Dendam Dalam Dendam
"Nona Berlyn berhenti di tempat!"
Gadis cantik berkulit putih dengan badan sedikit berisi, tengah menghindari cecaran manusia biadab yang sejak dulu selalu mendambakan dirinya.
Ini lah yang selalu ia rutuki jika keluar rumah. Tuhan seperti tak memberinya kesempatan untuk menghirup udara luar, padahal ia hanya sekedar membeli bahan dapur sebentar.
"Tolong jangan beritahu mereka jika aku di sini!"
Berlyn Ashoka, gadis itu memberi intrupsi kepada para tunawisma yang tengah mengistirahatkan diri. Mereka saling mengangguk, menandakan jika mereka dapat dipercaya.
Kemudian, lima pria berseragam hitam datang menghampiri anak-anak gelandang itu, bertanya, "Apakah kalian melihat gadis dengan ciri-ciri tubuh sedikit gempal, berambut kepang, dan memiliki kulit putih?"
Mereka menggeleng bersamaan. Namun, sesaat kemudian anak-anak itu berbinar melihat sejumlah uang yang mereka kibar-kibarkan. "Beritahu dulu, maka uang ini milik kalian!"
Ternyata suap berupa uang ini, mampu meruntuhkan pertahanan mereka. "Di sana, Paman," tunjuk salah satu dari mereka.
"Ya, di dalam beton sana!"
Beberapa manusia itu langsung tertuju pada lokasi. Setelah menyerahkan uang, mereka menghampiri.
"Nona Berlyn, Anda tidak dapat menghindar lagi. Mari ikut kami untuk menemui tuan besar!"
Secara paksa, gadis itu dibopong ramai-ramai karena Berlyn beberapa kali melakukan perlawanan. "Kurang ajar kalian, lepaskan aku, aku tidak ingin melihat tuanmu."
***
Ruang yang dikombinasikan dengan emas itu tampak memukau. Menampilkan nuansa istana glamor yang mewah dan klasik.
Gadis bernama Berlyn itu, menatap kesal para anak buah manusia yang ia sebut raja rimba atau manusia dari segala pemimpin hutan. Ah, entahlah sebutan apalagi yang cocok untuk musuhnya itu.
"Ganti sayuranku yang dirusak anak buahmu, sialan!" Dia masih mengkhawatirkan belanjaanya.
"Berbicara yang baik pada Tuan kami!" tegur salah seorang dari mereka.
"Aku tidak peduli!"
Sorot mata bak elang, pandangan menghunus tajam, senyum bibir yang licik, dan satu lagi gayanya yang khas sang penguasa bumi. Lihatlah betapa bencinya gadis itu dengan dia.
"Apa maumu, Darte?"
Darte Malik Gudara. Mafia, milyarder, pewaris, dan ya raja dari segala kedudukan tertinggi dalam bisnisnya, dia memang layak disebut raja.
"Ayahmu mati di tanganku!"
"Langkahi dulu mayatku!" tekannya.
"Kalau begitu aku akan membunuhmu terlebih dahulu untuk melangkahi jasadmu!"
***
"Selamat selamat selamat!"
Tiba di malam hari, Berlyn dipulangkan dengan utuh oleh beberapa anak buah dari Darte. Bona—sang sahabat yang melihat dia kembali dalam kondisi tanpa alas kaki, bertanya, "Apa kau habis diculik oleh musuh ayahmu? Berlyn, apa yang hilang? Astaga matamu masih dua, 'kan? Terus tubuhmu?"
Dia mengabsen bagian tubuh dari sahabatnya. Berlyn hanya mampu menghela napas berat.
"Bona sayuran dan sendalku yang hilang, kenapa yang kau periksa tubuhku?"
"Ah, aku hanya takut kau dimutilasi dengan mereka. Baiklah biar esok aku saja yang pergi ke pasar. Rugi juga menyuruhmu!"
"Aku ingin menemui, ayah!"
"Paman ada di belakang!"
Berlyn, gadis itu menghampiri ayahnya yang terlihat tengah menyeruput kopi di halaman belakang.
"Ayah!"
"Dari mana saja kau, Nak? Sudah kubilang jangan keluar rumah!"
"Ayah, sebenarnya permasalahan apa antara kau dengan Darte?"
"Kau menjumpainya lagi?"
"Ayah, bahkan dia sedang mengincar nyawamu!"
Darco Lana Ashoka. Dia ayah Berlyn, dia pula yang sebenarnya bersangkutan dengan dendam Darte. Namun, mereka terpaksa terpasung untuk menghindari cecaran dari para manusia berpangkat tinggi itu.
Nahasnya, bahwa Darco memiliki anak gadis. Darte begitu mudah mengecam, akan membunuh anak dan juga dirinya.
"Berlyn, ayah akan menerima konsekuensi dari perbuatan ayah dulu. Mungkin beberapa saat lagi kau tidak akan melihatku lagi. Sebelum kau yang menjadi korban, ayah akan menyerahkan diri!"
Gadis itu bergelayut di tangan ayahnya, menatap penuh rengekan di mulut. "Ayah, tapi apa permasalahannya?"
"Aku membunuh ayahnya. Genro Van Gudara. Karena ia telah memperkosa ibu, bahkan sampai dia meninggal. Lalu, apa salahnya jika aku membalas rasa sakit hatiku? Tapi, anaknya yang tak tahu apa-apa itu justru berbalik menaruh dendam padaku!"
Bertahun-tahun, Berlyn yang selalu menjadi incaran para anak buah Darte yang dia sendiri tak tahu entah datang dari mana konflik itu sampai menjadikannya musuh paling menyebalkan. Saat ini, Berlyn justru baru tahu akar dari permasalahannya.
"Maafkan aku karena permasalahanku kau harus terlibat. Pesan ayah, esok kau dan Bona harus pergi dari sini. Lokasi kita sudah diketahui. Pergilah, ke rumah nenekmu yang jauh lebih aman!"
"Lalu, Ayah?"
"Aku akan menyelesaikan semuanya sebagai rasa tanggung jawab!"
***
Keesokan pagi.
Berlyn tengah menunggu keluarnya Bona dari dalam kamar mandi yang jika dihitung sudah berjam-jam dia di sana.
"Bona apa di kamar mandi kau membuka salon kecantikan?"
Teriakan dari Berlyn berhasil mengeluarkan putri duyung yang baru saja selesai mengganti sisiknya. "Astaga lihatlah Neptunus, kawannya ikan cupang baru selesai mandi!" rutuk Berlyn.
"Berisik sekali kau. Air di kamar mandi keluarnya seperti pipis kucing, tahu kau?!"
"Jangan banyak bicara, cepat kemasi barang-barang, kita akan pergi!"
"Pergi ke mana? Berlyn sadarlah, hanya gubuk ini yang kita punya!"
"Ke rumah nenekku b*****h, astaga rasanya aku ingin menguyahmu hidup-hidup!"
Ya, namanya Bonalia. Dia adalah sahabat Berlyn sejak kecil. Di saat ayah dan ibunya mati tragis di kala dia masih sekolah menengah atas, Darco memutuskan untuk menampung dia sebagai peneman putrinya. Kini, gadis itu sudah seperti bagian dari mereka.
"Lalu paman?"
"Ayah, akan ikut bersama kita!"
"Berlyn, tapi dari semalam paman pergi. Apa kau tak tahu itu? Sekarang apa dia sudah pulang?"
Gadis itu terlonjak kaget. "Kenapa kau tidak bilang? Bona, seharusnya kau melarang ayahku!" teriaknya.
"Aku mana tahu. Memangnya ada apa?"
"Nyawanya sedang dalam bahaya. Kau tahu permasalahanku dengan raja rimba itu? Ya, dia ingin menyelenyapkan kita satu persatu!"
Saat itu Bona masih memasang wajah santainya, bahkan dia tak serepot Berlyn yang begitu gesit mengemasi barang-barangnya. "Lantas kenapa kemarin kau selamat?"
"Karena aku mengelabui mereka. Kau tahu betapa bodohnya aku kemarin? Ya, aku memberi tahu alamat kita. Sekarang jika kau tak mau berkemas, siaplah kau menjadi umpan harimau peliharaan Darte!"
"Astaga!"
"Cepat, kita tinggalkan tempat ini. Aku akan mencari ayah!"
Tiga kali suara ketukan pintu berhasil menghentikan kegiatan Berlyn. Gadis itu baru saja ingin keluar untuk mencari ayahnya. Namun, suatu hadiah di pagi hari ini membuat Berlyn seperti menelan empedu mentah-mentah.
"Ayah!"
"Bona ayahku Bona, keluarlah!"
Bona, gadis itu keluar dengan terburu-buru karena mendengar jeritan sahabatnya. "Astaga, paman!"
Darco tergeletak mengenaskan dengan tubuh bersimbah darah. Berlyn tahu siapa yang mengetuk pintu tadi, jika ayahnya tidak mungkin, pasalnya Darco dipulangkan dalam kondisi sudah tak bernyawa. Sudah dipastikan jika itu anak buah Darte.
"Siapa yang melakukan ini?" gumam Bona sudah dengan lelehan air matanya.
"Darte manusia iblis!" Raung Berlyn bergemeletuk.