Sesal masih menyelimuti diri Alex dan menahannya untuk tidak beranjak dari sisi Malia sampai hamper tengah malam. Pria itu masih duduk di kursi plastik di samping ranjang Malia sambil menatap dan menggenggam erat tangan wanita itu. Sesekali Alex mengecup punggung tangan Malia.
“I’m so sorry.” Entah sudah ke berapa kalinya permintaan maaf meluncur dari mulut Alex.
“Mm ....” Malia bergumam. Wanita itu tampak gelisah sambil menggerakkan kepalanya pelan ke kanan dan ke kiri. “Mas, Lia pengen pulang,” gumamnya lagi dengan suara yang terdengar serak.
Sengatan rasa bersalah kembali Alex rasakan. Ia menelan ludah dengan susah payah. Menyadari Malia akan bangun dari tidurnya sebentar lagi, Alex berusaha melepaskan genggaman tangannya dari tangan Malia. Namun, Malia justru meremas lebih erat seperti tidak ingin melepaskan.
“Mas, bawa Lia pulang,” kata Malia dengan nada memohon.
Perlahan-lahan mata Malia terbuka. Pandangan buramnya dalam beberapa detik berubah menjadi jelas dan menemukan langit-langit kamar berwarna putih. Selama beberapa waktu Malia hanya diam menyadari bahwa dia masih berada di rumah keluarga Brighton. Dalam hitungan detik debaran kencang memenuhi dadanya. Ia memejam sesaat dan berusaha mengatur napas untuk meredakan ketegangan yang kembali membanjiri diri. Setuhan lembut tapi keras di tangannya membawa pandangan Malia ke samping. Gadis itu nyaris melompat karena kaget mendapati Alex tengah menggenggam tangannya.
“T-Tuan ....” Malia menatap Alex dengan gugup.
Alex melepaskan genggaman tangannya dari tangan Malia, tetapi tatap birunya masih berfokus pada wajah gadis itu. “Dokter bilang kamu butuh istirahat, tapi kamu juga harus makan.”
“Sejak ka-pan Tuan—“
“Makananmu sudah disediakan di meja,” potong Alex. Pria itu lantas bangkit berdiri dan meninggalkan kamar Malia.
Malia menelan ludah. Seutas tanya berkelebat di benaknya. Sedang apa majikannya itu di sana dan kenapa dia menggenggam tangannya seakan Malia bukan seorang pelayan? Tatap Malia terpatri pada punggung tegap yang terbalut kaus putih yang terus menjauh dan akhirnya tak terjangkau lagi oleh pandangan.
Malia bangkit dan berusaha untuk duduk. Ia kemudian menggenggam kepala dengan kedua tangannya untuk mengurangi rasa pening.
“Dimakan dulu buburnya, Lia.” Suara Mbok Bar mengiringi sosok wanita berdaster ungu itu masuk ke kamar Malia. Mbok Bar kemudian mengambilkan mangkuk bubur di atas meja dan memberikannya pada Malia. “Ini. Makan dulu.”
“Terima kasih, Mbok.” Malia menerimanya lalu memegangnya erat sambil berusaha keras untuk menurunkan kakinya dari ranjang.
“Sejak tadi sore Tuan Alex menunggui kamu di sini, bahkan dia tidak makan malam,” tutur Mbok Bar yang kemudian duduk di kursi yang tadi diduduki Alex.
Dahi Kirana mengenyit. Sorot heran menyeruak dari tatapan gelapnya. “Dari tadi sore?”
“Iya. Dia meminta dokter pribadi keluarga untuk memeriksa keadaan kamu. Tidak biasanya Tuan meminta dokter pribadi keluarga ini untuk memeriksa ART. Biasanya kalau ada ART sakit, Nyonya pasti menyuruh ke klinik. Tidak pernah dipanggilkan dokter pribadi.”
Mungkin Alex takut dia akan mati setelah mengalami kekerasan fisik yang dilakukannya, pikir Malia. “Oh, begitu ya, Mbok? Mungkin Tuan takut saya kenapa-napa setelah ... ya, Mbok tahu sendiri.”
“Ya, itu sudah pasti,” tegas Mbok Bar membuat Malia menegang lantaran merasa dugaannya benar. “Tuan Muda terus megangin tangan kamu, itu karena apa? Karena dia tidak mau kamu kenapa-napa. Kayaknya Tuan suka sama kamu, Lia,” lanjut Mbok Dar.
Ketegangan dalam diri Malia semakin erat merangkulnya setelah mendengar penjelasan Mbok Bar. Malia terdiam. Gadis itu berusaha mencerna ucapan Mbok Bar sambil memandangi lantai keramik kamarnya.
“Jangan melamun saja. Ayo dimakan buburnya.” Saran Mbok Bar mematahkan penalaran Malia terhadap Alex.
Apa benar yang diucapkan Mbok Bar? Malia kemudian tersenyum gugup sebelum menyantap pelan-pelan bubur ayam yang sudah disediakan.
“Kalau kamu sudah baikan, Mbok ke kamar ya. Mbok ngantuk. Oh, iya. Kalau kamu perlu apa-apa atau merasa pusing lagi, bangunin saja Mbok.”
“Iya, Mbok. Terima kasih.”
Setelah Mbok Bar keluar dari kamarnya, Malia berniat menghubungi Genta. Namun, ia membatalkan niatnya. Keterangan Mbok Bar tentang aktivitas yang dilakukan Alex selama ia tidak sadarkan diri membuatnya penasaran. Malia hanya harus bisa bertahan beberapa hari saja untuk mengetahui motif Alex melakukan semua itu kepadanya. Terlepas dari tuduhan yang dilontarkan Alex, alasan Alex melakukan pendekatan persuasif kepadanya pun memunculkan kuriositas yang besar. Jika ia mengadukan perbuatan Alex kemarin sore kepadanya pada Genta, kakaknya itu akan langsung membawanya pulang dan melaporkan Alex ke polisi. Malia belum mau itu terjadi sekarang.
***
Keesokan paginya Malia memaksakan diri untuk kembali melakukan tugasnya. Ia sudah mengenakan seragam kerjanya dan segera ke dapur menemui Mbok Bar.
“Sudah baikan?” tanya Mbok Bar sambil menyiapkan teh untuk Elizabeth.
Malia mengangguk. “Iya, Mbok.”
“Sudahlah. Nggak perlu cari-cari perhatian Tuan Alex dengan pura-pura sakit,” celetuk Tina.
Malia mengernyitkan alisnya lalu melirik Tina. “Saya memang beneran sakit, Mbak.”
“Sudah, sudah. Jangan ribut!” sela Mbok Bar. “Ayo kerjakan tugas masing-masing! Nanti keburu siang. Besok kan weekend. Kalian bebas mau ngapain aja. Mau berantem sampe subuh juga nggak apa-apa.”
Malia dan Tina langsung diam setelah mendengar peringatan Mbok Bar. Keduanya kembali ke pekerjaan masing-masing. Tina menyiapkan roti lapis, sedangkan Malia berjalan menuju tempat cuci piring. Tiba-tiba interkom di dapur berbunyi. Tina dengan sigap mengangkat gagang telepon interkom dan sesaat kemudian ia memanggil Malia.
“Lia! Kamu diminta Tuan Alex membawa sarapannya ke kamar. Pagi ini Tuan Muda sama Nyonya tidak akan sarapan di ruang makan,” kata Tina.
“Iya, Mbak.”
Malia mengurungkan niatnya untuk mencuci perangkat memasak yang telah digunakan Mbok Bar. Ia berjalan ke lemari gantung untuk mengambil gelas.
“Kamu mau apa Lia?” Mbok Bar menghentikan usaha Malia untuk membuka pintu lemari.
“Mau bikin teh untuk Tuan Alex, Mbok.”
“Sudah aku buatkan untuk Tuan Muda dan Nyonya.” Mbok Bar kemudian meletakkan satu cangkir keramik berisi teh hangat dan roti lapis buatan Tina ke atas baki kayu cokelat. Ia pun melakukan hal sama ke baki kayu yang lain. “Ini. Tinggal kalian bawa ke juragan kalian masing-masing.”
“Terima kasih, Mbok,” ucap Malia, “nanti biar saya saja yang mencuci alat-alat masak yang kotornya ya, Mbok. Jangan Mbok cuci dulu.”
“Lha, emang itu tugas kamu,” sambar Tina, “aku kan sudah membuatkan roti lapisnya.”
“Iya, Mbak. Nanti saya yang mencuci.” Malia tetap menggunakan kata “saya” sebagai kata ganti dirinya pada Tina untuk sekadar menghargai ART senior itu.
Malia segera mengangkat baki dan berjalan menuju kamar Alex. Jantungnya berdetak kencang di sepanjang langkahnya menaiki anak tangga. Ketakutan dan kekhawatiran itu masih ada. Sebisanya Malia tetap terlihat tenang.
Malia mengetuk pintu kamar Alex pelan-pelan seraya memberitahukan kedatangannya pada pria itu. “Tuan, sarapannya.”
“Masuklah!”
Akses masuk yang dilontarkan Alex melalui perintahnya tiba-tiba membuat jantung Malia hampir melompat ke luar. Semua rasa mulai berbaur menjadi ketakutan yang sesungguhnya. Dengan tangan sedikit gemetaran, Malia menekan gagang pintu lalu membukanya perlahan. Ia mendapati pria itu tengah bersedekap sambil bersandar ke kosen pintu menuju balkon yang terbuka lebar. Perpaduan wajah tampan dan tubuh atletis Alex di balik setelan jas abu-abunya seharusnya bisa menarik hati Malia. Namun, Malia melihat sosok tinggi berbahu lebar itu seperti monster yang bisa menyerangnya tiba-tiba. Tatapan Alex yang sedingin es di kutub utara menembus tatapan Malia hingga membuat langkah wanita itu tersendat.