sendiri membuka cabang toko bunga lokal di berbagai daerah. Aku rasa kualitas bunga Nenek bagus untuk menarik pencinta tanaman!"
"Ya, atur saja Jo, jika itu menguntungkan. Aku juga ingin pemasukan kebun ini untuk biaya kuliah cucu-cucuku!"
Di saat pulang dari kebun, Warsih sudah disuguhi pemandangan cucu-cucunya yang tengah berjibaku di depan halaman.
Tampak Bona sedang menyiram tanaman dengan senandung rianya, sementara Berlyn terlihat menyapu di pekarangan. Namun, pandangan Warsih terfokus dengan pinggang cucunya. Entah apa yang ia pikirkan, tetapi bentuk tubuh Berlyn tampak berbeda dari biasanya.
"Nenek!" Berlyn terlonjak saat Warsih menyentuh pinggulnya. Bukan hanya menyentuh, sang nenek juga tampak mengukur lebar badannya.
"Kau hamil?"
Mendengar pertanyaan itu, Bona segera menghampiri dan meninggalkan selang airnya. Berlyn sendiri sudah terlihat menunduk. "Apa karena ini juga kau menolak untukku kuliahkan?"
"Nenek dengarkan aku. Jadi, ini semua kecelakaan, tolong percaya, Nek!"
Guratan wajah Warsih seketika menunjukkan kekecewaan, membuat Berlyn bersimpuh di kaki wanita tua itu. "Nenek maafkan aku. Maaf aku telah mengecewakanmu, jika kondisiku membuat Nenek malu, aku akan pergi ... atau, aku yang akan menggugurkannya!"
"Astaga berlyn benar-benar tak ada otak," rutuk bona di dalam hatinya.
Mendengar itu Warsih menunduk menatapnya, mengangkat tubuh Berlyn untuk berdiri kembali di hadapannya. "Aku tidak sejahat itu mendukungmu menggugurkan kandungan. Berlyn cucuku, jangan khawatir, aku tidak akan mengusir kalian. Mau bagaimana pun kau tetap cucuku dan anak yang kau kandung itu adalah cicitku!"
"Nenek kau sangat baik!" serentak Bona dan Berlyn.
Mereka saling memeluk setelah mendengar perkataan sang nenek yang masih dengan besar hati mau menerima kandungan Berlyn.
***
Usia kandungan Berlyn sudah memasuki trisemester ketiga. Warga sekitar banyak yang bertanya tentang perut Berlyn yang membuncit.
Sementara dia sendiri sudah menutup telinga rapat-rapat. Berbagai macam cemoohan mungkin terdengar, akan tetapi, itu sudah dianggap angin baginya.
Bona, ya gadis itu benar-benar dikuliahkan oleh Warsih. Setidaknya jika sang cucu tidak bisa, masih ada tunas untuk kesuksesan di masa depan.
"Astaga lucu perutmu, aaak ... aku sangat menyukai wanita berperut bulat!" Bona tampak membundari perut Berlyn menggunakan jarinya, sesekali telinganya ia tempelkan di sana.
Gadis itu baru saja pulang dari kampus. Entah kenapa saat melihat perut sahabatnya yang semakin membesar itu, membuat dia semangat dan selalu mendambakan isinya. "Berlyn apakah tidak bisa dikeluarkan sekarang?"
"Kepalamu tiga. Dia belum jadi, dengan sempurna!"
"Aku sudah tidak sabar melihat dia. Kenapa sih lama sekali?"
"Ah, aku bahkan ingin menahannya sampai 20 tahun agar dia keluar langsung bisa bekerja!" Bona memukul pelan kepala Berlyn, secara spontan.
"Udang saja punya otak, masa kau tak ada? Jahat sekali kau!"
Berlyn hanya terkekeh menanggapinya.
***
Sementara di dalam sebuah Mansion Darte tampak meluapkan kekesalannya kepada para pekerja, karena sampai saat ini anak buahnya masih belum berhasil menemukan keberadaan Berlyn.
"Kalian bodoh, mencari satu wanita saja tidak mampu!"
Chan beberapa kali berusaha meredam emosi tuannya dengan sebuah kata-kata penenang. Namun, Darte tampak murka besar karena rasa hatinya yang bergejolak.
"Tuan, jika Anda menginginkan wanita untuk semalam. Saya akan carikan wanita sesuai tipe yang Anda mau!"
"Chan kau tahu apa itu hasrat? Aku normal, tapi aku tidak bisa menyentuh penyakit-penyakit itu. Birahiku hanya padanya. Jika kau memang bisa kuhandalkan, kau harus menemukan dia dan bawa dia padaku, bukan penggantinya!"
Mengingat wanita yang pertama kali Darte sentuh, Chan sudah sangat hafal karakter tuannya. Darte jika sudah menyentuh satu barang, maka mustahil jika ia akan menggantinya dengan yang lain.
"Bagaimana jika wanita sampai hamil? Kau pikir Chan, itu berarti anakku. Setiap tetes darah yang mengalir pada tubuhnya, maka dia adalah pewarisku!"
Darte tampak mengatur napasnya."Ini semua karena kebodohan kalian, mungkin jika kalian menjaganya dengan baik, dia masih akan tetap bersamaku saat ini!"
Pria itu tampak sangat frustasi, dengan gusar ia memijat pangkal hidung. Sementara mereka yang melihat itu semakin khawatir jika kemarahan Darte akan membuat mereka diberhentikan dari pekerjaannya.
"Tuan, bukankah tiap darah yang mengalir di tubuh Anda selalu terletak dendam akan mereka? Lalu, untuk apa Anda masih membutuhkannya?"
"Bahkan dia saja belum mati. Jika seperti ini aku harus melampiaskan dendam dengan siapa? Dengan kau, hah?!"
Darte melempar beberapa barang yang ada di atas meja. Melampiaskan amarah yang semakin memuncak setelah mendengar jawaban dari asistennya.
"Mau ke ujung dunia sekalipun, aku akan tetap menemukanmu Berlyn. Lihat saja nanti!"