7. I Know What You Did Last Weekend

1401 Kata
Siang itu Elizabeth pulang dengan raut wajah penuh kemarahan. Sengatan emosi mengubah kulit wajahnya yang secerah mutiara menjadi kemerahan. Langkahnya yang terdengar mantap menggema memecah kesunyian di setiap ruangan yang ia lewati hingga berakhir di ruang kerjanya. "Tinaaa!" teriakan Elizabeth sesaat kemudian memacu kehadiran tergesa-gesa Tina ke hadapannya. Sambil berjalan cepat dan dengan napas terangah-engah, Tina segera merespons. "Iya, Nyonya." Dengan tubuh sedikit gemetaran, Tina berdiri sambil meremas tangannya sendiri beberapa meter di depan meja kerja Elizabeth. Pelayan bertubuh subur itu tampak panik. "Kamu sudah mendengar gosipnya, 'kan?" Pertanyaan menuduh terlontar dari mulut Elizabeth. Tina mengangguk lalu menurunkan pandangan. Wanita itu tidak berani menatap sang nyonya. "Seberapa ramai gosip itu?" tanya Elizabeth. Pelan-pelan dan disertai antisipasi penuh, Tina kembali memandang Elizabeth. "Cukup ramai, Nyonya. Di beberapa akun gosip di media sosial sampai beberapa tetangga di komplek perumahan ini membicarakannya." "Kira-kira, siapa orang yang berani melakukan hal gila seperti ini?" Selidik Elizabeth lebih jauh. Tina menggeleng. Bulu kuduknya meremang melihat tatapan Elizabeth yang sekan-akan sedang menelitinya. Kilat mata Elizabeth lebih tajam dari pisau dan terasa menusuk dadanya. "Ada yang kamu curigai?" lanjut Elizabeth. "Saya tidak berani berasumsi, Nyonya. Nyonya dan Tuan adalah pasangan yang sukses. Tidak hanya dalam berumah tangga, tetapi di dalam hal pekerjaan juga. Perusahaan yang dipegang Nyonya maju pesat, begitupun dengan perusahaan Tuan. Mungkinkah orang-orang yang iri dengan keberhasilan Nyonya dan Tuan yang melakukannya?" Elizabeth mengangkat sebelah alisnya sebelum mengemukakan opininya sendiri. "Bisa jadi. Namun, penjahat berkelas akan menyingkirkan musuhnya dengan cara berkelas pula. Tidak dengan trik kampungan seperti ini." "Iya, Nyonya." "Kalau begitu pergilah. Jika Alex datang, beritahu dia aku menunggunya di sini." "Baik, Nyonya." Tina lalu keluar dari ruang kerja Elizabeth. Sekitar tiga puluh menit kemudian Alex tiba di sana. Di atas busa sofa yang lembut dan empuk, Alex duduk berseberangan dengan Elizabeth. "What should we do?" Alex mencetuskan pertanyaan. “Kita akan mencari tahu siapa pelaku penyebaran video kita di hotel.” “Jangan buang-buang waktu, aku sudah tahu siapa dia.” Mata Elizabeth melebar. Ia kemudian menarik punggungnya dari sandaran sofa. “Siapa?” Alex mengambil ponsel dari saku jasnya, lalu memperlihatkan pada Elizabeth video rekaman CCTV yang ia dapatkan. Elizabeth tercengang seketika. Wanita itu menutup bibir merahnya dengan tangan. Ia menelan ludah dengan susah payah setelah memastikan apa yang dilihatnya. Alex kemudian bangkit dari duduknya. Air muka pria itu tampak masam dan dingin. Tatap sebiru safirnya menggelap oleh marah. “Kamu mau ke mana?” “Menghukum si pelaku supaya tak lagi bisa berkoar.” Elizabeth menggeleng dan melayangkan peringatannya. “Don’t do it, Alex. Not now.” “Dia sudah berani melakukan hal gila seperti ini, dia harus menerima konsekuensinya.” Alex paling tidak suka ditentang. Larangan dan peringatan tidak termasuk dalam kamus hidupnya. Elizabeth mengembus napas. Kepanikan tampak dalam kilat matanya dan tiba-tiba saja dadanya berdebar kencang. “Aku pikir kamu menyukai—“ “Tenang saja, aku tidak akan menghabisinya,” potong Alex, “aku hanya ingin memberinya pelajaran agar dia tidak lagi melakukan hal bodoh seperti ini.” Elizabeth sontak berdiri dan berusaha menahan Alex. “Jangan lakukan itu.” “Kamu tidak punya wewenang apa pun untuk melarangku, Liz. Kamu tahu itu.” Nada tajam dan keras yang terdengar dari ucapan Alex membuat Elizabeth terdiam. Elizabeth terpaku dalam diam. Sementara itu, Alex berjalan keluar dari ruang kerjanya. Hanya pandangannya yang mengikuti Alex sampai pria itu menghilang di balik pintu. *** Duduk di bangku dapur sambil menantikan Mbok Bar memberi perintah, Malia masih mengamati foto-foto yang terpampang di layar ponselnya. Ia ingin memercayai ucapan Alex malam itu bahwa Alex tidak tertarik dengan wanita yang lebih pantas menjadi ibunya. Namun, kenyataan yang ia lihat di akun gosip di media sosial berkata sebaliknya. Keduanya tampak mesra. Saling bergandengan tangan dan berpelukan. Sikap Elizabeth dan Alex sekarang pun sepertinya tidak terdampak oleh gosip tersebut. Mereka masih bersikap seperti biasa dan tidak terlihat terbebani. Kedua orang itu tampaknya sudah disuntik vaksin "bodo amat", pikir Malia. "Sedang melihat apa kamu?" Tina yang duduk di samping Malia melirik layar ponsel gadis itu. Malia mengembus napas berusaha mengembalikan fokusnya ke sekeliling dapur. Sial, ia tertangkap basah Tina sedang memperhatikan foto-foto Elizabeth dan Alex di sebuah akun gosip di media sosial. "I-ini, Mbak. Saya sedang melihat—" "Gosip itu tidak benar," potong Tina, "penyebar berita itu hanya orang-orang yang iri kepada Nyonya." "Iya, Mbak." Malia tidak ingin berkomentar banyak. Tina sudah pasti akan membela mati-matian Elizabeth. Lagipula, tidak ada gunanya mengumbar opini pribadi kepada orang lain, pikirnya. "Daripada kamu terus mencari-cari berita tentang gosip itu, lebih baik kamu lakukan tugas kamu, Malia," saran Mbok Bar. Malia mengangguk lalu memasukkan ponselnya ke saku rok. "Iya, Mbok." "Kamu sudah membersihkan kamar Tuan Alex? Ingat, setiap hari kamar dan juga kamar mandinya harus dibersihkan juga," imbuh Mbok Bar. "Oh, ya ampun!" Malia menepuk dahinya lalu bangkit dari duduknya. "Saya belum membersihkan kamar mandi Tuan, Mbok. Permisi." Kepergian Malia membuat Mbok Bar dan Tina yang sedang duduk bersama menggeleng-gelengkan kepala. Malia berlari ke kamar Alex. Ia melirik jam dinding yang menggantung di tembok marmer di atas tempat tidur Alex. Panik mulai menyerang karena kurang dari sepuluh menit lagi Alex akan segera tiba di rumah. Seperti itulah kebiasaan Alex. Malia berdoa di dalam hati semoga saja jalanan yang dilalui Alex mengalami kemacetan parah sehingga pria itu akan terlambat sampai di rumah. Dengan cepat dan cekatan Malia masuk ke kamar mandi. Ia menyikat toilet, lantai, dan dinding. Tidak melupakan bagian keran, Malia mengelap keran shower yang terbuat dari stainless hingga mengkilap. "Sedang apa kamu?" Pertanyaan yang terlontar dengan suara berat dan tegas menyentak Malia. Sengatan rasa kaget secara otomatis menggerakkan tangannya hingga keran terbuka dan pancuran di atas kepalanya menyemburkan air. "Auw!" Malia panik. Napasnya tersekat oleh keterkejutan dan air yang tiba-tiba mengguyur dan membasahi tidak hanya rambut, tapi juga kemeja putihnya. Ia menoleh dan memandang sesaat ke arah Alex yang berdiri di ambang pintu kamar mandi. Sementara itu, tangannya memutar keran. Namun, air yang menyembur dan jatuh di atas kepala Malia semakin bertambah deras lantaran Malia salah memutar arah keran. "Ya, Tuhan. Ya, Tuhan." Malia mulai panik. Alex menggeleng. Hatinya pegal melihat Malia bertingkah seolah-olah sedang berusaha menggodanya dengan ketidaksengajaan. Ia harus membuat asisten pilihan Elizabeth itu segera keluar dari kamarnya. Alex masuk ke kamar mandi. Membiarkan rambut dan sebagian kemeja birunya ikut basah, lalu menyingkirkan tangan Malia dari keran dan memutarnya untuk menutup semburan air. Alex mengembus napas. Ia ingin meluapkan rasa jengkelnya pada Malia yang sudah merusak mood sorenya. Namun, semua itu tertahan oleh pemandangan yang membuatnya menelan ludah dengan susah payah. Pemandangan yang memacu jantungnya berdetak lebih kencang. Kemeja putih Malia yang basah menjadi lebih transparan. Lengkungan bra hitam yang menyangga p******a Malia tampak jelas. Alex mengingatkan dirinya sendiri kalau hal itu adalah biasa. Tidak ada yang istimewa. Wanita itu bahkan tidak terlihat seksi. Namun, yang berada di hadapannya adalah Malia. Malia .... "Keluar." Hanya kata itu yang terucap dari mulut Alex. Ia kemudian memalis, menghindari manik gelap Malia. "T-tapi, Tuan. Saya belum membersihkan—" "Keluar dari kamarku!" potong Alex dengan nada geram dan masih bertahan dengan posisinya menatap dinding kamar mandi. "Baik, Tuan." Dengan gugup Malia berusaha secepatnya melangkah, tetapi kakinya terasa berat. Dia berusaha sekuat tenaga untuk segera hengkang dari sana. Namun, tiba-tiba Alex mencekal lengan atasnya. Darah yang tertahan oleh cengkeraman Alex di lengannya membuat Malia merasakan kebas di separuh tubuh. Malia mengangkat pandangannya dan menatap Alex. Sorot heran dari iris gelapnya bertaut dengan iris tajam Alex. Perasaan pria itu sedang tidak menentu. Tadi dia mengusir Malia dan beberapa detik kemudian dia menahannya. “T-Tuan ....” Peringatan lirih yang diucapkan Malia justru mendorong Alex bertindak tanpa rencana. Alex mendorong Malia hingga tanpa sengaja, hanya mencoba berpegangan, tangan Malia kembali memutar keran shower. Seiring punggungnya membentur pelan dinding, air dari pancuran pun kembali membasahinya dan Alex. “Ouch!” Malia mengaduh menahan kejut sekaligus takut. Kedua tangan Alex mencengkeram lengan Malia dengan erat. Sementara itu, tatapan tajam mengancamnya memburu ketakutan gadis tersebut. Tubuh Malia secara otomatis mengirimkan sinyal ketakutan lewat getaran di bibir. Semprotan air dari pancuran yang menerpa mereka kian menambah tegang suasana. Dan ketika Alex semakin mempersempit jarak di antara mereka, Malia memalingkan wajah ke samping. Ujung hidung Alex hampir menyentuh pipi Malia saat pria itu menunduk. Desir hasrat yang berbisik ternyata dikalahkan dengan mudah oleh kemurkaan yang merasuk ke dalam jiwanya sesaat kemudian. “I know what you did last weekend,” tutur Alex dengan suara berat dan penuh intimidasi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN