Malia melebarkan mata di bawah air yang terus mengguyur tubuhnya dan juga Alex. Masih melekat di ingatan Malia hari Minggu pagi itu dia menyaksikan pertemuan diam-diam Alex dan Elizabeth di ruang makan. Tidak hanya pertemuan tersebut, Malia pun mendengarkan sendiri percakapan mereka tentang rencana pertemuan keduanya di hotel saat dia bersembunyi di bawah meja bar. Apakah Alex tahu kalau pagi itu dia bersembunyi di sana? Pertanyaan itu berdenyut di kepala Malia dan membuat dadanya berdebar dua kali lebih kencang.
Pelan-pelan Malia mensejajarkan pandangannya dengan Alex. Dia lalu menggeleng dengan kaku. “S-saya tidak tahu apa yang Tuan bicarakan.”
Seringai terbit di bibir Alex dan sesaat kemudian pertanyaan bernada menekan terlontar dari pria itu. “Kamu bekerja untuk siapa?”
“Saya bekerja untuk Tuan,” jawab Malia dengan polos. “Dan untuk keluarga di rumah ini,” imbuhnya.
“Katakan, kamu bekerja untuk siapa? Media apa yang membayar kamu untuk memata-mataiku dan Elizabeth?”
Malia menggeleng. Alisnya mengernyit memikirkan pertanyaan Alex sementara otaknya sibuk mencari makna pertanyaan Alex. “Saya bekerja untuk keluarga ini. Saya tidak memata-matai Tuan dan Nyonya. Saya tidak berani.”
Satu tangan Alex bergerak naik ke leher Malia lalu mencengkeram rahang gadis itu dan membuatnya menengadah. Malia hampir kehabisan napas ketika air dari pancuran langsung menyemprot persis ke atas wajahnya. Semampunya ia meronta. Namun, Alex justru semakin menghimpit tubuh Malia. Tidak ada lagi jarak. Tubuh keduanya melekat erat, bahkan lebih dari itu.
“Kalau kamu tidak mau mengatakannya, aku pastikan kamu tidak akan pernah bisa pulang dan akan membusuk di sini selamanya.” Alex melayangkan ancamannya pada Malia sekali lagi tepat di telinga gadis itu.
“Aargh ....” Malia mengerang merasakan oksigen semakin menipis di dalam paru-parunya. Air yang masuk ke mulutnya membuat perutnya kembung dan mual. Meskipun tidak mencekik, tetapi Alex berhasil membuat Malia hampir mati karena sulit bernapas. Tangan Malia yang menggenggam erat bagian depan kemeja Alex terlepas. Ia tidak lagi mampu meronta. Tenaga yang tersisa hanya untuk bertahan dan bernapas.
Menyadari tubuh Malia melemah, Alex melepaskan cengkeramannya dari rahang Malia. Ia mundur dua langkah dan membiarkan Malia melorot jatuh terduduk sambil kedua tangannya memegangi rahang. Malia menangis tersedu-sedu. Selama ini ia hanya melihat berita di TV mengenai penganiayaan yang dialami ART. Malia tidak menduga ia akan mengalami sendiri aksi brutal sang majikan.
“Saya tidak bekerja untuk siapa pun selain untuk Tuan dan keluar-ga i-ni,” jelas Malia dengan terbata-bata.
Kesangsian masih tergambar di wajah Alex. Pria itu hanya menatap Malia selama beberapa saat sampai kekhawatirannya pada kondisi fisik pelayannya tiba-tiba muncul. Alex mengerjap sambil menggelengkan kepala. Ia kemudian mengembus napas.
Sial! Aku bisa saja membunuhnya tadi. Penyesalan muncul dalam diri Alex. Tanpa ia sadari kedua tangannya gemetaran. Seolah-olah dihantam perasaan bersalah yang sangat besar, seluruh kekuatannya pun menghilang sampai ia ingin menjatuhkan diri dan memeluk Malia. Namun, perintah untuk mendominasi mengiang lagi di telinga Alex. Bujukan itu kian mengalahkan empatinya. Air muka yang terlihat melembut dan nyaris melankolis dalam hitungan detik kembali menjadi seangkuh gunung batu.
“Aku tahu kamu melihat dan mendengarkan semua pembicaraanku dengan Elizabeth di Minggu pagi itu,” ungkap Alex.
Malia mengangkat wajahnya menatap Alex. “S-saya tahu, tapi saya tidak mengatakannya kepada siapa pun.”
“Ke mana saja kamu hari Minggu itu?”
“Saya pulang ke rumah dan bertemu dengan kakak saya.”
“Sebelumnya, ke mana kamu pergi? Siapa yang kamu temui?”
Malia menelan ludah. Kenapa Alex bertanya sedetail itu? pria itu benar-benar menuduhnya sebagai pelaku penyebaran video dirinya dengan Elizabeth, pikirnya. “Saya bertemu teman saya, tapi saya yakin teman saya tidak akan melakukan hal yang dituduhkan Tuan. Dia cuma pelayan Toserba.”
Tatap mata Alex masih memancarkan sinar ketidakpercayaan. Ia memandangi wajah Malia yang memucat. “Siapa nama temanmu dan bekerja di mana?”
“Fathir. Dia bekerja di YB Mart, tapi saya yakin dia tidak akan bicara soal itu kepada siapa pun, apalagi sampai merekam video keberadaan Tuan dan Nyonya di hotel. Dia bahkan tidak tahu siapa Tuan dan Nyonya,” jelas Malia dengan suara dan bibir bergetar karena tersengat dingin.
Alex mengulurkan tangan kepada Malia. Pancaran iris birunya meminta Malia berdiri. Sementara itu, Malia hanya tertegun melihat reaksi Alex. Emosi pria itu tampak pasang dan surut dengan cepat. Namun, Malia akhirnya menyambut uluran tangan sang majikan yang kemudian membantunya berdiri.
“Weekend ini kamu tidak akan pulang sampai aku menemukan bukti kalau bukan kamu yang menyebarkan video tersebut.” Alex melayangkan intimidasinya sekali lagi.
“Tapi, saya memang tidak—“
“Sampai semuanya jelas, kamu akan tetap berada di rumah ini.” Alex memotong tanpa memberi Malia kesempatan menjelaskan. “Cepat keluar dari sini!” usir Alex.
Malia segera angkat kaki dari sana. Dia berlari menuruni anak tangga. Tidak memedulikan pandangan heran Tina dan Mbok Bar, Malia terus berlari menuju kamarnya. Ia kembali menumpahkan rasa sedih dan takutnya dalam tangisan. Malia terduduk sambil memeluk lutut persis di belakang pintu. Beberapa menit kemudian terdengar suara ketukan di pintu kamarnya.
“Lia, kamu kenapa, Nduk?” Suara Mbok Bar terdengar dari balik pintu.
Malia tergerak untuk membuka pintu. Dia telah mengalami kekerasaan fisik dan psikis dari Alex. Dia pikir mungkin Mbok Bar bisa membantunya.
“Kamu kenapa, Lia?” Mbok Bar mengamati Malia dari atas ke bawah. “Kenapa bajumu basah semua?”
Belum sempat Malia menjawab, Tina datang dan dengan lantang langsung mencibir. “Makanya kalau kerja yang benar. Tuan itu maunya semua harus perfect.”
“Hush, jangan ngomong begitu, ah,” sambar Mbok Bar. Wanita tua itu kemudian kembali melihat Malia. “Kamu kenapa?”
Malia menelan ludah. Keinginannya untuk berterus terang kepada Mbok Bar terhalang oleh cibiran Tina. Mbok Bar dan Tina adalah orang lama di rumah itu, mungkinkah mereka akan percaya pada pengaduannya? Malia memikirkan ulang niatnya.
“Saya ... tidak apa-apa.” Akhirnya hanya itu yang terucap dari mulut Malia.
“Tuh, kan benar dugaanku, Mbok,” sela Tina, “kalau kerjanya bener, nggak mungkin dia sampai basah kuyup kayak gitu. Tuan Alex juga nggak mungkin marah.”
Malia menunduk sambil menahan kekesalannya. Seketika, Malia berharap kedua ART senior itu segera pergi dari hadapannya. Mbok Bar mungkin bisa membantu, tapi Tina tidak.
Alex masih berdiri di depan cermin kamar mandi. Dia menatap dirinya sendiri. Pakaian basah yang masih melekat mengikuti bentuk tubuhnya mengekspos kepantasannya sebagai seorang pria. Terkadang, Alex membenci melihat pesona yang dimiliki dirinya. Ada sengatan rasa sakit di dalam diri Alex ketika ingatan memaksanya harus mengakui sesuatu yang tidak seharusnya. Satu tangan Alex diletakkan ke permukaan cermin. Ia kemudian meraba pantulan wajahnya sendiri. Seakan sedang berbicara dengan seseorang di dalam hati, Alex cukup lama menatap wajah angkuh dan dinginnya di cermin itu.
Aku menyakitinya. d**a Alex terasa sesak dan sakit dalam sekali waktu. Dia kemudian berbalik dan keluar dari kamar mandi. Pandangan setajam mata elangnya memindai seluruh ruangan mencari ponsel miliknya sampai ia menemukan perangkat tersebut di dalam saku jas yang tergeletak di meja. Alex lalu menghubungi seseorang.
“Drake.” Alex memanggil nama pria yang dihubunginya. Tangan dan seluruh tubuhnya tiba-tiba saja gemetaran. Seluruh kekuatan menguap dari tubuh pria berpostur tinggi dan atletis itu. Alex terduduk lemas di lantai. Setengah punggungnya menempel ke tepi meja sementara tangannya yang memegang ponsel masih gemetaran.
“Oh, ya Tuhan! Drake, aku menyakitinya. Aku nyaris mencekiknya dan ... dan ... damn! Aku sudah membuatnya sangat ketakutan.” Suara Alex terdengar panik dan bergetar. Ada penyesalan yang sangat dalam dan begitu besar mengiringi nada bicaranya.
“Kamu tidak menyakitinya. Kamu melakukan yang seharusnya kamu lakukan, Alex.” Drake merespons dari ujung telepon. “Tidak ada seorang pun yang boleh mengkhianatimu, apalagi dia. Kamu tidak boleh lemah hanya karena perasaan konyolmu itu kepadanya,” imbuh Drake.
“Berdasarkan pengakuannya, kurasa bukan dia—“
“Aku akan mencari tahu,” potong Drake, “dan kalau memang dia pelakunya, kamu harus membuang perasaan bodohmu itu.”
“I can't. Kupikir aku menyukainya.”
“No!” sergahan Drake membuat Alex tersentak.
Alex tertegun menunggu ucapan Drake selanjutnya. Tangannya masih gemetaran memegang ponsel sementara dadanya berdebar kencang seperti sedang menunggu sebuah vonis pengadilan.
“Kamu tidak boleh melakukan kesalahan yang sama, Alex,” imbuh Drake.
Alex menurunkan ponselnya yang masih ia genggam dengan erat. Ucapan Drake selanjutnya tak lagi ia hiraukan. Ia melepaskan ponselnya dan membiarkan alat komunikasi itu terjatuh ke lantai. Peringatan Drake dan kembalinya ingatan masa silam memunculkan lagi rasa frustrasi Alex. Pria itu lantas meledakan emosinya dalam tangis kesal dan marah. Sambil menggenggam kepala dengan kedua tangan, Alex menyumpahi dirinya sendiri.
“You are an asshole, Alex! Kamu tidak pantas mendapatkan siapa pun.”
***
Sementara itu, Malia sudah mengganti seragam basahnya dengan seragam cadangan yang diberikan Mbok Bar. Namun, tubuhnya masih merasa tidak karuan. Perutnya yang belum diisi apa pun sejak pagi tadi ditambah guyuran air keran yang masuk ke lambungnya membuatnya mual. Niatnya untuk menghubungi Genta dan memberitahukan keadaannya pun terhalang oleh semua rasa yang sedang mendera. Malia berusaha menenangkan diri dan berharap semuanya akan baik-baik saja sebentar lagi. Ia berbaring di atas tempat tidurnya.
Sampai jam makan malam Malia belum muncul lagi di dapur. Mbok Bar tidak mempermasalahkan ketidakhadiran Malia di sana. Wanita itu memaklumi keadaan syok yang tengah dirasakan Malia. Namun, Tina sepertinya tidak paham. Dia terus mengomel karena harus menyajikan menu makan malam sendirian. Bagi Tina, hal itu seharusnya menjadi tanggung jawabnya dan Malia meskipun menyajikan makan malam tidak termasuk ke dalam job description Malia.
“Di mana Malia?” Elizabeth curiga dengan ketiadaan Malia di ruang makan.
Tina yang sedang mengatur piring steak dan kentang goreng menjawab, “Malia sepertinya masih sembunyi di kamarnya setelah dimarahi Tuan Alex tadi, Nyonya. Dia bekerja tidak benar.”
Elizabeth mengembus napas lalu mengalihkan tatapannya pada Alex yang duduk berseberangan dengannya. Tatapan menuduh Elizabeth seolah-olah mengatakan, “Apa yang sudah kamu lakukan kepadanya?”
Alex memahami arti tatapan ibu tirinya. Tidak bicara, Alex bangkit dari duduknya. Ia kemudian keluar dari ruang makan.
“Alex, mau ke mana kamu?”
Pertanyaan Elizabeth tak mampu menahan kepergian Alex dari sana. Alex terus berjalan melintasi dapur menuju kamar Malia. Pintu kamar yang tidak dikunci memudahkan Alex bisa melihat Malia dengan cepat.
“Oh, Tuhan!” Alex terpaku sesaat melihat Malia tertidur dengan posisi meringkuk dan tubuh menggigil persis di tepi ranjang.
Begitu mengerjap, Alex segera mendekat ke tempat tidur Malia lalu mencondongkan tubuh jangkungnya ke depan ke arah Malia. Ia meletakkan tangannya di dahi Malia. Hatinya mencelus merasakan suhu tubuh Malia di atas batas normal. Malia demam.
Dalam keadaan setengah sadar, Malia mengigau, “Mas, Lia pengen pulang. Jemput Lia.”
Alex tertohok rasa sesal mendengar ucapan Malia. Namun, ia tidak ingin Malia pergi. Serta merta Alex mengangkat tubuh Malia hingga kepala wanita itu berada di atas bantal. Ia lalu menyelimuti tubuh Malia dengan selimut berbahan flanel. Duduk di tepi tempat tidur, Alex menggenggam tangan Malia. Desir rasa yang tidak terkatakan mengalir begitu saja ke seluruh tubuhnya. Bersentuhan dengan Malia begitu menenangkan jiwanya walaupun Malia tidak sadar siapa yang tengah menggenggam tangannya saat itu.
“Alex!” Panggilan Elizabeth dari ambang pintu kamar Malia yang terbuka hanya membuat Alex menoleh tanpa berkata-kata. Dan ketika Elizabeth menggeleng memberi isyarat supaya Alex melepaskan genggaman tangannya dari tangan Malia, Alex tidak menggubrisnya.
Denting peringatan Drake dan Elizabeth tidak lagi bisa menghalangi Alex untuk melakukan sesuatu yang disuarakan hatinya dan diinginkan jiwanya.