Jemima memeriksa penampilannya. Meski hari sudah gelap tetap saja lampu-lampu penerangan bisa menunjukkan tingkat kucelnya seseorang. Suara sandal jepit beradu seirama dengan aspal. Perempuan itu berjalan tergesa. Kan, kesempatan bertemu dengan pria tampan itu jarang jarang ada. Jemima pun kebanyakan tidak peduli dengan itu.
Entah mengapa kini di usianya yang ke dua puluh lima ditambah dengan tuntutan keluarga untuk segera menikah memaksa perempuan itu untuk gerak cepat nyari pendamping. Mobil yang tadi ditumpangi lelaki itu terparkir depan Ruko Bu Haji Lilis. Pemilik rumah kosong di sebelah kantor ZonaJemima.
“Punten,” sapa Jemima, kata punten di Sunda ini memang banyak sekali maknanya, bisa permisi, bisa maaf bisa tolong dan lain sebagainya.
Bu Haji Lilis tersenyum semringah melihat kedatangan Jemima.
“Kemana aja, Neng Mima. Lama sekali gak jajan.”
"Biasalah Bu, Haji. Sibuk nyari buat sesuap nasi." Bu Haji tersenyum dan berpesan agar Jemima tidak terus terusan nyari uang. Harus mikir nyari jodoh juga. Ada apa dengan kata jodoh sebenarnya?
Jemima pilih-pilih camilan yang sebenarnya tidak dia butuhkan, sesekali mendongak ke arah rumah. Mencari akang ganteng yang mau membeli rumah bu Haji.
“Moring sama keripik kaca belum kirim lagi, Neng.” Bu Haji berujar tanpa ditanya oleh Jemima.
“Gak apa-apa, Bu, aku lagi kepengen yang manis-manis.” Kayak cowok yang bertamu ke rumah Ibu.
Jemima berjalan menuju arah rak camilan manis, mengambil beberapa coklat sereal, wafer brownies kering tidak lupa kwaci. Sesekali tetap matanya melirik ke arah rumah Bu Haji.
“Bu Haji lagi ada tamu, ya? Barusan sih nanya ke kantor saya, mau beli rumah?” Jemima mulai kepo.
“Didoakan saja, anak bungsu Ibu kan tahun ini mau nikah, udah ngelamar dari bulan lalu, kudu pegang uang banyak jadinya ibu jual rumah yang itu.”
Bu Haji Lilis menghitung jajanan Jemima. Perempuan itu sih sebenarnya males keluar rumah apalagi harus ngobrol dulu. Udah persis dah sama ibu-ibu komplek yang haus akan berita setiap harinya. Biasanya juga Wirda yang dia suruh untuk membeli apa apa ke warung.
“Iya deh, Bu, saya doakan mudah-mudahan laku.” Kan kalau laku aku bisa deketan sama mas mas manis yang itu.
“Aamiin. Ini ada oleh-oleh dari anak ibu. Bagi dua sama Neng Wirda, ya.”
“Waah, Bu Haji ngerepotin. Makasih ya, Bu.”
Jemima keluar dari warung membawa dua kantong plastik, satu jajanan satunya lagi oleh oleh dari Bu Haji. Sebenarnya dia agak kecewa karena mas Ganteng tidak bisa dia lihat. Jemima hanya bisa berdoa semoga lelaki itu jadi beli rumah Bu Haji. Kebayang betapa nikmatnya bertetangga dengan orang seperti dia.
Berbeda dengan saat berangkat tadi, kini dia pulang dengan langkah gontai. Gesekan sandal dengan aspal pun terdengar tidak ada semangat semangatnya.
Beberapa blok sebelum sampai ke rumah yang difungsikan sebagai kantor, sebuah mobil yang melintas berhenti di depannya.
“Teh, mari, terima kasih ya.”
Rasanya seperti sedang kegerahan di tengah hamparan sawah yang baru dipanen, terus mendapat siraman sejuk dari air yang benar-benar jernih. Jemima sampai tidak bisa berkata-kata, di remangnya malam wajah lelaki itu bercahaya, seperti salah satu aktor dari Korea yang seriesnya sedang tayang saat ini.
Pernah melihat anak kecil yang kegirangan? Nah begitulah Jemima sekarang, tiba di kantor jingkrak jingkrak bikin Fei menggelengkan kepala.
"Fei doain gue ya, Fei. Dia tampan banget, pacarable banget. Bahunya bidang banget, enak kayaknya nyender sama doi."
Satu kantong kresek berisi camilan yang sebenarnya gak Jemima butuhkan diberikan kepada Fei.
"Gue gak mau bilang aamiin dulu sebelum tahu orangnya kayak gimana. Heh Jem, gue gak mau Lo sakit hati atau disakitin. Pokoknya tiap lo punya gebetan gue kudu sortir dulu."
"Sortir? Udah kayak konsveksian papi gue aja di sortir. Enggak enggak, gak ada yang begitu."
Fei melemparkan sampah bekas wafer ke arah tempat sampah, dan tentu saja meleset. Siap siap saja besok kena omel Wirda.
"Ya pokoknya gue mesti tau dulu itu orang layak enggak buat lo, zaman sekarang tuh banyak banget cowok yang mau enaknya aja. Nih, ya, seandainya yang dekatin Lo si Kitty, si Mardian teman SMA kita atau si Kurniawan gue gak perlu selidiki gak perlu kenal dulu sama mereka. Udah tahu b****k bobroknya."
"Tapi kan ini gue yang mau dekatin, bukan dia." Jemima tetap membantah.
"Gak usah ngeyel mending Lo iketin lagi rambut gue," pinta Fei.
Jemima bangkit dari duduknya, memutari meja dan membawa barang bawaannya. Fei kira Jemima bakalan nurut permintaannya untuk mengikatkan rambut. Ternyata tidak.
"Lah, Jem, rambut gue belum diikat."
Jemima berbalik. "Ogah, keramas dulu sana. Lo bau banget hari ini."
Fei berusaha meraih ujung rambut yang mencuat, lalu menciumnya. Gak ada bau apa pun.
Kemudian dia gosok menggunakan telapak tangan barulah terasa aromanya seperti apa.
"Jem, Lo tega ninggalin gue?"
"Gue mau tidur biar besok seger pas ngonten. Selamat ngedit sayangnya akuh, jangan lupa gerbangnya kunci."
Fei mendengkus, karena editan luamyan banyak, Fei memutuskan untuk tinggal di kantor. Meski, yah ... sendirian lagi.
***
Banyak suka dan duka menjadi konten kreator. Suka jika video dan juga karya yang dia buat bisa memberikan banyak inspirasi pada followers dan viewers.
Gak suka kalau banyak hatters yang doyan banget nakar dosa orang lain tapi lupa sama dosa sendiri.
Jemima sudah melewati semua fase itu. Pernah di-bully. Pernah dilaporkan hingga Channel-nya hilang. Pernah diikuti oleh penguntit. Bahkan pernah mengalami hal hal yang tidak menyenangkan lainnya.
Apalagi kini dengan follower lebih dari lima juta. Dulu sih, Jemima baper, takut, bahkan dia tidak berani pulang sendiri. Kini dia sudah ya udah sih, santai aja. Semakin tinggi pohon semakin kencang anginnya. Yang penting Jemima sudah melakukan yang terbaik. Selalu ramah dan membuat konten yang beragam agar semua followers tidak kabur.
Sebisa mungkin perempuan itu memberikan tontonan yang mengandung banyak pengetahuan agar para penonton bisa nambah pintar.
Jemima melihat jam di atas nakas. Hampir pukul sembilan, perjalanan dua hari berturut-turut membuat dia kesulitan untuk beranjak dari tempat tidur.
Sayangnya banyak pekerjaan yang harus dia lakukan salah satunya mereview produk produk endors.
Jemima ingat betul mengapa dia memutuskan untuk terjun di dunia seperti sekarang ini.
Dulu sih gak niat sama sekali jadi YouTuber, dia hanya menikmati diri sebagai penonton setia kontennya Raditya Dika. Bahkan usia Jemima saat itu baru sekitar 12 tahun.
Lama kelamaan perempuan itu penasaran, siapa yang pertama kali main YouTube, siapa yang pertama kali mengunggah daily vlog.
Ditemani Fei, Jemima berselancar mencari tahu. Jemima tidak pernah menyangka bahwa ternyata Gara-gara tiga karyawan PayPal mencari video Justin Timberlake di Superbowl Halftime Show di Internet pada tahun 2005, akhirnya YouTube tercipta.
Sejarah YouTube memang berawal dari peristiwa sepele tersebut. Tiga karyawan PayPal, Chad Hurley, Steve Chen dan Jawed Karim ketika itu mencari video Justin Timberlake di Superbowl Halftime Show.
Saat itulah tiga sekawan ini menyadari bahwa belum ada platform video-sharing di Internet.
Sejak itu, munculnya YouTube menjadi cara berbagi video tanpa harus menyusahkan pengguna internet.
Di tahun 2006, perusahaan raksasa internet Google membeli saham YouTube sebesar 1,65 miliar Dolar AS (atau sekitar Rp24 Triliun).
Dari informasi yang Jemima dapatkan ini tercetuslah ide. Jika Chad Hurley, Steve Chen dan Jawed Karim bisa sukses menciptakan kehebatan ini, kenapa dirinya tidak bisa sukses dengan fasilitas yang sudah disediakan oleh ketiga orang hebat tersebut. Istilahnya Jemima tinggal meneruskan perjalanan.
Mengingat hal itu dan melihat pencapaian dirinya saat ini, Jemima merasa sangat bersyukur.
Dan saat mager juga malas seperti sekarang ini dia selalu ingat saat merangkak berdua bersama Fei hingga bisa memberdayakan Wirda dan Pungkit. Bisa beli mobil, rumah, dan juga sewa satu kantor yang lokasinya sangat strategis.
Usai mandi Jemima menyiapkan sarapan sederhana. Mie goreng dengan telur mata sapi, tidak lupa dengan bawang goreng dan sambal tabur.
Minumnya cukup air putih, itu karena kulkasnya udah kosong. Jemima belum sempat ajak Fei untuk belanja bulanan di salah satu dept store terbesar di kota Garut.
Di lain tempat, Fei berjongkok persis di depan rumah. Walau cerah, tapi suhu udara rendah, Fei jadinya lebih senang bermandikan sinar matahari pagi.
Sebenarnya sih bukan karena dingin dingin amat, tetapi karena Wirda sedang bersihin kantor. Fei dan Pungkit diusir, Fei yang kini tidak punya uang memilih untuk moyan alias berjemur. Sedangkan Pungkit dia pergi ngopi ke toko Bu Haji Lilis.
Setelah melewati kejadian kemarin Fei sebenarnya malas untuk melanjutkan nyari cewek. Tapi ketika minta uang kepada ayahnya karena uangnya habis dicopet. Keinginan Fei untuk nyari istri kembali menggebu.
Gimana enggak coba, Pak Dedi tetap bertanya kepada Fei apakah sudah punya calon istri atau belum.
Sebenarnya apa, sih, yang diharapkan ibu dan ayahnya, cucu? Kan udah banyak. Atau mungkin gengsi karena punya anak bujangan lapuk.
"Fei, Kitty mana?" tanya Jemima. Saking kencangnya melamun Fei bahkan tidak menyadari kedatangan Jemima.
"Ngopi di Bu Haji."
"Lo gak ikut? tumben banget." Jemima melihat ke dalam kantor, Wirda sedang mengepel. Jemima juga tahu kalau Wirda sedang beres beres maka tidak boleh ada yang menggangu.
"Pan gue kecopetan, gue bokek banget. Tadi pagi telpon bokap tapi gak ngasih, gue belum sarapan, Jem. Lo kesian gak sama gue?" ratap Fei.
"Enggak," jawab Jemima santai.
"Lo tega amat, sih. Gue semalaman ngedit kelaparan, cuma makan cemilan yang kemarin malam Lo beli. Gak ada minum, air galon habis, kepaksa minum air keran."
"Urusannya sama gue apa?"
"Kasih makan, kek, kasbon kek, tega amat Lo jadi bos."
"Bodo amat!"
Jemima duduk di kursi rotan yang usang, peninggalan yang ngontrak sebelum mereka. Jemima sengaja tidak membuangnya karena dia pikir lumayan, walau usang, tetapi masih bisa dipake buat duduk sambil ngopi.
Melihat rumah sebelah, Jemima ingat dengan lelaki kemarin, Mas Gantengnya yang ramah senyum.
Moga aja laku, moga aja Mas Ganteng mau beli rumah ini dan mereka bisa tetanggaan.
"Seriusan Jem, gue lapar banget." Fei mengemis. Dan akhirnya membuat Jemima Iba. Akhirnya, Jemima merogoh kantong celana dan mengeluarkan uang dari sana.
"Recehan gak apa apa kan?"
"Bagi gue yang kelaparan ini, uang recehan pun berarti. Oh iya ngomong ngomong gue udah keramas, ikatin rambut gue dong."
Bagian yang paling Jemima sukai, rambut Fei itu meski kribo dan kadang berantakan, tetapi halus ukurannya kecil kecil sehingga di genggaman rasanya enak.
"Fei, cewek Lo bakal cemburu gak ya kalau liat gue ikatin rambut lo?"
"Cewek mana?" Fei kaget dengan pertanyaan Jemima.
"Ya kan, Lo lagi nyari cewek, masa iya doi gak cemburu nantinya saat liat gue ikatin rambut lo."
"Jangan mikir hal yang belum terjadi. Mending lakukan saja apa yang ada di depan mata kita sekarang."
"Contohnya?" tanya Jemima.
"Lo pinjamin gue duit, nanti gajian gue bayar."
"Hih!"
"Udah! Kalian pacaran aja, cocok banget!"
Wirda berseloroh. Gadis itu membawa kantong hitam berisi sampah, lalu menyimpannya di depan gerbang. Hari ini merupakan jadwalnya pengambilan sampah oleh petugas.
"Jem, lo mau nikah sama gue?" tanya Fei.
"Ogah! Lo sendiri emang mau?" tanya Jemima.
"Ogah juga!"
"Gimana dong, Wirda, kami sama sama ogah."
Wirda mengangkat bahu, lalu mencuci tangannya di keran dekat pintu garasi.
"Sekarang bilang ogah, tapi liat aja nanti. Gue berani bertaruh."
Jemima dan Fei saling tatap. Mungkinkah?